jpnn.com - JAKARTA – Desakan agar pemerintah segera menurunkan harga gas industri pasca-terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40/2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi terus bermunculan. Apalagi, Kementerian ESDM dan Kementerian Perindustrian terkesan lambat merealisasikan perpres yang keluar pada Mei itu.
Sampai saat ini, pemerintah masih menggodok formula yang pas. Direktur Center for Energy Policy Kholid Syerazi mengatakan, pemerintah perlu bergerak cepat dengan memangkas masalah di hulu dan hilir.
BACA JUGA: Gandeng Rekind, Pertamina Garap Kilang Balongan
Menurutnya, perbaikan tata kelola harus dilakukan menyeluruh supaya impian harga gas industri bisa tidak lebih dari USD 6 per MMBTU tercapa. ’’Mutlak harus dilakukan dari hulu dan hilir, itu kuncinya,’’ kata Kholid, Senin (10/10).
Meski sarannya terkesan klise, tapi itu tidak dilakukan oleh pemerintah saat membenahi regulasi. Contohnya saat Kementerian ESDM merevisi PP Nomor 79 Tahun 2010 tentang Pengembalian Biaya Operasi yang parsial karena UU Migas belum diubah.
BACA JUGA: Jatim Siapkan BUMD Penggemukan Sapi
Jadinya, bisa sia-sia kalau pada akhir tahun ini UU Migas selesai dan tidak sejalan dengan revisi PP 79/2010. Seharusnya, yang direvisi adalah UU Migas dahulu, baru aturan turunannya disesuaikan.
Nah, dia khawatir cara yang sama dilakukan pemerintah dalam upaya menurunkan harga gas industri. ’’Kalau tidak menyeluruh dari hulu hingga hilir, penurunan harga gas bisa sulit tercapai,’’ jelasnya.
BACA JUGA: Pertumbuhan Saham 15 Persen Paling Realistis
Dia lantas mencontohkan yang terjadi di salah satu negara bagian Amerika Serikat (AS). Saat infrastruktur tidak matang, berdampak pada tingginya harga energi meski sudah dilakukan open access.
Di Indonesia, hal serupa sudah terjadi karena harga gas di hulu sudah sangat tinggi. Antara USD 7 per MMBTU sampai USD 12 per MMBTU. Itulah kenapa, Kementerian ESDM maupun Dewan Energi Nasional (DEN) menyebut harga gas di Indonesia termahal di dunia. Negara tetangga saja, bisa menjual gas di bawah USD 5 per MMBTU.
Urusan hulu dan hilir itu disebutnya bisa lebih cepat teratasi kalau pemerintah segera membentuk holding BUMN energi. Nantinya, holding BUMN Migas bisa menekan inefisiensi harga yang selama ini membuat harga gas melambung. ’
’Holding itu satu kesatuan dengan rencana penurunan harga gas. Mengapa rencana itu tidak segera terwujud?,’’ tanya dia.
Jika tata kelola diperbaiki, dia menyebut komponen harga bisa ditekan. Terutama, soal biaya transporting yang selama ini mencapai 40 persen dari total biaya gas.
Selama ini, yang membuat struktur harga gas berlapis karena minimnya infrastruktur transportasi. Kondisi itu diperburuk dengan kompetisi antara Pertagas dan PGN.
Ketua Ikatan Ahli Perpipaan Migas (IAP Migas) Hendra Jaya menambahkan, penurunan harga gas bisa dilakukan dengan banyak cara. Mulai dari komponen di hulu seperti transmisi, distribusi, serta marjin dan pajak. Pengurangan porsi pemerintah dalam konteks bagi hasil dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) mutlak harus dilakukan.
Penetapan harga gas juga tidak hanya berdasar dari keekonomian lapangan, tapi dikaitkan dengan harga minyak atau produk. Di sisi transmisi, lanjut Hendra, penurunan harga bisa dilakukan lewat optimalisasi pipa dengan open access jika berdekatan dengan wilayah distribusi.
’’Banyaknya pipa gas yang masih tumpang tindih menyebabkan pembengkakan anggaran belanja modal. Kalau pipa digunakan bersama, ada penghematan yang signifikan,’’ jelasnya.
Sementara, VP LNG Pertamina Didik Sasongko Widi di kantor Pusat Pertamina menyebut holding gas dibutuhkan supaya harga gas bisa turun. Jika sudah ada ada aggregator, pengatur hanya ada satu.
Menurutnya, aggregator gas juga bisa diwujudkan dalam bentuk holding. ’’Kami sebagai supplier dan pembeli gas punya satu posisi harga seperti Petronas,’’ ucapnya akhir pekan lalu.
Lewat aggregator gas atau holding, tidak ada lagi tumpang tinggi pembangunan infrastruktur. Cara itu juga membuka kesempatan bagi Pertamina untuk memberikan subsidi seperti yang dilakukan Petronas. (dim)
BACA ARTIKEL LAINNYA... 3 Perusahaan Tiongkok Berminat Investasi di Industri Alas Kaki Jatim
Redaktur : Tim Redaksi