Pemerintah Dinilai Tak Serius Jalankan Program B10

Senin, 11 Agustus 2014 – 11:07 WIB

jpnn.com - JAKARTA -  Program biodiesel yang digadang-gadang sebagai alternatif solusi mencegah jebolnya BBM subsidi, dinilai tidak dijalankan secara serius oleh pemerintah.

Dari target sebesar 4,6 juta kiloliter penggunaan biodisel B10, hingga semester I tahun ini, hanya terealisasi tidak sampai separohnya.

BACA JUGA: LPG 12 KG Naik, LPG 3 Kg Bisa Diperketat

Program B10 adalah pencampuran BBN sebesar 10 persen yang dimulai sejak September 2013 hingga akhir 2015. Sedangkan pada awal 2016 akan diterapkan pencampuran biodiesel sebesar 20 persen (B20).

“Ini menjadi pertanyaan besar terhadap keseriusan pemerintah akan penggunaan biodiesel,” ujar Direktur Pengkajian Energi Universitas Indonesia Iwa Garniwa saat dihubungi wartawan, Senin (11/8).

BACA JUGA: Sentimen Positif Pasar Global

Seperti diketahui, pemerintah saat ini tengah berupaya menghemat pemakaian BBM bersubsidi, mengingat ketersediaan BBM bersubsidi diperkirakan akan ‘pas-pas-an’.

Hal ini terungkap setelah dalam semester I tahun ini telah tersalurkan sebanyak 22,9 juta kiloliter atau naik 1,3 persen  jika dibandingkan dengan realisasi penyaluran pada periode yang sama tahun lalu.

BACA JUGA: LG Inves Rp 14,4 Triliun di Papua Barat

Pemerintah terus berupaya agar kuota BBM bersubsidi tidak melebihi kuota yang sudah ditetapkan Pemerintah bersama DPR yakni sebesar 46 juta kiloliter.

Selain pembatasan pembelian solar bersubsidi, upaya lain mengurangi konsumsi BBM bersubsidi dengan menggelar program pengembangan energi alternatif berupa biodiesel, bahan bakar nabati (BBN) yang dicampurkan ke BBM .

Iwa Garniwa menilai, program biodiesel ini ternyata tidak dijalankan secara serius oleh pemerintah.

Iwa melihat ketidakseriusan pemerintah ini  merupakan bukti tidak adanya sense of crisis terhadap ketersediaan BBM khususnya BBM bersubsidi. Padahal, lanjut Iwa, fakta ada di depan mata. Besaran subsidi yang dikeluarkan pemerintah untuk sektor energi terus menggerogoti APBN. Ini bisa dilihat dari APBN-P 2014 yang menetapkan subsidi energi sebesar Rp 350,31 triliun atau membengkak 24% dibandingkan APBN 2014 yang sebesar Rp 282,1 triliun.

Belum lagi defisit neraca pembayaran Indonesia yang terus terjadi sejak tahun 2012. Salah satu penyebabnya adalah masih tingginya impor bahan bakar minyak (BBM) yang mencapai 500.000  barel per hari. BBM impor ini untuk mencukupi konsumsi BBM di Indonesia yang mencapai 1,5 juta barel per hari. Kondisi ini akan menghentikan pertumbuhan ekonomi yang ujung-ujungnya akan menghambat proses pembangunan di Indonesia.

“Harusnya sejak 2005 silam, sudah dipikirkan kondisi BBM bakalan seperti saat ini dengan berbagai solusi untuk mencegahnya. Jangan seperti sekarang dimana pemerintah panik sehingga solusi yang diambil hanya bersifat parsial saja. Mulai dari pembatasan pembelian solar bersubsidi hingga tidak ada lagi BBM subsidi di rest area jalan tol,” tuturnya.

Jika saja pemerintah serius menjalankan B10 ini, kata Iwa akan menghemat keuangan negara hingga US$3 miliar per tahun. Apalagi jika dilakukan percepatan dari B10 menjadi B20, dapat menghemat anggaran subsidi setidaknya US$6 miliar. “Itu dengan perhitungan jika menggunakan 30-40% biodiesel dari total anggaran BBM bersubsidi,” katanya.

Keseriusan pemerintah ini juga menjadi sorotan Tumiran, anggota Dewan Energi Nasional (DEN) terutama terkait dengan pelaksanaan B10.

“Terkait B10, memang patut dipertanyakan, apakah pemerintah serius atau tidak. Kalau memang serius, kenapa subsidi BBM tidak menunjukkan penurunan?” ujarnya.

Diakui Tumiran bahwa sejak lama DEN telah mengusulkan pada pemerintah soal BBN sebagai energi alternatif. Komoditas sawit yang melimpah di Indonesia bisa dijadikan solusi yang tepat dan mengurangi ketergantungan impor BBM Indonesia. “Ini sangat bagus akan mengurangi impor BBM. Setidaknya devisa kita tidak tersedot keluar.”

Meski demikian, Tumiran menegaskan bahwa pemerintah harus melibatkan semua stakeholders yang terlibat dalam kebijakan BBN ini, seperti Kementerian Perhubungan dan Perindustrian, asosiasi industri otomotif, PLN serta asosiasi penghasil CPO. “Setelah stakeholders siap, baru pemerintah memastikan kesiapan pelaku industrinya melalui sebuah regulasi. Ini harus benar-benar siap, bukan lagi uji coba,” ujarnya.

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Produsen Biodiesel (Aprobi) MP Tumanggor mendesak pemerintah agar mempercepat program biodiesel dari B10 menjadi B20, meski pelaksanaan B10 berjalan lamban. Selain akan menghemat keuangan negara juga akan memperbaiki defisit neraca pembayaran akibat masih tingginya BBM impor.

Percepatan ini akan berjalan mulus karena 23 anggota Aprobi plus anggota Gapki yang merupakan perusahaan crude palm oil (CPO) siap mengembangkan biodiesel untuk menyuplai kebutuhan dalam negeri dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Kebijakan B20 akan berdampak positif kepada industri biodiesel dimana kapasitas terpasang biodiesel baru 5,7 juta kiloliter akan naik menjadi 7-8 juta kiloliter, asalkan B20 terealisasi dan harga menguntungkan. Selain itu, didukung juga oleh jumlah produksi CPO Indonesia yang telah mencapai 30 juta ton per tahun.

Jumlah tersebut akan semakin meningkat menjadi 40 juta ton per tahun pada 2020. “Sekarang ini kami masih menunggu keseriusan pemerintah. Ketegasan ini harus didukung dengan regulasi yang jelas dan insentif pajak,” tandasnya.(sam/jpnn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... HPP Gula Kristal Putih Kini Rp 8.500 Per Kg


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler