jpnn.com - KESAMBI - Pemberlakukan Peraturan Pemerintah nomer 48/2014 tentang tarif pencatatan nikah, dinilai memberatkan masyarakat.
Dalam PP baru tersebut, disebutkan untuk biaya nikah di luar Kantor Urusan Agama (KUA) dan di luar jam kerja, calon mempelai dikenakan tarif nikah Rp 600 ribu.
BACA JUGA: Lagi, Miras Oplosan Renggut 4 Nyawa
Ketua Forum RW Kota Cirebon, Untung Mulyadi mengaku kaget saat mendengar adanya peraturan baru tersebut. Padahal Peraturan tersebut sudah disahkan pada tanggal 10 Juli 2014, menggantikan PP nomer 47/2004.
"Saya justru baru tahu sekarang, saya belum tahu, dan yakin masyarakat juga belum pada tahu. Saya harap ini diinformasikan kepada masyarakat luas, bisa melalui kelurahan atau RW, supaya masyarakat tidak kaget dan memiliki tanggapan miring atas adanya tarif itu, disangkanya nanti pungutan," tuturnya kepada Radar Cirebon, Sabtu (2/8).
BACA JUGA: Rem Blong, Bus Masuk Jurang
Selain belum adanya sosilaisai kepada masyarakat. Untung juga mengatakan besaran tarif yang ditentukan dalam peraturan tersebut sangatlah memberatkan masyarakat, terutama untuk kalangan masyarakat bawah.
Pasalnya, kebiasaan masyarakat Indonesia masih ada pemilihan tanggal nikah yang sesuai dengan adat masing-masing.
BACA JUGA: Diduga Honor Siluman, Istri Pejabat Kemenag Batal Diajukan
"Nikah ini kan proses yang sakral, jadi harus dicari dulu hari yang bagus, kalau akad nikahnya di hari libur dengan adanya peraturan itu harus membayar Rp600 ribu, ketentuan itu jelas sangat memberatkan masyarakat, ini terlalu besar," ucapnya lagi.
Untung menyebutkan ketentuan biaya nikah di luar jam kerja, akan memberikan kesan yang tidak baik bagi petugas KUA itu sendiri. Apabila hal itu gagal disosialisasikan kepada masyarakat.
"Kebiasaan gratifikasi kan masih lekat dalam masyarakat. Kalau kemudian penghulu itu minta tarif lagi, ini kan jelas memberatkan," tukasnya.
Seperti diketahui, biaya Rp600 ribu dalam ketentuan tarif nikah di luar jam kerja dan di luar KUA, diterapkan sebagai upaya untuk meminimalisasi praktik gratifikasi dan pungutan oleh oknum petugas pencatat nikah.
Biaya itu, akan masuk ke dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), juga termasuk untuk keperluan biaya transportasi sang penghulu. Apabila pencatatan nikah dilakukan di Kantor Urusan Agama dan dalam jam kerja, maka calon mempelai tidak dikenakan biaya nikah alias gratis.
Menenggapi hal ini, Untung menyebutkan justru dengan adanya ketentuan tersebut semakin menambah peluang adanya gratifikasi. "Kalau ini diterapkan, oknum bisa punya dalih untuk melakukan pungutan," tandasnya.
Ia juga menyebutkan kelemahan terbesar dalam adanya tindak pidana korupsi karena minimnya pengawasan.
"Nah sekarang kalau peraturan itu diterapkan, siapa yang akan monitoringnya, apakah kepala KUA-nya yang memonitorning langsung," tukasnya.
Ia mendesak agar peraturan tersebut, segera disosialisasikan kepada masyarakat luas, dengan melibatkan kecamatan, kelurahan dan aparat lainnya. sehingga informasi adanya biaya tarif nikah ini, bisa diterima dengan jelas oleh masyarakat. (jml)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Menumpuk, Pantura Sempat Lumpuh
Redaktur : Tim Redaksi