Pasal 29 UUD Perlu Diamandemen

Demi Jaminan Kebebasan Beragama

Kamis, 20 Januari 2011 – 19:15 WIB

JAKARTA - Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB) di MPR-RI, Lukman Edy meminta pemerintah berperan aktif dalam meminimalisir tindak kekerasan yang bersumber dari konflik agamaDisebutkan, sekitar 65 persen tindak kekerasan di 2010 justru dipicu sikap penyelenggara negara dalam bentuk pelarangan dan pemaksaan keyakinan beragama.

“Negara harus hadir dan menangani kasus-kasus kekerasan atas nama agama yang selama ini terkesan dibiarkan pemerintah

BACA JUGA: Pekerja Patuhi K3 Patut Diberi Insentif

FKB MPR pun akan mengawal itu dengan bersandar pada garis perjuangan NU yang berpijak pada toleransi, moderat dan keadilan,” kata Lukman Edy dalam dialog “Membangun Toleransi Antarumat Beragama di Indonesia” di Kampus UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Kamis (20/1).

Menurut Edy, pasal 29 UUD 1945, belum memberikan peran yang kuat kepada negara untuk terjaminnya kerukunan dan keyakinan beragama itu belum terisi
Penilaian ini berdasar maraknya konflik dan kekerasan agama yang terus terjadi

BACA JUGA: Daftar Bohong Pemerintahan SBY Tambah Satu Lagi

"Oleh sebab itu, peran Negara itu harus dikukuhkan dengan mengamandemen pasal 29 UUD RI 1945 tersebut agar tidak terkesan membiarkan kekerasan agama tersebut," ujar politisi asal Riau itu.

Pembicara lainnya, Musdah Mulia, menjelaskan, selain lima agama yang diakui Negara (Islam, Kristen, Protestan, Hindu dan Budha), dalam prakteknya juga masih ada aliran atau agama lain yang dianut oleh sebagian warga Indonesia yakni Tao, Syikh, Bahai dan Yahudi, serta terakhir Konghucu yang diakui negara semasa pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid.

"Langkah Gus Dur itu benar
Selain dijamin oleh konstitusi, juga tidak bertentangan dengan ajaran Islam sendiri," ujarnya.

Di tengah realita banyaknya agama dan aliran itu, lanjut Musda, seharusnya yang dikedepankan adalah kesamaan-kesamaan, bukan perbedaan

BACA JUGA: Kada Diperintahkan Bagi Beras ke Nelayan

"Tapi, yang muncul adalah perbedaan karena sejak kecil kita sudah ditanamkan dengan bibit-bibit perbedaan, kebencian, kemarahan dan permusuhan pada orang lain yang dianggap berbedaDan itu diperkuat dengan berbagai fatwa,” ujar Musdah.

Pluralisme, lanjutnya, tidak boleh terhenti pada tataran menerima perbedaan, tapi harus saling menghormati, menghargai dan kerjasama membangun kebersamaan untuk kepentingan bangsa dan negara yang lebih besar“Untuk itu tidak benar kalau pluralisme diartikan sebagai penyatuan semua keyakinan agama,” tegas Musdah Mulia lagi.

Sementara pembicara Favor Adeleide menegaskan, untuk menciptakan kedamaian dan kebersamaan dalam berbangsa dan bernegara, maka seluruh kekuatan agama harus sering melakukan dialog.

"Dengan masih terjadinya kekerasan agama ini, banyak yang mempertanyakan, masih bisakah kita hidup berdampingan?” ujar Favor.

Terakhir Favor mengklasifikasi pelanggaran kebebasan beragama berupa, pembiaran aksi kekerasan 14 kasus (22 persen), pelarangan kegiatan ibadah dan ekspresi keyakinan 5 kasus (8 persen), pelarangan pembatasan rumah ibadah 19 kasus (30 persen), dan pelarangan/pemaksaan keyakinan agama sebanyak 25 kasus (40 persen).

Dan dari pelanggaran itu mayoritas dilakukan oleh pemerintah yaitu Kemenag 1 kasus, TNI 5 (6 persen), kepolisian 31 kasus (36 persen),aparat kecamatan/kelurahan 7 kasus (6 persen), Bakorpakem 1 kasus, pemerintah kabupaten/kota/DPRD/Satpol PP 31 kasus (36 persen), kejaksaan 3 kasus, pengadilan 6 kasus (7 persen), dan pemerintah pusat 1 kasus.(fas/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Hari Sabarno Merasa Terkena Bencana


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler