Seorang perempuan pengusaha Australia Mina Guli berencana melakukan 200 maraton dalam setahun untuk mengkampanyekan masalah krisis air dunia.
Mina akan melakukan lari maraton 200 kali di 200 negara dalam kurun waktu setahun untuk meningkatkan informasi mengenai krisis air yang menurutnya masih banyak tidak disadari oleh warga dunia.
BACA JUGA: Pemetik Buah di Australia Mulai Dibayar per Jam, Harga Buah dan Sayuran Diperkirakan Naik
Dia sudah memulai maraton pertama di Uluru yang dulu dikenal dengan nama Ayers Rock di akhir Maret yang rutenya melewati Finke di Northern Territory dan sampai ke Oodnadatta di Australia Selatan, kota yang paling kering dan paling panas di Australia.
Suhu udara tertinggi yang pernah dilaporkan di Oodnadatta pernah mencapai 50 derajat Celcius.
BACA JUGA: Singapura Eksekusi Mati Pria Berkebutuhan Khusus Asal Malaysia karena Kasus Narkoba
Di awal Mei, Mina Guli diperkirakan sudah akan menyelesaikan 27 maraton dalam tujuh pekan.
Alasannya untuk melakukan maraton tersebut sangat sederhana.
"Kita sekarang sedang berada dalam krisis air global yang parah," katanya.
"Kita harus melakukan aksi, kita tidak boleh menyia-nyiakan waktu." Krisis air dunia saat ini
Dunia saat ini menghadapi kekurangan air bersih yang parah dengan 40 persen penduduk dunia tidak memiliki akses yang persediaan air bersih yang memadai.
Salah satu masalah utamanya adalah apa yang disebut 'air siluman', jumlah air yang digunakan setiap hari secara tidak langsung.
"Air ada dalam bentuk apa saja, dari apa yang kita gunakan, kita beli dan kita konsumsi," kata Mina Guli.
"Apakah dalam bentuk pakaian yang kita gunakan atau makanan yang kita santap."
Menurut lembaga Water Footprint Network, proses untuk menghasilkan sebuah harmburger daging memerlukan 2.500 liter air.
Sebuah handphone memerlukan 3.500 liter untuk proses produksi sementara satu celana jins memerlukan 10 ribu liter air.
Di tahun 2012, setelah mengetahui mengenai 'air siluman' ini Guli mendirikan yayasan bernama Thirst Foundation, sebuah organisasi nir laba dengan tujuan meningkatkan kesadaran akan krisis air global dan mendorong tindakan segera guna mengatasi krisis tersebut.
Dia ingin adanya perhatian internasional akan masalah tersebut sehingga dia kemudian melakukan 100 maraton di tahun 2016.
Dia percaya dengan melakukan maraton d berbagai negara dan berbicara dengan berbagai komunitas yang mengalami masalah air bersih akan membuat perhatian semakin terarah ke sana. Pernah melakukan 100 maraton
Ini bukanlah kali pertama Mina Guli melakukan maraton untuk mengkampanyekan masalah-masalah yang dianggapnya penting.
Di tahun 2019, dia berencana untuk melakukan 100 maraton dalam waktu 100 hari.
Tetapi di hari ke-62 dia hampir tidak bisa berjalan.
Dia tidak sadar bahwa ketika itu retak di tulang kakinya sudah melebar menjadi sekitar 15 sentimeter.
Namun, dia berhasil menyelesaikan maraton di hari tersebut. Baru keesokan harinya ia diberi tahu bahwa dia harus segera berhenti jika ia tidak mau mengalami cedera permanen.
"Ketika melihat foto saya melakukan maraton, saya sempat berpikir 'itu gila ya, apa sih yang saya lakukan ketika itu," katanya kepada ABC.
Namun pengalaman tersebut tidaklah membuatnya berhenti, tapi malah semakin memberinya semangat untuk melakukan maraton lagi. Tujuh gurun, enam sungai dan ribuan kilometer
Di tahun 2016, dia melakukan Lari Tujuh Gurun yang meliputi 40 maraton selama 49 hari di tujuh benua.
Setahun kemudian dia melakukan Lari Enam Sungai, yaitu 40 maraton selama 40 hari.
Dan di tahun 2019, dia melakukan 100 maraton dalam 100 hari.
Dan sekarang dia melakukan maraton global untuk menarik perhatian lebih besar lagi.
Dalam melakukan 200 maraton dalam masa setahun tersebut, Mina Guli akan melakukannya dari Oceania, Timur Tengah, Afrika, Eropa dan Amerika Serikat.
Dia bermaksud menyelesaikan maraton ke-200 tersebut pada bulan Maret 2023 bertepatan dengan Konferensi Air PBB yang akan dilangsungkan di New York.
Sama seperti apa yang dilakukan sebelumnya, maraton yang dilakukan Guli akan berlangsung di berbagai tempat di dunia di mana krisis air parah sedang terjadi.
"Kami memilih lokasi berdasarkan cerita yang harus kami ungkapkan," katanya.
"Kami akan berbicara dengan perempuan dan anak-anak di negara seperti India dan Bangladesh, di mana mereka setiap hari harus berjalan dalam kondisi ekstrim atau bahkan bisa mengancam keselamatan mereka, guna mendapatkan air.
"Dan anak-anak di tempat seperti Afrika Selatan di mana anak-anak tidak ke sekolah karena harus menunggu kiriman air."
Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Lokasi Pembunuhan Massal Penduduk Aborigin di Queensland Kembali ke Tangan Pemiliknya