Pemerintah Papua Nugini mengizinkan operasi gabungan militer dan polisi untuk menindak penambangan ilegal dan menghilangkan "penghuni liar" di tambang emas Porgera.
Ini dilakukan hanya beberapa bulan setelah tambang tersebut kembali dibuka.
BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Tiongkok Uji Coba Kereta Cepat Terbaru, Incar Kecepatan 4.000km per jam
Namun muncul kekhawatiran tentang apa yang mungkin terjadi ketika pasukan keamanan ingin memberantas populasi penambang ilegal menggunakan "senjata api berkekuatan tinggi."
Ini dilakukan pemerintah Papua Nugini menyusul kejadian dramatis awal tahun ini, di mana ratusan orang diusir dari tambang pada tengah malam.
BACA JUGA: Diakui International Police Organization, Pemuda Ini Siap Berkontribusi Jaga Keamanan
Jumlah penambang ilegal – yang dianggap penghuni liar – bukanlah hal yang mengejutkan bagi kelompok pemilik tanah, karena penambangan aluvial dilakukan di sana selama bertahun-tahun.
Akhir pekan lalu, Komisaris Polisi David Manning mengeluarkan ultimatum yang memberikan waktu 48 jam kepada "penghuni liar" untuk pergi.
BACA JUGA: Ikatan Sejarah Antara Indonesia dan Australia Terungkap Setelah Penemuan Sebuah Foto
Batas waktu tersebut berakhir awal pekan ini.
Saat mengumumkan operasi keamanan besar-besaran, Perdana Menteri James Marape mengatakan jumlah penambang ilegal "meningkat tajam."
Pemerintah memiliki kepentingan besar terhadap lubang tambang tersebut karena memegang 51 persen saham dalam kepemilikannya.Polisi: 'Tidak ada jalan keluar yang mudah'
Tambang emas yang telah beroperasi selama beberapa dekade dan menghasilkan rata-rata 10 persen pendapatan ekspor tahunan negara tersebut ditutup pada tahun 2020 setelah izinnya tidak diperpanjang.
Ini setelah negosiasi selama bertahun-tahun antara operator tambang, Barrick Niugini Limited (BNL), pemilik tanah, dan pemerintah provinsi yang menginginkan kepemilikan lebih besar.
Selama bertahun-tahun, tambang ini menghadapi masalah besar yang belum terselesaikan, termasuk kebutuhan untuk memukimkan kembali pemilik tanah yang tinggal di dekatnya.
Dalam beberapa dekade terakhir, populasi di sekitar tambang telah meningkat pesat, dengan adanya kelahiran, pernikahan, dan mereka yang mencari peluang ekonomi.
Termasuk juga para migran – atau "penghuni ilegal" yang menurut pemerintah bukan pemilik tanah tradisional – yang tinggal di pemukiman dekat tambang.
Banyak dari mereka melakukan penambangan aluvial dan sering melewati pagar untuk masuk ke dalam lubang di dalam kegelapan.
Sebuah video yang muncul pada bulan Februari menggambarkan ratusan orang, dengan obor, bekerja di lubang tersebut.
Ledakan keras yang diduga dari pasukan keamanan menembakkan proyektil di dekat "penghuni liar".
Komandan Kantor Polisi Porgera, Kepala Inspektur Martin Kelei, mengatakan polisi kesulitan menghadapi populasi yang terus bertambah ini, karena banyak yang tinggal di sana atas izin pemilik tanah.
“Waktu kami mencoba menindak, ternyata mereka punya izin dari pemilik tanah di sini untuk berada di sekitar lokasi tambang,” katanya.
“Masalah penambangan liar sudah berlangsung sejak 30 tahun terakhir… tidak ada jalan keluar yang mudah untuk membereskan ini.
“Orang-orang masuk dan mereka mendapat emas senilai 30 hingga 40 ribu [kina] (Rp123-164 juta), itu uang yang sangat banyak.
“Mereka terus-menerus kembali, meskipun sudah ditangkap… mereka keluar dari penjara dan kembali ke dalam lubang.”
Komisaris Polisi David Manning mengatakan “pasukan keamanan tambahan” akan dikirim untuk menegaskan surat peringatan.
“Setelah konsultasi… polisi tidak punya pilihan lain selain menyingkirkan penghuni liar yang mengancam perdamaian dan ketertiban,” katanya.
“Dengan dimulainya kembali operasi penambangan, para penghuni liar ilegal ini semakin menunjukkan perilaku mereka yang mengganggu dan berbahaya."
Dan menurutnya tidak adil jika masyarakat dan dunia usaha di Lembah Porgera menderita karena perilaku berbahaya dan ilegal tersebut.
Inspektur Martin mengatakan dalam beberapa pekan terakhir para penambang ilegal saling menembak dan membunuh, dengan satu kelompok suku bersenjatakan "senjata api berkekuatan tinggi".
Polisi, penambang ilegal dan beberapa pemilik tanah juga pernah mengalami konflik sebelumnya.
Banyak orang telah ditembak dan dibunuh selama satu dekade terakhir, dan pada tahun 2014 polisi mendapat kecaman dari Amnesty International karena membakar rumah-rumah dalam tindakan keras terhadap penambang ilegal.
Operator tambang, BNL, mengatakan pihaknya tidak berkomentar mengenai operasi polisi yang akan dilakukan.Porgera penuh sesak
Diketahui bahwa beberapa ratus petugas polisi dan tentara telah mendapat persetujuan untuk masuk ke Porgera di bawah "operasi polisi dan militer".
Pemilik tanah, seperti Rocky Tupia, mengatakan selain jumlah pemukim, mereka juga khawatir dengan apa yang akan terjadi jika pasukan keamanan memindahkan mereka.
"Ada begitu banyak penambang ilegal di Porgera saat ini, sebagian besar datang dari provinsi konflik suku, mencari emas untuk mendapatkan uang," kata Rocky.
"Para penambang ilegal ini dipersenjatai … mereka dapat melihat dari kamera pengintai betapa kuatnya senjata yang mereka miliki, dan bahkan takut untuk mengusir mereka."
Mengelola populasi yang membengkak merupakan masalah bagi pemerintah mengingat besaran kepemilikan mereka di tambang tersebut.
Rocky ingin memberlakukan kartu identitas bagi pemilik tanah untuk membantu pasukan keamanan mengelola penduduk setempat.
Meski langkah tersebut didukung oleh banyak orang, hal ini merupakan tugas yang berat, mengingat tantangan yang ada dalam identifikasi pemilik tanah di Papua Nugini.
Sementara itu, beberapa pemilik tanah khawatir bahwa tanpa identifikasi, mereka dapat menjadi sasaran operasi polisi.
"Saya rasa kita perlu memukimkan kembali pemilik tanah di wilayah sewa pertambangan khusus sebelum menangani masalah lain seperti memulihkan layanan dan keamanan," kata Rocky.
"Banyak warga di Porgera pindah ke luar distrik karena kurangnya layanan dasar."
Jenny Kopi, ketua Unit Kekerasan Seksual Keluarga Porgera Joint Venture meminta lebih banyak polisi dan pertahanan di wilayah tersebut.
"Porgera kini penuh sesak dan risiko banyaknya penambang dan pemukim ilegal kini menjadikannya cukup berisiko bagi ibu-ibu dan gadis-gadis muda untuk berpindah-pindah," katanya.
"Tidak ada pasokan listrik dan banyak perempuan kami bergantung pada mengumpulkan kayu bakar untuk memasak bagi keluarga mereka.
"Saat ini mereka tidak lagi merasa aman melakukan hal tersebut karena banyaknya orang di sekitar."
Diproduksi oleh Natasya Salim dari laporan ABC News dalam bahasa Inggris
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dunia Hari Ini: Selebriti Sandra Dewi Diperiksa Kejagung