Pelanggaran UU Kehutanan Hanya Bisa Diberi Sanksi Administratif

Sabtu, 04 Februari 2023 – 00:43 WIB
Pakar hukum administrasi menilai pelanggaran UU Kehutanan tidak bisa diberi sanksi pidana. ILUSTRASI. FOTO: Pixabay.com

jpnn.com, JAKARTA - Pakar hukum administrasi negara Profesor I Gde Pantja Astawa menilai pelanggaran Undang-Undang (UU) Kehutanan tidak bisa serta merta dikategorikan tindak pidana korupsi.

Menurut dia, penyelesaian keterlanjuran membangun perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan tidak bisa menggunakan UU Tipikor, tetapi harus menggunakan UU Cipta Kerja dan turunannya.

BACA JUGA: BPHN Lakukan Evaluasi atas UU P3H dan UU Kehutanan

"Adanya UUCK dibuat untuk menyederhakan 79 UU yang saling berbenturan. Sehingga memudahkan perizinan serta menghilangkan kerisauan pengusaha untuk berusaha di Indonesia," kata Pantja di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (3/2).

Menurut Pantja, adanya pelanggaran UU Kehutanan yang dituduhkan kepada Duta Palma akibat terjadi tumpang tindih aturan ketentuan Kehutanan dengan Tata Ruang Wilayah yang diatur dalam Peraturan Daerah. Akibatnya pengurusan izinnya menjadi terhalang sejak tahun 2012.

BACA JUGA: Jokowi Terima Tokoh Kehutanan di Istana, Tetapi Tak Ada Menteri yang Mendampingi, Lihat

"Karena terjadi tumpang tindih kebijakan daerah dan pusat lahirlah Undang-Undang Cipta Kerja. UU Cipta Kerja ini menyatakan tidak ada sanksi pidana, hanya merupakan sanksi administrative,” katanya.

Menurut Pantja, keputusan pejabat tata usaha negara yang memberikan izin lokasi untuk penyediaan lahan perkebunan tetap berlaku. Sebab tidak ada pencabutan ataupun perbaikan, dan bukan termasuk perbuatan pidana. Keputusan kepala daerah sifatnya kongkrit dan mengikat karena bersumber dari Perda RTRW Provinsi.

BACA JUGA: Pemerintah Wajib Melindungi Hak Atas Tanah dari Klaim Kawasan Hutan

"Tidak semua tindakan adalah tindakan pidana, tidak bisa serta merta dikategorikan melanggar pasal tindak pidana korupsi sebagaimana bunyi Pasal 14 UU Tipikor," tegas Pantja.

Pantja menjelaskan dalam UU Cipta Kerja ini menyatakan tidak ada sanksi pidana, hanya merupakan sanksi administratif. Karena apa, setiap perizinan yang sudah terlanjur memasuki kawasan hutan diberi waktu tiga tahun untuk membenahi memenuhi syarat-syarat agar mempunyai hak atas tanah HGU.

"Berlakunya UU Cipta Kerja ini, sebetulnya tidak ada lagi permasalahan bagi Duta Palma. Karena sudah diakomodir UU Cipta Kerja Nomor 11 tahun 2020," kata dia.

Bahkan, menurut Pantja, keterangan saksi dari KLHK sudah dengan tegas menyatakan tidak boleh ada proses hukum, karena permasalahan Duta Palma sudah masuk di dalam SK Menteri Kehutanan Nomor SK.351/Menhut-II/2021 dan sudah menunggu proses oleh KLHK.

"Di mana Duta Palma harus menyelesaikannya dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, karena lahannya masuk kawasan hutan. Sudah diakomodir UU Cipta Kerja Nomor 11 tahun 2020," tegasnya.

Hal yang sama disampaikan Dr Chairul Huda ahli hukum pidana, Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhamadiyah Jakarta.

Menurutnya, pada Pasal 2 unsur melawan hukum tidak bisa berdiri sendiri haruslah dibuktikan adanya kerugian negara dan perekonomian negara.

“Pasal ini bisa dikenakan kepada seseorang jika ditemukan dugaan perbuatan pidana dalam pengelolaan administrasi yang mengakibatkan kerugian keuangan negara. Jika berkaitan dengan pelanggaran UU kehutanan, maka bukan masuk kategori UU Tipikor,” kata Huda.

Selain itu, lanjut Huda, untuk pelanggaran administrasi dan perizinan yang bertanggung jawab haruslah korporasi dan pengurusnya. Bukan pemegang saham sebab ia tidak ikut campur dalam kegiatan teknis perusahaan.

Kemudian, lanjutnya, Pasal 3, tidak bisa dikenakan pada mereka yang tidak punya jabatan. Adanya pemberian pengaruh dan wewenang adalah hak yang dimiliki oleh pejabat negara.

“Sebab tidak mungkin terjadi perbuatan melawan hukum bagi mereka yang tidak punya jabatan atau wewenang,” katanya. (cuy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pakar: Tak Ada Sanksi Pidana Dalam Penyelesaian Masalah Kawasan Hutan


Redaktur & Reporter : Elfany Kurniawan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler