JAKARTA - Pemerintah pusat bersikeras menginginkan ada pemilihan gubernur secara langsung di Daerah Istimewa Jogjakarta (DIJ)Posisi Sultan Hamengku Buwono X (HB X) dan Paku Alam IX ditempatkan di atas gubernur
BACA JUGA: Rekonstruksi Maraton, Gayus Kelelahan
Namun, Sultan dan Paku Alam akan kehilangan kekuasaan eksekutif yang akan menjadi kekuasaan gubernur.Sikap pemerintah tersebut akan disampaikan dalam draf final revisi RUU Keistimewaan Jogjakarta yang akan segera disampaikan kepada DPR
"Pemerintah menetapkan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Paku Alam IX sebagai orang tertinggi di wilayah itu
BACA JUGA: Istana Jamin Sultan Tetap Dimuliakan
Tapi kalau kita menganut demokratisasi, sebagai penyelenggara pemerinahan sehari-hari, dipilih rakyat secara demokratis," kata Menko Polhukam Djoko Suyanto usai rapat kabinet kemarin.Djoko menolak anggapan bahwa pemerintah akan menempatkan Sultan dan Paku Alam hanya menjadi simbol saja
BACA JUGA: Tim Investigasi Masih Yakin Bisa On Time
Di antaranya, memberikan izin persetujuan para calon gubernur yang akan bertarung di Pilkada"Bukan simbol sajaSedang kita rumuskan," kata Djoko.Mengenai nama jabatan Sultan dan Paku Alam, menurut Djoko, juga belum dirumuskan"Nanti kita akan bicara dengan pihak Jogja, apa yang tepat," kata pejabat kelahiran Madiun ituDalam draf lama revisi RUU, posisi di atas gubernur adalah ParadhyaDjoko mengatakan, pemilihan gubernur secara langsung merupakan amanat undang-undang dasar"Gubernur itu kepala pemerintahanJadi harus dipilih secara demokratis," kata mantan Panglima TNI itu.
Mendagri Gamawan Fauzi mengatakan, selain memberi restu kepada calon gubernur yang maju di Pilkada, Sultan juga memiliki kewenangan melantik bupati/walikota di DIJBagaimana jika Sultan mencalonkan diri menjadi calon gubernur? "Kalau dia menjadi penyelenggara pemerintah sehari-hari, sangat besar risikonya," kata Gamawan.
Sebelum memimpin rapat kabinet kemarin, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberikan penjelasan langsung mengenai pernyataannya tentang materi RUU Keistimewaan JogjakartaSBY mengatakan, polemik seputar pernyataan dirinya telah bergeser ke arah politik praktis, dan dikesankan ada konflik pribadi antara dirinya dengan Sultan Hamengku Buwono X (HB X), Gubernur Jogjakarta saat ini
SBY menegaskan tidak pernah menghalang-halangi Sultan untuk menjabat kembali menjadi gubernur, setelah masa perpanjangan penetapan jabatannya berakhir 2011 mendatangPresiden juga menyayangkan upaya pencampuradukan diskursus politik praktis dengan upaya mencari tatanan pemerintahan Keistimewaan Jogjakarta.
"Kalau dari sisi politik praktis, tolong dicatat tebal-tebal oleh saudara-saudara para insan pers, sebagai kepala negara dan sebagai kepala pemerintahan di republik ini, saya berpendapat, untuk kepemimpinan dan posisi gubernur DIJ lima tahun mendatang, yang terbaik, dan yang paling tepat, tetap Saudara Sri Sultan HB XIni posisi saya, sebagai presiden," kata SBY dalam jumpa pers di Istana Negara, Jakarta, kemarin.
Jumpa pers di Istana Negara, termasuk peristiwa tak lazim dalam pemerintahan SBYBiasanya, SBY melakukan jumpa pers di Kantor Presiden, atau sesekali di depan ruang rapat Kantor Presiden atau di taman dalam IstanaDengan jumpa pers di Istana Negara, SBY berdiri di depan latar belakang peta Indonesia yang cukup mencolok dengan warna kuning emas yang dilukis di atas warna dasar hijau gelapJika di Kantor Presiden, latar belakang jumpa pers adalah gambar IstanaJumpa pers disaksikan seluruh menteri, yang akan mengikuti rapat kabinet paripurna membahas RUU Keistimewaan Jogjakarta di Kantor Presiden.
Dukungan terhadap Sultan untuk menjadi gubernur lima tahun mendatang, kata SBY, juga akan ia lakukan dalam kapasitas sebagai ketua dewan pembina Partai Demokrat"Sebagai ketua dewan pembina sebuah partai politik, tentu saya akan mengalirkan pandangan dan pendapat ini sebagai garis politik partai yang saya bina," kata SBY
Polemik revisi RUU Keistimewaan Jogjakarta mengemuka setelah SBY menyampaikan pernyataan dalam pengantar rapat kabinet terbatas bidang politik hukum dan keamanan, yang salah satunya membahas revisi RUU ituKala itu, SBY mengatakan, revisi RUU Keistimewaan Jogjakata harus memperhatikan tiga pilarPertama, sistem nasional dalam Negara Kesatuan Republik IndonesiaKedua, keistimewaan Jogjakarta harus tampak dalam struktur pemerintahanKetiga, tidak mengabaikan negara hukum dan demokrasi
"Oleh karena itu nilai-nilai demokrasi, democratic values, tidak boleh diabaikan, karena tentu tidak mungkin ada sistem monarki yang bertabrakan dengan baik konstitusi maupun nilai-nilai demokrasiSaya yakin akan bisa kita temukan satu pranata yang tiga-tiganya bisa dihadirkan, sistem nasional atau keutuhan NKRI," kata SBY kala itu
Kata "monarki" dalam pernyataan SBY itu lah yang dipermasalahkan sebagian kalanganUntuk mengklarifikasi, dengan mengintip catatan di iPad miliknya, SBY kemarin membacakan penuh transkripsi pidato pengantar rapat 26 November yang terkait revisi RUU Keistimewaan Jogjakarta.
SBY mengatakan, yang dilakukan pemerintah untuk memasukkan format keistimewan Jogjakarta dalam revisi RUU, tidak terkait dengan politik praktisPemerintah bersama DPR, kata presiden, akan merancang revisi RUU yang utuh dan menyeluruh mengenai keistimewaan Jogjakarta dan selama ini belum diatur secara eksplisit.
Sehingga, kata SBY, revisi RUU Jogja tidak hanya membahas mengenai kedudukan, kekuasaan, masa jabatan, dan cara pengangkatan gubernur dan wakil gubernur DIJ, yakni apakah dipilih secara demokratis atau otomatis ditetapkanNamun, juga memuat hal lain yang juga pentingSeperti, "tentang penghormatan, perlakukan khusus dan peran istimewa bagi pewaris kesultanan dan pakualaman secara permanen, selamanyaKita atur sekaligus dalam undang-undang," kata SBY.
Hal lain yang akan diatur adalah tentang hak eksklusif pengololaan tanah di Jogjakarta di wilayah kesultanan dan pakualaman, serta tataruang yang khusus"Tentang pelestarian budaya dan sejarah yang kita junjung tinggi, dan sejumlah elemen keistimewaan yang lain yang perlu kita kukuhkan, agar pasti, agar certain, dan berlaku selamanya di DIJ.
SBY mengatakan, revisi RUU DIJ juga tidak hanya mengatur masa kepemimpinan Sultan HB X dan Paku Alam IXNamun, juga mengatur suksesi bagi kedua raja itu apabila kelak berhalangan tetap"Dengan demikian undang-undang ini berlaku ke depan dan tidak situasional sifatnyaKita juga tidak ingin, karena tidak diatur dalam undang-undang persoalan suksesi lantas menjadi masalah di kemudian hari," katanya.
Mengenai tatacara suksesi kepemimpinan ini, lanjut SBY, pemerintah akan mendengarkan pendapat dari Sultan HB X dan Paku Alam IX, maupun kerabat kesultanan dan pakualaman lainnya"Beliau-beliau lah yang memiliki otoritas dan lebih tahu bagaimana mekanisme dan kearifan dalam suksesi itu," kata SBY.
SBY mengatakan, pemerintah juga memahami dimensi kesejarahan DIJ dari masa ke masaPresiden lantas menyinggung bergabungnya kesultanan dan pakualaman ke dalam NKRI pada era pemerintahan Soekarno (1945)Yakni, ketika tahta kesultanan masih di bawah Sultan Hamengku Buwono IX dan pakualaman oleh Paku Alam VIII, dan selanjutnya mereka berduet memimpin DIJPada 1998, pasca meninggalnya Sultan Hamengku Buwono IX, gubernur diganti oleh Paku Alam VIII, hingga 1998
Pada 1998-2003, DIJ dipimpin oleh Sultan HB X, tanpa wakil gubernur, karena belum rampung suksesi di pakualamanHB X lantas memasuki masa jabatan kedua pada 2003-2008, dengan wagub Paku Alam IX"Nah, di sinilah dulu kita masih ingat ada dinamika politik menjelang berakhirnya masa jabatan kedua jabatan Pak Sultan," kata SBY.
Kala itu, muncul perdebatan bagaiman kelanjutan jabatan Sultan setelah memimpin 2 periodeAda pihak yang berpendapat otomatis dilanjutkan, serta ada pula yang menginginkan berbedaDalam pisowanan agung 2007, Sultan menyatakan tidak ingin menjadi gubernur lagiSBY lantas memperpanjang jabatan Sultan selama 3 tahun hingga 2011"Dalam masa perpanjangan inilah, kita ingin dengan jernih memikirkan dan merumuskan undang-undang yang tengah kita godok sekarang ini yang tepat," kata SBY.
Mengenai perdebatan apakah Sultan otomatis ditapkan atau gubernur Jogja dipilih secara demokratis, SBY berharap masing-masing pihak bisa mencari titik temu atas 2 pasal dalam UUD 1945Yakni, pasal 18B ayat (1) yang mengakui adanya satuan daerah khusus dan istimewaSerta, pasal 18 ayat (4) yang mengharuskan kepala daerah dipilih secara demokratis"Silahkan bagi kedua alternatif itu dicocokkan, karena kita tidak ingin bertentangan dengan UUD 45," kata SBY.
SBY juga mengimbau seluruh rakyat Indonesia, khususnya di DIJ, untuk tenang dan berpikir serta bertindak jernihPresiden berharap semua pihak menghormati proses pembuatan undang-undang iniSemua pihak juga dipersilakan menyampaikan masukan dan rekomendasi kepada pemerintah."Khusus untuk saudara-saudara kami masayarakat Daerah Istimewa Jogjakarta, saya menaruh hormat dan terimalah salam sayaSebagai kepala negara, saya sangat menghormati keistimewaan JogjakartaJustru undang-undang yang tengah kita rancang ini untuk menghormati saudara-saudara warga Jogjakarta," kata SBY(sof)
Gubernur Jogjakarta dari Masa ke Masa
1Sultan Hamengku Buwono IX 1945 -1988 (seumur hidup)
2Paku Alam VIII 1988 - 1998 (seumur hidup)
3Sultan Hamengku Buwono X 1998 - 2003 (masa jabatan pertama)
4Sultan Hamengku Buwono X 2003 - 2008 (masa jabatan kedua)
5Sultan Hamengku Buwono X 2008 - 2011 (perpanjangan)
BACA ARTIKEL LAINNYA... 2012, Tak Ada Lagi PNS
Redaktur : Tim Redaksi