jpnn.com, JAKARTA - Pengamat energi dan ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menilai sudah selazimnya industri pertambangan kerap merusak lingkungan.
Hal ini disampaikan sebagai respons atas vonis majelis hakim atas kasus korupsi timah di Bangka Belitung.
BACA JUGA: Hari Ini, Harvey Moeis Jalani Sidang Putusan Kasus Korupsi Timah
Dia menilai vonis ini seakan menegaskan bahwa industri pertambangan timah menjadi perusak alam dan menjadi sumber kerusakan lingkungan.
Dia menyatakan wajar jika industri pertambangan merusak lingkungan, tetapi yang perlu diperhatikan ialah penanggulangannya untuk mengembalikan kondisi alam dalam bentuk reklamasi.
BACA JUGA: Pengakuan Eks Direksi RBT, Niat Pengin Bantu BUMN PT Timah, Malah Dipidana
"Nah, saya kira tambang dimana pun, termasuk Indonesia yang legal apa lagi yang ilegal itu prosesnya pasti merusak lingkungan, itu pasti. Maka, kemudian dalam pemberian izin IUP (izin usaha pertambangan) ada semacam kewajiban untuk membalikkan kerusakan lingkungan, atau yang disebutlah reklamasi," kata Fahmy saat dihubungi Selasa (24/12).
Dia menjelaskan perlu diperhatikan juga sisi lain dari industri pertambangan seperti negara mendapatkan pendapatan besar dari aktivitas ini, termasuk kegiatan ekonomi masyarakat di dalamnya.
BACA JUGA: Sidang Korupsi Timah, Harvey Mois Mengaku Tidak Pernah Menikmati Rp 271 Triliun
Fahmy menyebutkan perlu peran pengusaha untuk tetap mengembalikan kondisi alam agar tetap hidup.
"Tambang apa pun prosesnya itu pasti melakukan perusakan lingkungan, baik timah, batu bara, nikel. Ini, kan, ekstraktif industri yang digali dari kekayaan alam. Namun, bisa dikembalikan kerusakan alam tadi, tetapi butuhkan biaya," jelas Fahmy.
Dia menilai selama penambang melakukan perbaikan dalam bentuk reklamasi dan mengikuti prosedur lainnya, tidak semestinya pengusaha pertambangan terkena jerat pidana hukum.
"Nah, selama penambang itu melakukan dengan cara yang legal dan mengeluarkan biaya untuk reklamasi, tidak perlu khawatir. Mereka pasti masih untung, karena keuntungan tambang itu sangat besar," pungkas Fahmy.
Sebelumnya, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis 3 terpidana kasus timah Babel.
Harvey Moeis divonis hukuman 6 tahun 6 bulan penjara serta denda sebesar Rp1 miliar dan uang pengganti senilai Rp 210 miliar.
Kemudian, Direktur Utama PT RBT sejak tahun 2018 Suparta divonis dengan pidana 8 tahun penjara dan denda sebesar Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan.
Suparta juga dihukum dengan pidana tambahan berupa kewajiban membayar uang pengganti sejumlah Rp4,5 triliun subsider 6 tahun penjara.
Sementara itu, Direktur Pengembangan Usaha PT Refined Bangka Tin (RBT) Reza Andriansyah dihukum dengan pidana penjara selama 5 tahun dan denda sebesar Rp750 juta subsider 3 bulan kurungan.(mcr8/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pernyataan Terbaru Helena Lim Saat Sidang Kasus Korupsi Timah
Redaktur : Elfany Kurniawan
Reporter : Kenny Kurnia Putra