jpnn.com, JAKARTA - Kompleksitas sistem cukai yang ada di Indonesia saat ini membuka celah sebagian produsen untuk melakukan penghindaraan cukai (tax avoidance).
Kondisi itu pun mengakibatkan harga rokok menjadi murah sehingga mudah dijangkau masyarakat.
BACA JUGA: APTI Ingatkan Pemerintah, Jangan Sampai Industri Rokok Hancur
Hal itu merupakan hasil riset dari dua peneliti Universitas Indonesia Vid Adrison dan Bagus Wahyu Prasetyo.
BACA JUGA: Tak ada Kenaikan Cukai Rokok pada 2019, Sampoerna Apresiasi Langkah Pemerintah
BACA JUGA: Serap Banyak Tenaga Kerja, Industri Sigaret Keretek Tangan Butuh Insentif
Menurut riset yang dipublikasikan dalam BMJ Journal tersebut, kenaikan tarif cukai yang dilakukan hampir setiap tahun tidak efektif menurunkan konsumsi masyarakat terhadap rokok.
Sebab, kenaikan cukai itu hanya membuat harga rokok di pasaran naik kurang dari satu persen.
BACA JUGA: Penyederhanaan Cukai Tembakau Bisa Bikin Pendapatan Negara Turun
’’Mengurangi jumlah tingkatan tarif cukai tampaknya menjadi solusi yang mungkin untuk mengurangi konsumsi rokok dalam jangka pendek,’’ ujar Vid di Jakarta kemarin (6/8).
Peneliti senior Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia tersebut menjelaskan, kompleksitas sistem cukai di industri hasil tembakau membuat kebijakan pemerintah mengenai kenaikan tarif cukai tidak efektif.
Sistem tarif cukai ad valorem mendorong pelaku usaha produk hasil tembakau untuk menghindari pajak.
Selain itu, sistem tarif cukai rokok yang terdiri atas banyak kelompok (multi-tier) menjadi insentif bagi produsen rokok untuk memproduksi produk dalam golongan tarif cukai rendah.
Kesimpulan tersebut diperoleh berdasar analisis terhadap data brand dari 2005 hingga 2017.
Data yang digunakan meliputi harga banderol dari produsen, volume produksi, jenis rokok, tarif pajak yang berlaku, dan informasi mengenai afiliasi antara pabrikan yang satu dengan pabrikan lainnya.
Vid menjelaskan, Kementerian Keuangan sudah menyiapkan kebijakan penyederhanaan layer tarif cukai.
Dalam kebijakan itu, pada 2021 mendatang, jumlah layer hanya tersisa menjadi lima layer.
Namun, pemerintah menghentikan kebijakan tersebut pada 2 November 2018 lalu.
’’Sebagai akibat dari keputusan itu, pemerintah telah kehilangan peluang untuk mengurangi konsumsi rokok melalui pengurangan layer,’’ tegasnya.
Dari hasil penelitian, pengurangan satu layer akan meningkatkan harga rokok 2,9 persen.
Dengan asumsi elastisitas harga permintaan di Indonesia 0,6 seperti yang ditemukan Adioetomo Djutaharta, akan ada pengurangan 1,74 persen dalam konsumsi rokok.
’’Total rokok pada 2017 sekitar 330 miliar batang. Pengurangan 1,74 persen tersebut setara dengan 5,7 miliar batang. Sistem cukai spesifik dengan layer yang lebih sederhana memiliki dampak lebih besar terhadap peningkatan penerimaan negara dan pengurangan konsumsi,’’ ucapnya.
Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Rofyanto Kurniawan menyatakan, pemerintah akan kembali melanjutkan kebijakan penyederhanan layer tarif cukai.
’’Kami akan melanjutkan untuk memperbaiki pelaksanaan dari kebijakan cukai rokok. Sebab, semakin banyak tarif, pengawasannya semakin kompleks dan terjadi penyalahgunaan,’’ paparnya. (ken/c22/oki)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Penyederhanaan Cukai dalam PMK Ancam Pabrik Rokok Kecil
Redaktur : Tim Redaksi