jpnn.com, EDINBURG - Meski otak genosida di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, bukan dirinya, Aung San Suu Kyi tak bisa tenang. Sebagai bagian dari pemerintahan yang kini berkuasa, perempuan 73 tahun itu dianggap sama buruknya dengan junta militer.
Apalagi, selama ini penerima Nobel Perdamaian 1991 tersebut lebih banyak diam saat dimintai pendapatnya tentang krisis kemanusiaan Rohingya.
BACA JUGA: PBB: Enam Jenderal Myanmar Dalangi Genosida Rohingya
''Penasihat negara Aung San Suu Kyi tidak memfungsikan posisi de facto-nya sebagai kepala pemerintahan untuk menghentikan atau mencegah krisis di Rakhine.'' Demikian bunyi laporan tertulis tim pencari fakta Komisi HAM PBB, Senin (27/8). PBB menyayangkan sikap diam Suu Kyi.
Jika Suu Kyi bergeming, berbeda halnya dengan masyarakat internasional. Dunia mereaksi serius sikap Suu Kyi. Caranya, mempreteli penghargaan-penghargaan yang pernah diberikan kepada tokoh berjuluk The Lady tersebut.
BACA JUGA: Myanmar: Militan Rohingya Ancaman Bagi Asia Tenggara
Pekan lalu Wali Kota Edinburgh Frank Ross mengumumkan pencabutan penghargaan untuk Suu Kyi. Yakni, penghargaan Freedom of Edinburgh Award. Penghargaan itu dianugerahkan pada 2005. Lewat voting, parlemen lokal Edinburg memutuskan untuk mencabut penghargaan tersebut.
''Penduduk Edinburgh memberikan penghargaan itu kepada sosok yang layak dihormati. Kini kami tak lagi menganggap beliau adalah orang yang tepat untuk diberi penghargaan,'' ujar Ross kepada BBC.
BACA JUGA: Terungkap! Milisi Rohingya Bantai Warga Hindu Myanmar
Sebelumnya, Suu Kyi kehilangan enam penghargaan yang lain. Di Inggris, selain Edinburgh, ada tiga kota yang menarik penghargaan bergengsi mereka untuk Suu Kyi. Yakni, Glasgow, Dublin, dan Newscastle. (bil/sha/c14/hep)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Waduh! Myanmar Bebaskan Ribuan Penjahat Narkoba
Redaktur & Reporter : Adil