Yus Datuak Parpatiah Masih Ada dan Masih Berkarya

Senin, 05 September 2016 – 17:18 WIB
Yus Datuak Parpatiah. Foto: Wenri Wanhar/JPNN.com.

jpnn.com - INILAH hikayat Yus Datuak Parpatiah, legenda hidup sastra tutur Minangkabau.

Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network

BACA JUGA: Luluhur Para Raja Jawa dari Semenanjung Melayu?

Masih ingat Yus Datuak Parpatiah? Nama ini melambung pada penghujung abad 20 ketika industri kaset sedang jaya-jayanya.

Kasetnya berupa drama komedi, monolog dan petuah adat Minangkabau beredar tak hanya di Sumatera Barat. Bahkan di seluruh Indonesia hingga mancanegara.

BACA JUGA: Rupanya Begini Pergaulan Para Bandit di Masa Lalu

Drama komedi yang cukup terkenal berjudul Rapek Mancik dengan lakon Rajo Angek.

Saking membuminya, ungkapan-ungkapan dan lakon drama tersebut menjadi banyolan sehari-hari urang awak.

BACA JUGA: Jurus Golok Terbang ala Mat Depok

Bagi yang ingin beromantisme dengan karya-karyanya, sila klik "Yus Datuak Parpatiah" di kanal youtube.

Nah, menjemput rindu akan masa lalu, Rabu, 31 Agustus 2016 lalu, JPNN.com mencari dan mewawancarai sang legenda hidup.

Masih Segar Bugar

Adzan Ashar baru saja berkumandang ketika kami tiba di sebuah gang kecil, di antara pematang sawah, menjelang kediaman Yus Datuak Parpatiah.

Di gang itu, sang legenda sedang asyik main bunga. "Ayok kita ke rumah," ajaknya usai mencabut keladi hias dari pot yang satu untuk dipindah ke jambangan yang lain.

Dari gerak-geriknya, lelaki 77 tahun itu masih segar bugar. Yusbir, begitu nama kecilnya, lahir pada 7 April 1939 di Sungai Batang, Maninjau, Agam--sekampung dengan Buya Hamka.  

Sebagai pemuka adat yang dilantik menjadi pemimpin kaum Chaniago pada 1970, sebenarnya ia berumah di kampung halamannya, di tepian Danau Maninjau.

Tapi dia punya tempat khusus untuk menulis; sepetak rumah kecil di tepi sawah di Padang Luar, Bukittinggi--tempat tempo hari kami menghabiskan waktu hingga larut malam.

Tutur bahasanya teratur. Enak didengar dan mudah dipahami. Pembawaannya tenang, tak tergesa-gesa.

Yus Datuak Parpatiah pun menceritakan hikayat hidupnya…

Balerong Grup Jakarta

Sebagai orang Minang yang marantau bujang dahulu, di rumah baguno balun, Yus muda pergi merantau selepas SMP.

Rantaunya mulai dari Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jambi, Lampung dan akhirnya berlabuh di tanah Jawa.

Untuk bertahan hidup, banyak hal pernah dicoba. Mulai dari dagang keliling, kaki lima, punya toko dan pada 1979 buka konveksi di Jakarta. "Konveksi itu bekerja sesuai pesanan," katanya.

Saat sepi pesanan, dia mulai menulis naskah drama Minang. Para karyawannya diajak latihan. Suatu ketika, ada sejawat tertarik. Namanya Haji John.

Haji John membawa Yus dan karyanya ke perusahaan rekaman terkenal di Padang. Namun ditolak.

Tak main-main, Haji John membawa gagasan tadi ke Globe Record, perusahaan rekaman milik Chau An di Jakarta.

Namun, untuk bisa naik rekam, Haji John mesti membelinya sebanyak 2 ribu kaset. Tak soal. Karena punya feeling bagus, dan bantu kawan, ia setuju.

Januari 1980 beredarlah kaset pertama Balerong Grup Jakarta pimpinan Yus Datuak Parpatiah dengan judul Di Simpang Duo. "Balerong itu artinya istana," Yus mengisahkan awal kiprahnya.

Drama yang mengangkat konflik mamak-kamanakan dalam adat Minangkabau itu meledak. Setelah itu kaset Balerong berikutnya pun dinanti-nanti orang.

Bagi Yus, dia memilih jalan baru terjun ke dunia industri rekaman karena tekanan ekonomi di rantau orang.

"Ibarat air, kalau ditekan terus, ada yang bocor akhirnya malasiknyo (melejit--red)," ungkap Yus, yang sangat menggemari saluang sejak kanak-kanak.

Saluang merupakan satu di antara sekian banyak sastra tradisi Minang yang lebih kurang senafas dengan musikalisasi puisi.

Memasuki abad 21, kebanyakan karyanya mengetengahkan petuah-petuah adat, sejarah dan falsafah hidup Minangkabau.

Hingga kini, Balerong setidaknya sudah menelurkan karya lebih dari seratus. Semua laku keras. Dan, di usia yang sudah 77 tahun, Yus Datuak Parpatiah masih berkarya.

"Saya sedang menulis buku. Tentang Minangkabau," katanya. Oh…Yus kan tidak dikenal sebagai penulis buku? Betul, yang sedang digarap ini adalah buku pertamanya.

"Insya Allah, bila tak ada aral melintang, semoga buku ini selesai sebelum ajal menjemput," ujar ayah dari tiga anak ini. Sorot matanya menyiratkan kedalaman budi.

Malam kian larut. Meski sebenarnya obrolan belum jua surut, kami mesti bapailah-batinggalah. Sebelum berpisah, dia sempat membuka rahasia siapa sebenarnya gurunya.

Yus mengaku tak pernah menimba ilmu adat Minang secara khusus kepada seorang guru. "Saya berguru kepada alam. Alam takambang manjadi guru. Banyak yang didapat dari pergaulan di lapau," ungkapnya. (wow/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Mat Depok, Nyai Belanda dan Jaringan Jawara Jakarta


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler