Pulau Bali sebagai destinasi wisata utama di Indonesia sudah kembali dibuka untuk turis dalam negeri akhir Juli lalu, namun menurut seorang pakar, saat pandemi COVID-19 belum menurun seharusnya Bali masih dalam 'lockdown' ketat. Bali sejauh ini memiliki 3.600 kasus COVID-19 Di Jakarta, kasus aktif sekarang ini adalah 7.700 Kepadatan penduduk, gaya hidup dan keberuntungan bisa menjadi faktor pembeda
BACA JUGA: Merasa Bergaji di Bawah Rp 5 Juta? Simak Penjelasan Wakil Menteri BUMN Ini
Hal ini dikatakan oleh Dr Gusti Ngurah Kade Mahardika dokter ahli virus di Universitas Udayana Denpasar kepada ABC, setelah melihat ketidakjelasan angka penyebaran kasus COVID-19 di Indonesia.
Profesor Mahardika mengatakan jumlah kasus di Bali bisa setidaknya enam kali lebih tingi dibandingkan angka resmi dari pihak berwenang.
BACA JUGA: Apakah Anji Ingat Pernah Bikin Twit Seperti Ini?
"Jumlah kasus resmi COVID-19 menurut pemerintah di Bali seperti puncak gunung es dan jumlah sebenarnya bisa beberapa kali lebih tinggi," katanya.
Angka resmi yang dikeluarkan pemerintah Bali sejauh ini mengatakan adanya 3.600 kasus COVID-19 total dengan 500 kasus aktif.
BACA JUGA: Konon Ada Tiga Klaster Penularan Covid-19 di Pesantren
"Di Amerika Serikat, jumlah sebenarnya kasus di sana adalah 6 sampai 24 kali lebih tinggi dari angka resmi. Bila dikalikan enam, berapa jumlah kasus di Bali sekarang ini?
"Menggunakan metode ini, bila kita kalikan 3 ribu kasus, kali 6, jumlahnya sekitar 20 ribu. Jadi apa yang diperlihatkan dalam angka resmi adalah fenomena gunung es." Photo: Bali sudah menerima turis dalam negeri dan mulai 11 September direncanakan akan dibuka bagi turis internasional. (AP: Firdia Lisnawati)
Melihat angka-angka ini, Profesor Mahardika mengatakan daripada membuka diri lagi untuk menerima turis, Bali seharusnya menerapkan 'lockdown' ketat selama dua minggu untuk menekan kasus yang ada.
"Dengan data yang ada [sebenarnya] tidak memungkinkan kita untuk membuka diri bagi turis lokal maupun internasional," katanya.
"Rumah sakit sudah hampir penuh. Ini sudah lampu kuning, dan bahkan lampu merah bagi pemeritnah di Bali untuk melihat apakah sekarang waktu yang tepat untuk membuka diri bagi wisata, baik turis lokal maupun mancanegara."
"Ini harus dikaji dengan segera." Turis lokal mulai berdatangan
Bali sudah dibuka untuk turis dalam negeri sejak 31 Juli lalu dengan ribuan orang dilaporkan sudah datang ke Bali.
Sementara turis manca negara rencananya akan dizinkan kembali mulai 11 September.
Foto dan video yang beredar di media sosial menunjukkan turis berada di pantai-pantai, dengan sebagian mengenakan masker.
Iklan pun sudah mulai bermunculan di internet menawarkan paket liburan ke Bali. Photo: Bali sekarang sudah membuka diri lagi untuk kedatangan turis lokal sejak 31 Juli. (AP: Firdia Lisnawati)
Adanya perasaan Bali lebih aman dibandingkan Jakarta dan Pulau Jawa, mungkin menjadi alasan mengapa ribuan turis sudah mendatangi pulau tersebut selama seminggu terakhir sejak dibuka Juli lalu.
Tetapi Profesor Mahardika mempertanyakan apakah turis mancanegara termasuk warga Australia akan mau datang.
"Turis manca negara tidak akan berani berpikir untuk datang ke Bali, karena kondisi di Bali masih tidak aman bagi mereka," katanya.
"Angka positif dari hal tes tinggi, rumah sakit penuh, dan tingkat kematian meningkat."
"Penanganan COVID-19 tidak dilakukan dengan benar," jelas Profesor Mahardika.
Pihak pemerintah Bali tampaknya tidak mengkhawatirkan walau adanya peningkatan kasus belakangan.
Sekitar 85 persen kasus COVID-19 di Bali sudah sembuh dan tidak ada kematian dalam dua minggu terakhir, meski ada kasus baru sebanyak 40 orang setiap harinya. Photo: Pihak berwenang di Jakarta mulai mengkhawatirkan tidak cukup lahan untuk menguburkan mereka yang meninggal karena COVID-19. (Reuters: Willy Kurniawan)
Dan sejak pandemi dimulai, penularan virus corona relatif lebih rendah dibanding daerah lainnya di Indonesia.
Angka kematian di Bali sejauh ini adalah 48 orang, sementara di pulau Jawa yang jaraknya hanya 2,4 km dari Bali, setiap hari ada sekitar seribu kasus baru dan menjadi pusat penyebaran COVID-19 di Indonesia saat ini.
Tidak ada penjelasan sejauh ini yang bisa menjelaskan mengapa keadaan Bali lebih baik dibandingkan jawa. Gaya hidup warga Bali mencegah penularan corona?
Satu teori mengatakan gaya hidup atau perilaku warga di Bali yang menjadi pembeda.
Di Bali, hampir semua warga tinggal di rumah yang berdiri sendiri, dan mereka banyak menghabiskan waktu di luar rumah.
Arsitektur gaya Bali termasuk di beberapa hotel mewah, memiliki ruangan terbuka, bahkan kadang kamar mandi dan dapur berada di luar rumah utama.
"Di Bali tidak ada gedung apartemen," kata Profesor Mahardika.
"Di Jakarta banyak gedung di mana semua orang menggunakan lift yang sama, tetapi di Bali hal ini tidak terjadi." Photo: Di Pulau Jawa, banyak warga tinggal di gedung-gedung tinggi, yang menjadi penyebab virus corona lebih cepat menyebar. (Reuters: Ajeng Dinar Ulfiana)
Profesor Mahardika mengatakan penyebaran COVID-19 akan lebih tinggi di gedung yang tertutup dengan sistem ventilasi yang buruk dan menggunakan pendingin udara (AC).
Selain itu menurutnya hal lain yang membedakan Bali adalah tidak adanya tranportasi umum, seperti kereta atau bis-bis besar seperti di Jakarta, yang bisa menjadi lokasi penyebaran virus.
"Tidak ada seorang pun yang naik bemo seperti dulu lagi. Itu salah satu keuntungan kita di sini."
"Dan di Bali tingkat kepadatan penduduk adalah 700-800 orang per satu kilometer. Di Jakarta tentu lebih banyak lagi, lebih padat." Kantor yang penuh pekerja jadi lokasi penyebaran
Berbeda dengan Bali, mereka yang tinggal di Jakarta harus melakukan perjalanan menggunakan kereta yang padat penumpang atau bis dimana 'social distancing' hampir tidak mungkin dilakukan. Photo: Social distancing lebih susah dilakukan di jaringan transportasi kereta yang kadang penuh sesak di Jakarta. (Antara Foto via Reuters: Fakhri Hermansyah)
Angka penularan di Jakarta kembali meningkat dalam beberapa pekan terakhir, karena pelonggaran pembatasan sudah dilakukan guna menghidupkan kembali perekonomian.
Pusat perbelanjaan sudah dibuka kembali dan ratusan ribu warga Jakarta dan sekitarnya kembali masuk kantor.
Dr Iwan Ariawan, pakar epidemiologi dari Universitas Indonesia mengatakan perkantoran di gedung-gedung tinggi di Jakarta menjadi pusat penyebaran kasus baru COVID-19.
"Sirkulasi udara di gedung perkantoran ini semua tertutup karena penggunaan pendingin udara," katanya.
"Dan di gedung perkantoran yang tinggi di Jakarta, jendela kantor tidak pernah dibuka."
"Gedung apartemen sebenarnya tidaklah menjadi ancaman, karena fungsinya seperti rumah, sepanjang orang-orang berada di unit masing-masing dan tidak berkumpul dalam jumlah besar." Photo: Dengan tingkat pengetesan yang rendah, tidak seorang pun tahu berapa jumlah kasus COVID-19 sebenarnya di Indonesia. (Antara Foto via Reuters: Aji Styawan)
Keberadaan orang tanpa gejala
Salah satu masalah yang dihadapi di Indonesia adalah sedikitnya pengetesan yang dilakukan terhadap warga sehingga angka kasus yang tercatat rendah di berbagai kota .
Dr Pandu Riono dari Universitas Indonesia mengatakan angka sebenarnya bisa 10 kali lebih tinggi, yang berarti di Indonesia sekarang sudah ada hampir 1 juta kasus COVID-19.
"80 persen mereka yang terkena tidak memiliki gejala," katanya.
"Saya tidak tahu persis jumlah yang terkena, namun saya percaya angkanya jauh lebih besar. Bisa 10 kali, atau 20 kali lebih besar, tidak seorang pun yang tahu."
Rendahnya angka pengetesan juga bisa menjadi alasan mengapa Bali memiliki kasus yang rendah dibandingkan Jakarta.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah pengetesan paling rendah di dunia.
Sejauh ini dari 270 juta penduduk, baru sekitar satu juta yang sudah dites.
Dr Iwan mengatakan meski angka pengetesan rendah, Jakarta sudah lebih banyak melakukan tes dibandingkan Bali dan provinsi lain, karena sumber daya dan laboratorium yang lebih memadai.
"Standar WHO adalah seribu tes per 1 juta penduduk per minggu. Jakarta sudah melakukan lebih banyak tes, Bali tidak melakukannya."
Indonesia berada di peringkat 23 dunia dengan kasus COVID-19 terbanyak saat ini, namun pakar epidemiologi mengatakan jumlah ini jauh lebih tinggi dibandingkan angka resmi yang dikeluarkan pemerintah.
Artikel selengkapnya dalam bahasa Inggris bisa dilihat di sini
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pemimpin dan Pejabat Wajib Beri Contoh Pakai Masker