jpnn.com, JAKARTA - Industri hilir sawit akan menghadapi tantangan berat baik di dalam dan luar negeri sebagai dampak resesi global dan kondisii perekonomian masyarakat.
Pemerintah diharapkan mampu menciptakan kebijakan dan dukungan terutama mengantisipasi dampak hambatan dagang di negara tujuan ekspor.
BACA JUGA: Forwatan dan Tiga Asosiasi Hilir Sawit Salurkan Bantuan ke Empat Yayasan
Perkembangan bisnis hilir sawit ini disampaikan dalam buka puasa bersama antara Forum Wartawan Pertanian dengan Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI), Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (APOLIN), dan Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) di Jakarta.
Selain itu, tiga asosiasi hilir sawit ini berkolaborasi dengan Forum Wartawan Pertanian untuk memberikan bantuan kepada anak yatim dan masyarakat kurang mampu melalui yayasan sosial di sekitar Jabodetabek.
BACA JUGA: Pemerintah, Ahli, dan Petani Harus Bekerja Sama Memajukan Kelapa Sawit Indonesia
“Peranan media sangat luar biasa untuk mendukung berjalannya industri hilir sawit termasuk program biodiesel. Makanya kami harapkan kerja sama ini dapat terus berlanjut,” ujar Ketua Harian APROBI Paulus Tjakrawan dalam siaran persnya, Selasa (28/3).
Dia menjelaskan bahwa program biodiesel telah mencapai bauran 35 persen yang diharapkan akan terus meningkat di tahun-tahun mendatang.
BACA JUGA: Mentan Syahrul Dorong Integrasi Sawit Sapi di Kalimantan Selatan
Pada 2023, target penggunaan biodiesel akan mencapai 13,15 juta kiloliter yang mampu mengurangi impor minyak solar hingga Rp 140 triliun.
“Program biodiesel merupakan bagian dari upaya mencapai target nol emisi pada 2060. Karena itulah, perlu didorong program bioenergi lainnya seperti bioavtur, bioethanol, dan bensin sawit,” ujarnya.
Ketua Umum APOLIN Rapolo Hutabarat mengapresiasi sikap pemerintah Indonesia dalam mengantisipasi pandemi karena perlu kehati-hatian dalam penetapan kebijakan. Indonesia perlu bersyukur dianugerahi kelapa sawit sebagai sumber bahan baku utama dari produk oleokimia yang membantu daya saing industri.
“Indonesia telah menjadi produsen terbesar dari produk oleokimia di dunia. Saat ini, kapasitas produksi oleokimia Indonesia mencapai 11,38 juta ton di mana lebih tinggi dari Malaysia sebesar 2,5 juta sampai 3 juta ton yang berbasis minyak sawit,” ujar Rapolo.
Sahat Sinaga selaku Direktur Eksekutif GIMNI menjelaskan bahwa di kuartal pertama tahun ini tren masih di bawah periode sama tahun lalu.
Di pasar global, terjadi penurunan tren produksi 17 minyak nabati sebesar 2 persen menjadi sekitar 58 juta ton dari target awal 61 juta ton. Begitu pula di dalam negeri, harga sawit tidak seperti tahun lalu di atas US$ 1000/ton.
“Saat ini ekspor sawit menurun akibat dampak resesi global. Imbasnya, target Domestic Market Obligation sulit dicapai. Lemahnya ekspor ini mulai terjadi di akhir 2022 di mana hak ekspor sawit sebesar 6,1 juta ton tidak sepenuhnya terealisasi," kata dia.
Sahat mengusulkan DMO tidak lagi tepat menggerakkan pemenuhan kebutuhan minyak goreng. Sebaiknya pemerintah fokus membantu masyarakat kurang mampu sekitar 33 juta orang dengan kebutuhan minyak goreng murah sekitar 42 juta kiloliter. (cuy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Melantai di Bursa Saham, Nusantara Sawit Sejahtera Raih Dana IPO Rp 453,165 Miliar
Redaktur & Reporter : Elfany Kurniawan