Bagi warga Muslim asal Indonesia di Australia, urusan pemakaman bagi anggota keluarganya yang meninggal dunia tidak selalu berjalan lancar. Seringkali jenazah harus menunggu berhari-hari sebelum dimakamkan.

Seorang warga asal Indonesia, Yenni, baru dua tahun menetap di Australia ketika suaminya, Rune, meninggal dunia di rumah-sakit.

BACA JUGA: Australia Kemungkinan Buka Perbatasan Internasional Mulai Pertengahan 2022

Ia belum mengenal siapa-siapa dari komunitas Indonesia, sementara Rune merupakan warga asal Norwegia yang telah lama bekerja dan menetap di negara ini. 

"Kejadiannya 23 Juli 2020. Almarhum meninggal karena penyakit jantung," ujar Yenni.

BACA JUGA: Mahasiswa Indonesia Menyambut Pelonggaran Pembatasan Jam Kerja di Australia Meski Masih Butuh Dukungan Lebih

"Saya sama sekali tidak ada pemikiran ke sana. Seminggu sebelumnya kita sudah berencana pulang ke rumah karena dianggap sudah cukup sehat untuk perawatan dari rumah," kata Yenni saat dihubungi wartawan ABC Indonesia Farid M. Ibrahim, Senin (10/05/2021).

"Saya tidak punya teman dekat orang Indonesia. Kita berdua juga tak punya keluarga sama sekali di sini," tambahnya.

BACA JUGA: Tujuh Anak Tewas Dalam Aksi Penembakan di Sekolah Rusia

"Pas kejadian ini saya benar-benar kalut dan panik karena tidak mengenal siapa-siapa di Melbourne," ujar Yenni.

"Yang saya pikirkan saat itu adalah bagaimana proses mengeluarkan jenazah dari rumah-sakit dan proses penguburannya karena pihak rumah-sakit mau melakukan otopsi untuk menentukan penyebab kematian," jelas Yenni.

Ia kemudian menghubungi keluarganya di Indonesia, dan kebetulan kakak iparnya mengenal seorang staf di KJRI Melbourne.

Staf tersebut menghubungkan Yenni dengan Muhammad Edwards, seorang ustadz dalam komunitas Indonesia di sini.

"Pak Edwards menanyakan bagaimana dengan rencana penguburan dan saya maunya ikut aturan agar secepatnya dapat dimakamkan. Tapi pihak keluarga suami ingin agar dipulangkan ke Norwegia," ujar Yenni.

"Akhirnya saya dihubungi Pak Mulyoto dari komunitas Indonesia yang menangani pengurusan jenazah dari rumah-sakit. Beberapa orang dari IMCV (Indonesian Muslim Community of Victoria) juga terus menghubungi saya menawarkan bantuan untuk urusan pemakaman," katanya.

Sebenarnya pihak rumah-sakit juga telah melakukan kontak dengan Islamic Council of Victoria (ICV), karena almarhum beragama Islam. ICV lantas menghubungkan Yenni dengan salah satu pengurus IMCV.

"Tapi karena tidak bisa secepatnya juga dikuburkan serta adanya rencana otopsi dari pihak rumah-sakit, akan memakan waktu lebih lama sehingga saya dan pihak keluarga suami sepakat untuk memulangkan jenazah ke Norwegia," ujarnya.

"Saya lalu menghubungi funeral service yang memiliki jasa repatriasi jenazah. Tapi Pak Mulyoto turut membantu untuk pelaksanaan tata-cara pengurusan mayat seperti dimandikan dan disalatkan," kata Yenni.

Mulyoto Pangestu, ketua Al Jannah yang merupakan bagian dari IMCV, mengatur agar salat jenazah suami Yenni bisa dilaksanakan di masjid komunitas Albania yang ada di daerah Dandenong.

Pada saat itu, di tengah situasi lockdown pandemi COVID, masjid komunitas Indonesia Baitul Makmur yang dekat dengan tempat tinggal Yenni tidak dapat menyelenggarakan salat jenazah.

"Sekitar enam hari sejak suami saya meninggal baru bisa dimandikan dan disalatkan," tutur Yenni.

"Dukungan penuh dari komunitas Indonesia terutama IMCV ini benar-benar telah meringankan beban di pundak saya saat itu," katanya.

"Tanpa mereka, saya tidak tahu akan seperti apa jadinya karena saya benar-benar sendiri, tidak mengerti apa-apa soal pemakaman dan segala macam," sambungnya.

Pihak IMCV bahkan menghubungi komunitas Muslim yang ada di Norwegia, untuk membantu pengurusan jenazah Rune setibanya di sana. Bingung pada hari H

Mulyoto menjelaskan, bagi keluarga Muslim migran di Australia yang anggota keluarganya meninggal dunia, yang paling pertama dilakukan mestinya menghubungi komunitas terkait. Biasanya masing-masing sudah punya petugas yang khusus menangani urusan ini.

"Tapi ada juga orang Islam yang menyerahkan urusan ini ke funeral umum. Banyak yang seperti itu. Karena jaman dulu mereka sudah beli pre-purchase funeral," jelasnya.

"Dulu layanan funeral Muslim itu belum ada. Baru pada tahun 2000-an mulai banyak. Jadi mereka yang ada kontrak sebelum itu, tetap ditangani oleh funeral umum," kata Mulyoto.

"Funeral umum juga ada layanan pengurusan jenazah untuk orang Islam, meski memang mereka nantinya minta bantuan dari komunitas Muslim," tambah dosen Universitas Monash ini.

Khusus bagi komunitas Muslim asal Indonesia, kelompok advokasi dan volunteering Al Jannah sejak satu dekade terakhir bertugas menghubungkan antara pihak keluarga dengan layanan pengurusan jenazah di masjid.

"Pada kenyataannya, meskipun pihak keluarga sudah prepare sebelumnya, namun pada hari H, itu akan bingung ini harus ngapain," ujar Mulyoto.

Peran yang dijalankan pihak Al Jannah yaitu memberikan advokasi kepada keluarga, karena urusan kematian itu biasanya melibatkan banyak permintaan. Ada yang maunya dimakamkan di sini atau di tempat lain.

"Misalnya, bagi warga yang tinggal di bagian utara kota namun pihak keluarga ingin dimakamkan di bagian selatan, kita akan arahkan untuk sebaiknya dimakamkan di utara," jelasnya.

Mengenai adanya permintaan keluarga untuk mengirimkan jenazah ke Indonesia, menurut Mulyoto, sejak lima tahun terakhir funeral Muslim di Australia keberatan untuk melakukannya.

"Tapi karena berbagai pertimbangan pihak keluarga, misalnya kasus mahasiswa asal Aceh dan turis asal Mataram yang meninggal di sini. Atas permintaan keluarga saya urus pengiriman jenazah mereka ke Indonesia," ujarnya.

"Perlu diingat bahwa ketika ada anggota keluarga yang meninggal itu kita tidak punya waktu untuk bargaining. Karena prinsipnya jenazah harus segera dimakamkan," tambah Mulyoto. Tabungan kematian

Yenni mengatakan, soal biaya yang dikeluarkan sejak kematian suaminya hingga pengiriman jenazah ke Norwegia, ia sama sekali tidak ada persiapan waktu itu.

Ketika ia menanyakan soal biaya ini ke pihak Al Jannah, Yenni mendapatkan informasi bahwa paling tidak biaya pemakaman di sini sekitar $AUD 6000 (sekitar Rp60 juta). Itu harga paling murah.

"Kalau soal biaya, yang pertama itu biaya penanganan jenazah di masjid. Yang kedua biaya di pemakaman. Ini yang mahal karena ada harga makam, ongkos menggali, ongkos menutup," jelas Mulyoto.

"Kalau di masjidnya rata-rata $2000. Di pemakaman tergantung lokasinya. Ada yang $9000, $6500, ada yang sekitar $5000," katanya.

Ia sendiri menyarankan warga migran asal Indonesia untuk mengambil funeral insurance, namun mengaku ada yang tak setuju karena kata-kata insurance itu dipandang kontroversial.

"Yang paling aman kita usulkan adanya tabungan kematian. Nanti kita lihat bila ada kematian, kalau uangnya kelebihan akan dikembalikan, dan kalau kurang kita minta ditambah ke pihak keluarganya," kata Mulyoto.

Ia menyebutkan seringkali pihak keluarga yang kesulitan biaya, akan ditalangi oleh pihak Al Jannah terlebih dahulu. Setelah 40 hari baru ditagih.

"Ada yang sampai sekarang belum lunas. Kalau memang tak bisa bayar, terpaksa kita umumkan ke masyarakat untuk bersedekah," ujarnya.

"Dari pengalaman saya, tiap-tiap kematian penanganannya beda-beda. Tapi kita tidak bisa menganggap semuanya akan berjalan lancar," tutur Mulyoto Pangestu.

Simak artikel lainnya dari ABC Indonesia.

 

Video Terpopuler Hari ini:

BACA ARTIKEL LAINNYA... 3 Lockdown untuk 3 Gelombang COVID-19 di Malaysia

Berita Terkait