jpnn.com, JAKARTA - Pengurus Perhimpunan Bantuan Hukum & Hak Asasi Manusia (PBHI) Julius Ibrani mendesak DPR melakukan impeachment atau pemakzulan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Dia menduga Jokowi telah melakukan obstruction of justice atau menghalangi penyidikan dalam kasus korupsi megaproyek E-KTP yang melibatkan mantan ketua DPR Setya Novanto.
“Kami menyarankan (Jokowi) di-impeachment, bukan hanya interpelasi. Kami menyarankan DPR RI melakukan impeachment,” ujar Julius kepada wartawan, Minggu (3/12).
Julius menuturkan tidak ada dasar hukum Jokowi bisa memanggil eks Ketua KPK Agus Raharjo untuk bertanya terkait dengan kasus yang sedang ditangani oleh KPK.
BACA JUGA: Reshuffle dan Impeachment
“Artinya setiap bentuk pertanyaan terhadap perkara, setiap bentuk intip-intipan terhadap perkara itu harus dianggap sebagai bukan hanya intervensi, tetapi perbuatan menghalang-halangi proses hukum,” ujarnya.
Dalam wawancara dalam program Rossi di Kompas TV, Agus mengaku pernah dipanggil Jokowi ke Istana Negara, Jakarta. Kala itu, Agus menyebut Jokowi marah dan meminta kasus korupsi E-KTP yang menjerat Setnov dihentikan.
BACA JUGA: Pesan Serius Bang Emrus untuk Politisi Ingin Impeachment Jokowi
Namun, Agus menyebut tidak bisa melakukan itu lantaran KPK tidak memiliki kewenangan untuk menghentikan perkara.
Dalam prosesnya, Setnov divonis terbukti korupsi dan dijatuhi hukuman penjara 15 tahun dan denda Rp500 juta. Eks Ketum Golkar ini juga diminta membayar uang pengganti sebesar US$7,3 juta. Hak politiknya juga dicabut selama lima tahun.
Terkait dengan impeachment, Julius mengingatkan DPR bisa menjadi target selanjutnya Jokowi meski saat ini berkoalisi. Sebab, dia berkata Jokowi sudah berhasil menghancurkan lembaga sebesar KPK.
“Bukan berarti Jokowi selanjutnya bisa menghancurkan DPR RI lewat UU MD3 dan lain-lain. Sedangkan partai besar yang membesarkan dia saja bisa dia khianati. Apa jaminan ke depan partai yang memenangkan dia atau anaknya tidak dia khianati,” ujar Julius.
“Preseden buruk ini harus dihentikan, bukan hanya pada level interpelasi. Maka perlu ada ruang untuk impeachment. Apakah impeachment itu terbukti atau tidak di MK, itu urusan belakangan,” ujarnya,
“Tapi publik perlu terbuka mata dan telinganya mendapat informasi yang penting seperti ini sehingga anggaran negara bobrok hancur karena korupsi tapi tidak bisa ditangani oleh KPK karena sengaja didesain untuk dibunuh,” ujar Julius.
Julius menyebut Jokowi secara sistematis telah membunuh KPK. Hal itu terlihat dari revisi UU KPK yang membuat KPK menjadi di bawah presiden. Intervensi terhadap perkara yang ditangani KPK seperti kasus E-KTP juga memperkuat hal tersebut.
Bahkan, Julius membeberkan Jokowi pernah memanggil tiga ahli hukum, yang salah satunya kini sudah menjadi hakim MK guna bertanya bahwa Setnov tidak bersalah.
“Teman-teman perlu tahu juga ada tiga ahli hukum yang dipanggil ketika itu. Tiga ahli hukum yang dipanggil ini pertanyaanya juga sama tanpa ada pengantar terlebih dahulu dari Presiden Joko Widodo. Jadi langsung di tembak ‘Setya Novanto tidak bersalah kan?’, ujar Julius.
“Ketiganya kompak menjawab jelas bersalah dengan berbagai penjelasan,” ujarnya menambahkan.
Julius menjelaskan KPK adalah lembaga independen, bukan di bawah kekuasaan politik subordinasi mana pun yang bekerja dalam penegakan hukum, secara spesifik terkait dengan tindak pidana korupsi.
Oleh karena itu, Julius berkata KPK yang menjalankan fungsi ajudikasi tidak boleh mendapat intervensi dalam menjalankan tugas pemberantasan korupsi oleh lembaga lain.
“Sama seperti proses hukum manapun, dia (KPK) tidak boleh ditanyain, diintervensi, diintip-intip segala macam, tidak boleh. Dan seluruh kinerjanya, dokumennya merupakan rahasia negara. Seperti BAP, bukti-bukti, keterangan-keterangan dan segala macamnya,” ujar Julius. (cuy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tiada Pihak Berani Suarakan Pemakzulan Terhadap Jokowi, Refly Harun Sampai Heran
Redaktur & Reporter : Elfany Kurniawan