jpnn.com - DI era pembelajaran abad 21, guru-guru dituntut menguasai teknologi, bahkan mahir. Tanpa itu, jangan harap bisa bertahan karena yang tidak bisa menggauli teknologi akan tersingkir dengan sendirinya. Ini pulalah yang mendorong tiga guru di wilayah perdesaan dan terpencil menjadi inovator pengembangan sistem teknologi dalam proses belajar mengajar.
Mesya Mohamad, JPNN.com
PENAMPILAN Eko Purwanto, guru SDN Wonokerto Magelang, serta Betty Sekarasih Hadi Yani, dan Endah Susanti, guru SMAN 2 Playen Gunung Kidul tidak ada yang istimewa.
BACA JUGA: Alhamdulillah! Setelah 17 Tahun Dipasung Akhirnya...
Sepintas orang yang tidak kenal pun bisa langsung menebak ketiganya adalah guru lantaran performance memang seperti tenaga pendidik kebanyakan. Bawa tas, map, pakaian batik, dan sikap santun.
Ketiga guru ini jauh-jauh datang ke Jakarta, sengaja diundang Microsoft Indonesia untuk memperingati Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2016. Meski tinggal di daerah minus, bagi ketiganya bukan kali pertama ke Jakarta.
BACA JUGA: Keluarga Nahkoda Brahma 12: Katanya Perusahaan Bayar Tebusan
Sudah beberapa kali mereka ke ibukota, bahkan sejak digandeng Microsoft, mereka sering ke ibukota untuk mendapatkan pelatihan tentang teknologi informasi.
Eko, Betty, dan Endah dipilih Microsoft karena inovasinya mengembangkan sistem teknologi dalam memudahkan kegiatan belajar mengajar. Sebelumnya, tidak ada bayangan ketiganya bisa menjadi inovator. Namun rasa ingin tahu dan kondisi di daerahnya membuat ketiganya tergerak membuat inovasi yang memudahkan proses belajar mengajar.
BACA JUGA: Dari Telenovela, Musik sampai Sepak Bola
Awal mula ketiganya akrab dengan teknologi dalam kegiatan belajar mengajar, saat Microsoft mengumpulkan mereka dalam satu grup. Ada sekitar 60 guru terpilih yang diajarkan berbagai aplikasi serta program.
Hasil pelatihan tersebut tidak sia-sia, pada 2015 ketiganya bisa mengimplementasinya dalam proses KBM (kegiatan belajar mengajar). Eko Purwanto sukses menggunakan Skype untuk memberikan materi sejarah Candi Borobudur kepada murid-muridnya melalui pembelajaran virtual.
Sementara Betty Sekarasih Hadi Yani dengan e-book dan Endah Susanti berhasil memanfaatkan e-rapport untuk memudahkan proses mamasukan dan analisa nilai siswa.
Sekalipun bukan berasal dari daerah perkotaan, ketiga guru ini berhasil menembus permasalahan infrastruktur untuk menjadi contoh inspiratif bagaimana guru Indonesia dapat memanfaatkan teknologi dalam membangun sistem belajar mengajar yang lebih interaktif.
"Guru dan murid bisa melihat Candi Borobudur secara virtual. Saya pun bisa menjelaskan sejarah, stupa, dan relief Candi Borobudur. Hasilnya mereka sangat antusias dengan metode ini. Pertanyaan yang diajukan lebih banyak daripada kelas tatap muka. Proses belajar mengajar pun menjadi lebih interaktif," beber Eko.
Diakuinya tidak semua guru yang melek teknologi. Namun, karena ada kemauan, Eko pun mau saja meluangkan waktunya mengajari guru-guru lainnya. Saat ini sudah 12 sekolah yang tersebar di wilayah Sulawesi, Jateng, Jatim, dan Jabar ikut dalam kelompok belajar virtual.
"Untuk menjadi guru virtual, kita harus banyak tahu karena biasanya yang ditanya siswa beragam. Alhamdulillah cara pembelajaran seperti ini lebih efisien karena waktunya maksimal dua jam dan anggarannya sedikit," ucapnya.
Sementara Endah mengungkapkan, e-rapport membantu para guru di SMAN 2 Playen Gunung Kidul untuk memasukkan nilai siswa-siswi lebih efisien. Karena sebelumnya, mereka memasukkan nilai siswa secara bergantian dengan guru lain karena sarana dan prasarana terbatas.
"Kami hanya membutuhkan waktu lima sampai 10 menit untuk memasukkan nilai siswa di mata pelajaran tertentu dengan menggunakan gadget masing-masing," tandas Endah.
E-rapport ini sudah dikembangkan dua sekolah SMP dan SMA di Gunung Kidul. Sebagai pilot project, seluruh guru dan siswa sudah akrab dengan teknologi. Apalagi Microsoft memberikan program Office 365 ditambah bantuan perangkat komputer serta laptop dari Kementerian Pendidikan Kebudayaan.
"Seluruh penghuni SMAN 2 Kudung Kidul mulai tukang kebun sampai kepsek, semuanya menguasai teknologi. Pihak sekolah pun memberikan dukungan penambahan kapasitas bandwith lima giga," tambah Betty.
Betty yang juga guru bahasa Inggris malah mengembangkan program e-book. Dengan program ini, siswa tidak perlu membeli buku cetak maupun buku tulis karena semua dikerjakan secara online. Ketika guru berada di luar daerah, penugasan bisa tetap jalan karena semuanya online dan gratis.
"Dengan e-book, saya lebih dekat secara personal dengan siswa. Saya juga bisa memberikan laporan ke siswa apa-apa saja yang harus dilakukan tanpa diketahui temannya yang lain. Karena masing-masing siswa dan guru punya akun sendiri dan terjaga kerahasiaannya," tuturnya.
Baik Eko, Endah, dan Betty pun berharap inovasi sederhana yang mereka buat bisa menginspirasi guru-guru lainnya terutama di wilayah desa terpencil. Asal ada kemauan, keterbatasan infrastruktur tidak jadi kendala untuk terus berinovasi. (esy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pengin Cantik Rogoh Rp 30 Juta, Eh...Pipi Sebelah Malah Turun
Redaktur : Tim Redaksi