jpnn.com, JAKARTA - Permendikbud 17/2017 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) mengatur bahwa 20 persen dari total kuota siswa baru, harus diisi oleh siswa dari keluarga miskin.
Ketentuan ini sebenarnya bukan hal baru. Namun selama ini banyak sekolah yang tidak menjalankannya.
BACA JUGA: Penerimaan Siswa Baru Sistem Zonasi, Inilah Beragam Keluhan yang Muncul
Ketentuan alokasi 20 persen kuota siswa baru untuk siswa miskin itu diterapkan untuk SMA dan SMK.
Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Kemendikbud Hamid Muhammad mengatakan, ketentuan alokasi untuk siswa miskin di Permendikbud 17/2017 itu sejatinya mempertegas aturan yang sudah ada selama ini. ’
BACA JUGA: Tujuh Kasus OTT di Sumbar, Terbanyak di Bidang Pendidikan
’Itu bukan aturan baru,’’ kata pejabat asal pulau Madura, Jawa Timur itu kemarin (28/6).
Namun sayangnya Hamid mengakui selama ini ketentuan 20 persen kuota siswa baru untuk siswa miskin itu jarang terpenuhi.
BACA JUGA: Gara-gara Pungli, Kepsek dan Wakepsek Terancam Dipecat
Dia mengungkapkan di sekolah-sekolah favorit, pada umumnya hanya sekitar 10-12 persen kuota siswa miskin yang terisi.
Hamid menegaskan kuota siswa miskin yang terisi tidak sampai 20 persen itu banyak ditemukan di sekolah-sekolah perkotaan. Banyak sekali alasannya.
Seperti jumlah penduduk miskin yang memang tidak banyak serta alasan-alasan lainnya. ’’Tetapi kalau untuk sekolah di pedesaan, kuota untuk siswa miskin banyak yang terpenuhi. Bahkan lebih-lebih,’’ jelasnya.
Sementara itu Hamid juga menerangkan soal mulai bermunculannya keluhan pada masa PPDB yang berbasis zonasi.
Dia menjelaskan kalaupun ada sekolah yang merasa kekurangan siswa, itu sejatinya bukan peminatnya yang turun. Tetapi karena populasi sekolah di zona tersebut sudah padat.
Terkait dengan sekolah-sekolah yang ada di pinggiran kecamatan, Hamid mengatakan tetap diperbolehkan menerima siswa dari kecamatan tetangga.
Sebab pada intinya sistem zonasi berupaya mendekatkan siswa dengan sekolah. Terlepas dari administrasi kecamatan yang bertetangga.
’’Jangankan lintas kecamatan. Zonasi bisa lintas kabupaten/kota bahkan provinsi,’’ katanya.
Hamid berharap kepala daerah atau dinas pendidikan setempat menetapkan ketentuan zonasi yang baik.
Kalaupun berbasis kecamatan, tetapi mengakomodasi siswa-siswa yang beda kecamatan tetap dekat dengan sekolahannya.
Pengurus Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Mansur mengatakan sudah banyak pemda yang mengakomodasi ketentuan alokasi kuota untuk siswa miskin itu.
Wakil Kepala SMAN 1 Gunungsari, Lombok Barat, itu menjelaskan seperti di daerahnya, sudah ada ketetapan 20 persen kuota untuk siswa miskin.
’’Bahkan di daerah kami, untuk keluarga prasejahtera maksimal 30 persen,’’ katanya.
Mansur mengatakan dengan menelusuri anak-anak berbasis surat keterangan tidak mampu, sekolah sejatinya tidak akan kesulitan dalam mencari calon peserta didik dari keluarga tidak mampu. (wan)
BACA ARTIKEL LAINNYA... 90 Persen Siswa Harus dari Sekitar Sekolah
Redaktur & Reporter : Soetomo