Patrialis: RUU Intelijen Antisipasi Pelanggaran HAM

Selasa, 22 Maret 2011 – 14:38 WIB

JAKARTA - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum HAM) Patrialis Akbar yakin Rancangan Undang-undang (RUU) Intelijen yang kini dibahas Komisi I DPR sudah cukup memberikan fungsi koordinasi dan memperjelas kewenangan terhadap Badan Intelijen Negara (BIN) dalam menjalankan tugas-tugas kenegaraannya.

"Kalau sekarang, maaf saja, kan masing-masing jalan sendiri-sendiri dan nyaris tanpa koordinasi sehingga dimana-mana terjadi masalah gangguan keamanan masyarakat karena lambat mengantisipasi," kata Patrialis Akbar, usai rapat kerja dengan Komisi I DPR, Senayan Jakarta, Selasa (22/3).

Dengan pengaturan kewenangan yang jelas, lanjut Patrialis, RUU ini juga segera menepis kekhawatiran masyarakat akan terjadi suatu tindakan yang sewenang-wenang sehingga berpotensi melanggar HAM“Ini juga diantisipasi dengan UU ini,” ujarnya.

Bahkan ke depan lanjut Patrialis diharapkan adanya integrasi antara kerja yang dilakukan BIN dengan kementerian-kementerian lainnya

BACA JUGA: MK Diminta Tolak Uji Materi UU Kepailitan

Dengan demikian semua masalah itu cepat tertangani.

Soal pengawasan, lanjut Patrialis, langsung dilakukan DPR sebagai pembuat UU
Tidak perlu dibentuk lembaga baru

BACA JUGA: 1 April, PNS Terima Rapel Kenaikan Gaji

“DPR ini sudah disepakati sebagai lembaga pengawas, kalau ada masalah dalam pelaksanaan UU, misalnya ada pengaduan dari masyarakat bisa langsung ke DPR,” tandas dia lagi.

Terakhir, Menkum HAM meyakini UU Intelijen bisa efektif karena sangat dibutuhkan oleh negara yang heterogen seperti Indonesia
“Insya Allah kita harus yakin, makanya UU ini harus kita buat sebaik mungkin, masalah di negara besar ini kan banyak, mulai narkoba, bom, dan lain-lain,” jelasnya.

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Imparsial, Poengky Indarti menilai, RUU Intelijen masih memiliki sejumlah kelemahan, antara lain belum mengakomodasi nilai-nilai dan prinsip-prinsip kehidupan negara demokratik utamanya nilai-nilai penghormatan terhadap HAM serta menjunjung tinggi supremasi hukum dan pemerintahan yang bersih.

“RUU tersebut, belum mengatur secara jelas dan rinci mengenai mekanisme penyadapan

BACA JUGA: BIN Tak Mau Pelototi Facebook dan Twitter

Bahkan, RUU ini menolak adanya pengaturan mekanisme penyadapan melalui izin pengadilanIni tentu akan menimbulkan ancaman terhadap hak-hak privasi warga negara,” ungkapnya.

Selain itu, lanjutnya, RUU Intelijen, juga belum secara penuh melakukan penataan struktur dan peran kelembagaan intelijenDalam konteks negara demokrasi, penting untuk memisahkan antara institusi pembuat dan penanggung jawab kebijakan dengan institusi pelaksana kebijakan.

“Itu artinya, lembaga intelijen sudah semestinya merupakan institusi pelaksana kebijakan yang berkedudukan di bawah departemen selaku institusi pembuat kebijakanKeberadaan kelembagaan intelijen negara yang berada langsung di bawah Presiden rentan dengan politisasi,” kata dia.

Kelemahan lain, seperti dijelaskan, Lembaga Koordinasi Intelijen Negara (LKIN) sebagai lembaga baru yang diatur dalam RUU ini sepertinya akan menjadi lembaga yang menggantikan kedudukan Badan Intelijen Negara (BIN) yang memiliki kewenangan luas.

Dalam hal itu, LKIN seharusnya tidak boleh memiliki kewenangan dan fungsi operasional, seperti melakukan intersepsi komunikasi dan pemeriksaan aliran danaPelaksanaan fungsi operasional diserahkan kepada lembaga-lembaga intelijen yang sudah terbentuk yang telah memiliki kewenangan operasional.

“Tapi ada satu yang harus kami apresiasi bahwa dalam draf RUU ini tidak terdapat lagi klausul pasal yang memberikan kewenangan kepada intelijen untuk menangkap dan menginterogasi (fungsi penyidikan),” pungkasnya(fas/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Waspada Radiasi Nuklir, Penjagaan Gerbang Diperketat


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler