Tidak banyak jurnalis yang setia menekuni profesinya, terus produktif menulis sampai akhir hidupnya.
Dewi Anggraeni adalah salah satunya. Perempuan kelahiran 16 April 1945 ini dikenal sebagai jurnalis senior dan penulis sampai akhir hayatnya.
BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Presiden Joko Widodo Bekerja di IKN Selama Tiga Hari
Dewi meninggal dunia 19 Juli lalu di usia 79 tahun di Melbourne dan pemakamannya digelar di All Saints Angelican Church di kawasan Hawthorn, Melbourne, Senin pagi (29/07).
Sejarah karir Dewi termasuk sebagai koresponden TEMPO di Australia hingga sebelum pembredelan di tahun 1994, kemudian bekerja untuk The Jakarta Post dan Majalah Forum Keadilan, sebelum kembali aktif bersama TEMPO pada 1998.
BACA JUGA: Serba-Serbi Pembukaan Olimpiade Paris 2024 dan Kontingen Indonesia
Lebih dari itu, sepanjang hidupnya, Dewi Anggraeni telah menulis 15 buku, fiksi dan non-fiksi.
Dari jumlah tersebut, ada yang ditulis dalam bahasa Indonesia, dalam bahasa Inggris, atau dalam dua bahasa.
BACA JUGA: Utak-atik Makan Bergizi Gratis ala Prabowo-Gibran
Ini belum termasuk tulisan kolom, artikel, dan aktivitas lainnya seperti menjadi reviewer di ABC Radio National di Australia.
'Yang Gaib dan Yang Kasat Mata' atau yang dalam bahasa Inggris 'The Seen and Unseen' adalah buku terakhir yang ditulis diterbitkan pada Oktober 2022 lalu.
"Tidak seperti buku yang hanya dipelajari di kampus, hanya dipelajari akademisi, saya ingin buku itu dibaca orang biasa juga, masyarakat luas," kata Dewi menyampaikan harapannya saat diwawancarai oleh SBS Indonesia setelah peluncuran bukunya November 2022 lalu.
Sejumlah buku yang ditulis oleh Dewi Anggraeni antara lain My Pain My Country; Mereka Bilang Aku Tiongkok: Jalan Mendaki Menjadi Bagian Bangsa; Dreamseekers: Indonesian Women as Domestic Workers in Asia; ; The Root of All Evil; Neighbourhood Tales: A Bilingual Collection; Journeys Through Shadows; Dieux et Démons; Who Did This to Our Bali; dan Tragedi Mei 1998 dan Lahirnya Komnas Perempuan.Sosok yang menghangatkan hati
Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, berkesempatan mengenal lebih dalam Dewi Anggraeni dalam proses penulisan buku Tragedi Mei 1998 dan Lahirnya Komnas Perempuan, yang terbit pada 2014.
"Saya baru mengenalnya lebih dekat ketika Mbak Dewi menyampaikan keinginannya untuk menulis tentang Tragedi Mei 1998, saya membantu mengorganisir pertemuan dengan beberapa narasumber," kata Andy kepada ABC Indonesia.
"Dalam sesi wawancara dengan saya, kesan saya yang mendalam adalah seluruh sikap Mbak Dewi menyimak informasi, mengkonfirmasi dan menanyakan hal-hal lanjutan," tambahnya.
"Ini keterampilan yang sangat penting bagi penulis. Pengalamannya sebagai jurnalis tampak menjadi modalitas ketrampilan ini bertumbuh."
Andy mengatakan sosok Dewi sering menyampaikan pertanyaan-pertanyaannya dengan empatik dan merespon keresahan, "bukan sebagai pewawancara, tetapi lebih sebagai sahabat dalam perjuangan yang bersama mencoba memahami dan mencari jalan keluar."
Menurut Andy, ini yang menjadi alasan mengapa Dewi mampu menghangatkan hati.
"Saya mengenang Mbak Dewi sebagi perempuan penulis yang penuh semangat, inspiratif, juga menghangatkan hati."
Jurnalis senior Goenawan Muhammad juga menuliskan rasa kehilangannya dalam komentar di laman Facebook Dewi Anggraeni.
"Ia bertahan dengan lembut dan tenang, sampai hari terakhirnya. Kini tak akan datang lagi sahabat ini ke rumah kami."Selalu memikirkan orang lain
Dalam upacara pelepasan menuju pemakaman Dewi Anggraeni yang dilaksanakan di Melbourne hari ini, ada satu kesamaan yang membekas di hati dan pikiran orang-orang terdekat Dewi: ia adalah sosok yang selalu memikirkan orang lain dan rendah hati.
Pendeta Kuncoro Rusman yang memimpin upacara mengungkap jika di masa terakhirnya Dewi meminta dia mengirimkan uang untuk temannya di Indonesia, padahal Dewi saat itu sudah dalam keadaan sakit.
"Pak Kun, apakah mau menolong saya mengirimkan uang untuk teman saya di Indonesia, karena saya tidak perlu uang itu lagi sekarang," tutur Kuncoro menirukan permintaan Dewi.
"Beliau sudah sulit bernafas saat itu, tapi masih memikirkan orang-orang yang membutuhkan."
Sebelum wafat pada 19 Juli yang lalu, Dewi juga berpesan tidak mau upacara pemakamannya dilangsungkan di gereja Katedral yang megah, dan memilih gereja kecil di timur kota Melbourne.
Trisna Fraser, putri Dewi, juga merangkum warisan dari ibunya dengan indah dalam upacara itu.
"Ibu mewariskan rasa keadilan sosial yang kuat, rasa ingin tahu yang mendalam tentang orang lain, baik secara pribadi, budaya, maupun politik. Keinginan kuat untuk terhubung dengan orang lain, dan kreativitas luar biasa, yang terwujud tidak hanya melalui karyanya, tetapi juga melalui makanan yang lezat, cita rasa estetika, musik, dan perlawanan kreatif ... serta cinta dan pengabdian yang teguh dari seorang ibu ... Saya berharap melalui warisan ini, Ibu dapat terus hidup melalui saya dan kita semua yang berkumpul di sini hari ini."
Selamat jalan, Ibu Dewi Anggraeni.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dunia Hari Ini: Topan Kuat Gaemi Menerjang Taiwan, Diperkirakan Akan Menuju Tiongkok