Pecat Hakim MK, DPR Sedang Memperagakan Kekuasaan yang Melanggar UU

Sabtu, 01 Oktober 2022 – 01:28 WIB
Setara Institute menilai DPR telah melanggar undang-undang karena mencopot hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Aswanto. Ilustrasi. Foto: Natalia Laurens/JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Setara Institute menilai DPR telah melanggar undang-undang karena mencopot hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Aswanto. Langkah DPR mencopot Aswanto juga telah merusak independensi hakim dan kelembagaan MK.

"Pencopotan Hakim Konstitusi Aswanto dari jabatan sebagai hakim konstitusi oleh DPR adalah peragaan politik kekuasaan yang melanggar UU dan merusak independensi hakim dan kelembagaan Mahkamah Konstitusi," kata Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani dalam keterangannya, Jumat (30/9).

BACA JUGA: DPR Anggap Hakim Konstitusi Aswanto Menyusahkan Owner, Layak Diganti

Ismail menjelaskan sesuai dengan UU MK, mekanisme pemberhentian jabatan hakim konstitusi dilakukan saat periode yang bersangkutan telah habis. Selain itu, hakim konstitusi mencapai usia 70 tahun sebagaimana norma yang dibuat sendiri oleh DPR dalam revisi ketiga UU MK.

Pemberhentian di tengah masa jabatan hanya bisa dilakukan jika hakim konstitusi tersandung pelanggaran etik atau melakukan tindak pidana.

BACA JUGA: Jimly Asshiddiqie Protes DPR yang Pecat Hakim Konstitusi, Keras!

"Pemberhentian hanya bisa dilakukan melalui leputusan Dewan Etik Mahkamah Konstitusi," tegasnya.

Untuk itu, langkah DPR mencopot Aswanto sebagai hakim konstitusi dan menggantinya dengan Sekjen MK Guntur Hamzah telah mengabaikan seluruh ketentuan yang tercantum.

BACA JUGA: DPR Pecat Hakim Konstitusi, Donal Sebut Jungkir Balik Negara Hukum

Menurut Ismail pernyataan Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto atau Bambang Pacul soal pencopotan Aswanto sebagai hakim MK bukan hanya keliru tetapi juga merusak institusi MK.

Diketahui, Bambang Pacul menyebut salah satu penyebab Aswanto dicopot dari jabatannya sebagai hakim MK karena banyak produk undang-undang yang dibuat DPR yang justru dibatalkan oleh Aswanto.

Padahal Aswanto merupakan hakim MK dari perwakilan DPR.

"Argumen ini bukan hanya keliru tetapi mempunyai daya rusak bagi institusi MK. DPR menganggap tiga orang hakim MK jalur DPR adalah wakilnya, yang harus berkomitmen mengamankan produk kerja DPR, yakni tidak membatalkan UU yang dibentuk oleh DPR dan presiden," kata Ismail.

Pengajar hukum tata negara Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menegaskan desain pengisian jabatan hakim MK dari tiga cabang kekuasaan, yakni DPR, presiden, dan MA.

Namun, posisi itu bukanlah ditujukan untuk mewakili kepentingan institusi-institusi tersebut.

Pengisian jabatan dari tiga cabang kekuasaan itu justru untuk memastikan independensi, integritas, dan kontrol berlapis eksistensi MK. Hal ini mengingat posisi MK sebagai peradilan konstitusi yang menjaga prinsip supremasi konstitusi.

"Pencopotan Aswanto jelas menggambarkan penggunaan nalar kekuasaan yang membabi buta. Peragaan nalar sebagaimana diadopsi DPR akan membonsai kelembagaan dan hakim-hakim MK, khususnya yang berasal dari jalur DPR dan presiden, karena posisi DPR dan presiden sebagai pembentuk UU," tegasnya.

Selain itu, kata Ismail, argumen DPR yang menyebut tindakannya mencopot Aswanto sebagai keputusan politik juga menyesatkan.

Dia menganggap sebagai institusi politik, DPR tetap terikat dan harus patuh pada UU MK. DPR juga terikat seluruh prosedur yang telah ditetapkan dan menjadi kesepakatan politik yang dituangkan dalam bentuk UU.

Seharusnya, jika ingin mengganti hakim MK, yang harus dilakukan DPR adalah mengubah batasan masa jabatan dan kewenangan kocok ulang.

Rencana revisi UU MK baru disahkan menjadi inisiatif DPR pada Kamis, (29/9), tetapi pada saat yang bersamaan DPR telah mempraktikkan norma yang masih berupa RUU revisi dimaksud.

Menurut Ismail, carut marut jabatan MK memang dimulai dari DPR yang pada perubahan ketiga UU MK telah mengubah ketentuan batas usia hakim konstitusi hingga 70 tahun atau maksimal 15 tahun menjabat tanpa ketentuan kocok ulang atau evaluasi dari lembaga pengusul.

Masalahnya, hakim MK dengan penuh konflik kepentingan juga mengafirmasi perubahan itu dengan mencari dalil-dalil pembenar yang menguntungkan dirinya.

Padahal, persoalan masa jabatan dan batas usia adalah kebijakan hukum terbuka yang bukan merupakan isu konstitusional.

"Artinya, pembangkangan-pembangkangan konstitusi juga dipicu oleh kinerja MK yang sarat kepentingan," tegas Ismail. (tan/JPNN)

Simak! Video Pilihan Redaksi:

BACA ARTIKEL LAINNYA... Habib Aboe Minta KPK dan MA Usut Kasus Suap Hakim Agung Secara Transparan dan Adil


Redaktur & Reporter : Fathan Sinaga

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler