jpnn.com - PERTUKARAN satwa Kebun Binatang Surabaya (KBS) dengan beberapa lembaga selama 2013 hingga kini masih menjadi masalah.
Pakar hukum Trimoelja D. Soerjadi menilai perjanjian pertukaran satwa itu hanya perjanjian pura-pura untuk mendapatkan keuntungan besar alias perdagangan satwa.
BACA JUGA: Buton Utara Bisa Memanas, Mendagri Diminta Tegas
Perjanjian pertukaran satwa KBS antara pihak pertama, yakni Toni Sumampau, dan enam pihak lain disebut dengan judul pemindahan satwa KBS. Tapi, ternyata isi di dalam perjanjian sama saja dengan pertukaran satwa.
Bahkan, lanjut Trimoelja, sebenarnya isi perjanjian tersebut merupakan jual beli satwa dengan cara terselubung. Ada beberapa poin yang menguatkan bahwa kerja sama itu cacat hukum, seperti penggunaan judul dengan istilah pemindahan satwa.
BACA JUGA: Tidak Bisa Renang, Nyemplung di Suramadu
Istilah pemindahan satwa tersebut mencoba menghindari istilah yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Dalam regulasi itu tidak ada istilah pemindahan satwa, yang ada hanya pertukaran satwa. "Artinya, penggunaan istilah pemindahan satwa ini agar tidak memenuhi persyaratan yang wajib dalam pertukaran satwa," tegasnya.
Persyaratan wajib itu adalah pertukaran satwa hanya bisa dilakukan antara satwa dan satwa. Trimoelja menjelaskan, penggunaan istilah pemindahan satwa ini digunakan agar pertukaran bisa dilakukan antara satwa dan barang lain. "Ini pelanggaran pertama. Kalau pemindahan satwa seharusnya yang memiliki kewajiban tertentu untuk memberikan kompensasi adalah KBS. Sebab, KBS menitipkan satwa ke kebun binatang lain. Misalnya untuk makan dan kesehatan," paparnya.
BACA JUGA: Dokter Heran Rectum Komodo Keluar
Lalu, imbuh Trimoelja, dalam undang-undang yang sama disebutkan, harus ada tim penilai untuk membandingkan kesetaraan antara satwa yang ditukar. Masalahnya, dalam perjanjian itu sama sekali tidak ada tim penilai. "Jika tetap berupaya dinilai, pertukaran satwa dengan barang itu, maka harus ada nilainya," tegas Trimoelja.
Terakhir, yang juga dilanggar adalah tidak adanya izin dari presiden untuk hewan yang dilindungi. Misalnya komodo, babi rusa, dan orang utan. Dia menjelaskan, dalam perjanjian antara KBS dan Taman Hewan Pematang Siantar (THPS), ada tiga jenis satwa tersebut. "Kok persetujuan presidennya sama sekali tidak ada? Di lima perjanjian lainnya juga ada hewan yang dilindungi," tegasnya.
Perjanjian itu juga ditandatangani kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jatim. Padahal, BBKSDA pasti mengetahui adanya peraturan tersebut. Karena itu, layak diduga adanya patgulipat dalam perjanjian kerja sama tersebut. "Ini yang bisa diartikan korupsi. Karena pejabat BBKSDA itu pejabat publik," cetus pengacara kondang tersebut.
Dengan begitu, Trimoelja mendesak polisi segera bertindak menangani masalah itu. Jika polisi jeli, akan bisa dilihat perjanjian ini diadakan bukan untuk menyelamatkan satwa yang surplus, melainkan untuk perdagangan dan mendapatkan keuntungan besar. "Kalau polisi jeli, pasti bisa menguak," ucapnya.
Sementara itu, ahli etika dan kesejahteraan satwa Jansen Manansang mengungkapkan bahwa lembaga yang menerima satwa harus memiliki fasilitas lengkap. Lembaga penerima juga harus memiliki staf ahli. Saat pengiriman satwa, juga harus disertakan rekam medis, keturunannya, kebiasaan makanannya, hingga perilakunya. "Ini demi kelangsungan hidup satwa tersebut," tuturnya.
Menurut Jansen, aturan main itu sudah disepakati dan dituangkan dalam dokumen World Association of Zoos and Aquariums (WAZA) Code of Ethic and Animal Welfare yang disusun di San Jose, Kosta Rika. Karena itu, perjanjian pertukaran satwa harus memuat hal-hal tersebut. "Itu yang benar dan ideal," ungkapnya. (idr/git/c9/nw)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kematian Komodo Disebut-sebut Terkait Penertiban PKL di KBS
Redaktur : Tim Redaksi