Perempuan Harus Berani

Selasa, 21 April 2015 – 08:57 WIB
Siti Nurbaya bersama dua cucunya, Azsyifa Nuraya dan Zaira Addeva, di rumah dinasnya, Jalan Denpasar, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (20/4). Foto: Ricardo/JPNN

jpnn.com - "TAHUKAH engkau semboyanku? Aku mau! Dua patah kata yang ringkas itu sudah beberapa kali mendukung membawa aku melintasi gunung keberatan dan kesusahan. Kata "Aku tiada dapat!" melenyapkan rasa berani. Kalimat "Aku mau!" membuat kita mudah mendaki puncak gunung. - R. A. Kartini

Sepenggal pesan Raden Ajeng Kartini ini mengingatkan perempuan Indonesia untuk melangkah maju dengan segenap keberanian membawa perubahan pada dunia sekitarnya. Pesan keberanian itulah yang dibawa Siti Nurbaya Bakar selama menjalani kariernya sebagai birokrat, dan kini menduduki kursi Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup .

BACA JUGA: Saya Melihat Kartini itu Sebagai Inspirasi

Siti termasuk salah satu menteri perempuan di Kabinet Kerja yang dikenal pekerja keras dan gesit menyelesaikan setiap masalah. Mantan Sekjen Kemdagri dan Sekjen Dewan Perwakilan Daerah ini sudah masuk keluar hutan di Indonesia untuk menjalankan tugasnya dan menyelesaikan masalah lingkungan hidup yang menumpuk. Membawahi "dua kementerian sekaligus", kehutanan dan lingkungan hidup, tidak membuat Siti terbebani.

Dia masih sempat membagi ilmunya sebagai pengajar pada program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, bidang Studi  Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup. Sebagai salah satu tokoh yang bergerak di antara dunia politik dan birokrasi, Siti mengaku menjadi perempuan yang bebas. Tidak ada yang mengekangnya.

BACA JUGA: Ditenggelamkan Lebih Bagus

Hanya saja, Siti sering sedih karena kesibukannya membuat terkadang sulit  memasak dan berbagi waktu untuk sang suami Rusli Rachman serta dua anaknya Meitra Mivida NR dan Ananda Tohpati.

Siti pun berbagi cerita tentang sisi lain kehidupannya. Dengan mata berkaca-kaca, Siti terkenang saat sulitnya membagi waktu untuk anak-anaknya.

BACA JUGA: Dari Ketakutan Menjadi Sebuah Semangat

Tak hanya berbagi kisah, Siti juga tampil istimewa saat diwawancara JPNN di kediamannya, Jalan Denpasar, Kuningan, Jakarta Selatan. Ia cantik dengan baju kebaya yang sudah bertahun-tahun tak dipakainya. Biasanya dia berkemeja putih lengan digulung dan celana bahan hitam. Perempuan energik kelahiran 28 Agustus 1956 itu ingin menunjukkan sisi feminimnya.

Sambil bercanda gurau dengan dua cucunya Azsyifa Nuraya dan Zaira Addeva, Siti Nurbaya berkenan menerima reporter JPNN Natalia Laurens dan fotografer Ricardo, di rumah dinasnya, Jalan Denpasar, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (20/4).

Bagaimana sosok Kartini menurut Ibu?

Kalau kita lihat kan, sosok Raden Ajeng Kartini sebetulnya sosok perlawanan dalam kepatuhan. Berarti  punya prinsip di dalamnya. Patuh itu termasuk prinsip. Kepatuhan itu ada hal-hal prinsip lain yang melekat dalam diri beliau, bahwa ada "pemberontakan", itu untuk mengaktualisasikan hak-hak sebagai manusia, perempuan yang harus dididik. Di situ juga soal keberagaman hak bahwa saya kan sama seperti kakak saya yang laki-laki dan saya harus berpendidikan.  Satu lagi ada prinsip futuristik tentang masa depan bagi bangsanya, orang-orang perempuan lainnya di masa yang akan datang dan tentu saja di saat itu. Jadi kalau kita lihat sosok Raden Ajeng Kartini menurut sejarah, banyak dimensi-dimensi yang bisa kita lihat. Dimensi kepeduliannnya, dimensi kedisiplinannya dan dimensi hak asasinya juga. Itulah sebenarnya yang dinamakan professional. Profesional dan komitmen terhadap prinsip yang terukur untuk memperjuangkan perempuan Indonesia. Jadi perempuan harus berani. Berani aktualisasikan diri.

Apa Ibu merasa sudah mewakili impian Kartini?

Saya hampir tidak pernah memikirkan bahwa saya sudah bagus atau hebat. Buat saya yang paling penting adalah kita bekerja dengan baik dan hasilnya dinilai orang lain. Karena saya birokrat jadi saya jadi terbiasa bahwa pekerjaan saya dinilai atasan. Tentu saja dinilai juga oleh masyarakat. Saya tidak bisa menilai diri saya sendiri.

Ibu lama bekerja sebagai birokrat, sekarang sebagai menteri, politikus Nasdem. Apa yang Ibu rasakan?

Dalam bekerja di birokrasi kami memang punya hal-hal yang terukur. Jadi standarnya seperti apa, prosedur pemerintahannya seperti apa, jangan lupa friendshipnya juga ada. Birokrat kan harus berprestasi juga. Di birokrasi ada aturan main soal powership, kapan harus benar-benar kokoh dalam  mengambil posisi. Itu sepanjang waktu diajarkan.  Saya merasa terus terang begitu bebas bekerja sebagai katakanlah pekerja yang selama ini banyak untuk pemerintahan dan sebagian juga di partai dan masyarakat. Saya merasa saya memang harus melakukan itu. Saya merasa bebas. Tidak terhambat apa-apa. Saya juga merasa selama ini saya merasa tidak perlu kalau mau sesuatu harus pakai merayu, harus membujuk. Saya tidak pernah lakukan itu. Jadi saya merasa kondisi sekarang, cita-cita Kartini itu sebenarnya sudah ada.  Sudah sangat terbuka.  Tapi jangan lupa, kita juga masih punya beberapa keragaman budaya dan adat yang masih sangat hati-hati dalam hal mengelola kaum perempuannya. Ini jadi tantangan juga sebetulnya.

Perbandingan-perbandingan yang saya lakukan waktu saya masih di Eropa tahun 1985-1988, di kampus tempat saya belajar, dosen perempuannya enggak banyak. Malahan di Indonesia, waktu itu saya kuliah di Universitas Lampung, malahan dosen perempuannya lebih banyak. Menurut saya Indonesia mengalami banyak kemajuan. Tahun 1988 saya lihat seperti itu, apalagi sekarang ya setelah undang-undang parpol, undang-undang pemilu hingga banyaknya aktivis perempuan saat ini. Jadi saya kira banyak hal yang sudah sangat maju.

Saya lihat semangat Kartini ini harusnya dari pendidikan dasar anak-anak. Putri-putri sudah harus diajarkan untuk berani. Sebab antara aktualitas dan kapasitas harus jalan seiring. Kapasitas ada tapi keberanian untuk aktualisasinya tidak ada itu susah juga.

Bagaimana membagi waktu dengan keluarga? Apa keluarga tidak protes?

Pertanyaan itu sudah muncul sejak saya jadi ketua organisasi pemuda di provinsi. Salah satu pertanyaannya, bagaimana membagi waktu nanti. Lalu saya menjawab, apa pertanyaan  ini juga ditanyakan ke calon ketua laki-laki apa enggak. Seharusnya tidak ada perbedaan ketika saya perempuan yang maju mencalonkan diri.

Jadi sebetulnya, jawaban klasiknya “oke saya akan atur waktu” tapi memang faktanya seperti itu, harus mengatur waktu. Terutama untuk anak-anak. Saya sebetulnya coba mengimbangi. Betul memang waktu saya untuk ketemu anak-anak saya sangat sedikit.  Tapi harus berkualitas. Saya kira yang sampai saya setua ini, katakan sekarang umur saya di atas 50, saya lihat bahwa yang paling penting adalah diri kita sendiri. Kita harus memiliki titik-titik koordinasi. Jadi perasaan kita sendiri kita kontrol. Saya kadang di kementerian hampir tiga minggu tidak punya weekend ya. Sabtu Minggu kadang punya tugas. Saat-saat seperti itu saya merenung di pesawat atau di mobil, dalam periode ini saya ketinggalan komunikasi dengan anak saya yang mana. Anak saya yang mana yang belum berkomunikasi dengan saya. Jadi saya evaluasi diri saya berapa lama tidak berinteraksi dengan anak saya.  Saya kan punya dua anak. Atau saya evaluasi, saya ini belakangan engak intens ngobrol dengan suami saya, intens ngobrolnya. Kalau waktu memang sedikit dari dulu.

Sikap anak-anak seperti apa?

Kalau protes itu, sejak anak-anak saya masih kecil. Dulu saat anak perempuan saya umur sembilan tahun dia menaruh tulisan protes di meja kerja saya. Dia menulis  ‘hari Minggu saya enggak ketemu mama,hari Senin enggak ketemu mama lagi.  Selasa juga enggak ketemu.” Itu ditulis tangan sama anak saya dan ditaruh di meja saya.  Kadang-kadang dia bertanya ‘mama emang kalau kerja di kantor enggak ada hari libur ya pegawainya’ suka gitu tanyanya. Akhirnya itulah yang menuntun saya selama ini jadi menteri,  setiap kali saya kerja saya ingat-ingat lagi saya belum komunikasi dengan anak saya yang mana. Dalam rumah tangga harus koordinasi biar tidak ada yang tercecer. Saya selalu ingat-ingat yang ketinggalan siapa. Biar tidak ada protes dari anak-anak.

Masih punya waktu memasak untuk keluarga?

Di waktu yang lalu sebenarnya saya masih punya waktu memasak. Waktu anak pertama saya lahir saya masih punya waktu bisa sediakan makan.  Keluarga saya paling senang dimasakin semur enggak pakai kuah. Anak kedua suka, ikan baronang bakar.

Dulu, masak dan jahit baju saya masih bisa. Tapi setelah punya anak dua, saya enggak ada waktu lagi jahit baju.  Tapi saya masak. Sambil kerja, saya masih bisa masak. Bangun pagi-pagi dulu. Sampai suatu ketika, saya mulai sangat sibuk di tahun 1983, waktu saya di Bappeda,  sebagai perencana jadi memang sibuk banget. Sampai saya sekolah ke luar negeri. Ke Belanda, kalau anak saya kangen, kami kirim-kiriman kaset isi rekaman suara. Dua hari sekali, hanya untuk tanya 'mama apa kabar'. Dulu kan teknologinya belum canggih.

Sampai akhirnya saya setelah pulang dari luar negeri tidak ada waktu lagi dan saya janji akan masak untuk anak saya selama bulan puasa saja. Jadi bertahun-tahun itu terjadi. Pada bulan puasa saya pulang sore, demi masak untuk keluarga. Setelah itu saya, balik lagi ke kantor kalau masih ada kerjaan.

Terakhir saya jadi Sekjen Kemdagri, sudah tidak ada waktu memasak. Saya minta maaf pada anak dan suami karena enggak bisa masak lagi. Di keluarga itu, yang paling penting memang kejujuran. Semua aspek di mana pun kita jujur. Makanya saya minta maaf, saya bilang saya ajarin menunya aja ke anak saya. Apalagi setelah jadi menteri, saya jarang memasak.

Ibu, berapa jam istirahat dalam sehari?

Saya setiap hari kan juga harus membaca dokumen satu-persatu terlebih yang butuh cepat untuk ditandatangani. Apalagi masalah lingkungan dan hutan kan seabrek-abrek. Saya tidur jam berapa aja, rata-rata di atas jam 00:00 WIB. Kalau udah capek banget, ya jam 10:00-11:00 WIB. Hampir tiap hari, rata-rata empat jam saya tidur. Tapi saya tetap gemuk aja tuh. Karena makan saya enggak ditahan-tahan. Kalau lapar ya makan.

Enggak takut sakit kalau istirahat tidak teratur?

Saya ada naluri, sugesti, jangan sakit. Aku sehat. Pikirannya harus begitu. Saya jarang ke dokter. Minumnya obat generic aja. Saya sudah ajari badan saya, kalau di pesawat dan mobil saya tidur. Sekolah S3 saya dari Lampung ke Jakarta. Jauh kan, jadi saya gunakan waktu itu untuk tidur di jalan karena bolak balik Lampung-Jakarta. Jadi Selat Sunda itu saksi perjuangan saya menimba ilmu.

Hobinya selama ini apa Bu?

Saya suka membaca. Saya suka baca buku politik, ketahanan nasional, buku tentang lingkungan karena sekarang saya ngajar di IPB. Tapi selama saya jadi menteri itu, waktu saya kurang untuk membaca. Baca buku karena sibuk baca dokumen kantor. Saya malah sekarang banyak baca report LSM ke kementerian. Reportnya bagus-bagus. Di mobil saya jadi baca-baca. Dulu sih waktu eselon II saya masih suka renang. Untuk menjaga badan. Berat saya 57 kilo hingga 63 kilo. Tapi setelah eselon I,  jadi di atas 80 kilo karena enggak ada olahraganya.

Jika ada waktu luang, berlibur kemana saja Bu?

Waktu libur saya sedikit. Kadang enggak libur. Jadi saya paling senang ketemu cucu. Kalau sudah lelah, lalu bertemu cucu itu senang rasanya. Atau enggak saya balik ke rumah di Cibubur dan kumpul dengan keluarga. Paling begitu saja kalau liburan. Saya lebih sering minta anak dan cucu ke rumah dinas, jadi saya bisa bertemu mereka saat pulang kerja atau sebelum berangkat kerja.

Ibu di partai dan kerja di pemerintahan, apa sering ada tekanan dari bos?

Enggak-enggak. Saya masih di Nasdem tapi tidak di struktural lagi. Ini partai modern dan begitu bebas saya berkreasi. Malah kami mendapat dukungan dan diingatkan juga tugas-tugas di kementerian. Kami ada evaluasi selalu. Terutama kementerian kami kan operasional.

Ibu canggung enggak harus memimpin dua kementerian yang dilebur?

Kalau soal canggung, saya sudah belajar itu lama. Waktu saya Ketua Angkatan Muda Pembaruan Indonesia (AMPI) tahun 1983, di situ saya belajar untuk tidak canggung. Saya bertemu banyak jenis orang. Laki-laki yang galak-galak, preman-preman yang bisa angkat meja banting depan saya. Saya pernah bertemu orang-orang seperti itu,  jadi saya sudah lalui kecanggungan itu dan saya pelajari.

Di dalam exercise, politik kantor saya sudah selesai sejak Kemdagri. Saya selalu berhati-hati karena di beberapa hal saya selalu menjadi perintis. Saya jadi Sekjen Kemdagri perempuan pertama, Ketua AMPI perempuan Indonesia pertama, jadi saya hati-hati. Saya tidak ingin kalau salah-salah, lalu perempuan mendapat label lemah. Nanti perempuan lain enggak dapat kesempatan karena saya. Itu sebenarnya tekad juga, jadi enggak ada  kecanggungan.

Waktu penyatuan dua kementerian, kami kumpulkan bersama dua belah pihak dan elemen lain. Empat hari berturut-turut untuk bahas itu. Alhamdulilah selesai, termasuk cepat dan mulus.

Ibu termasuk yang menyusun UU Pilpres dulu, dan sekarang UU itu yang menghantarkan Pak Joko Widodo jadi kepala negara, ada catatan khusus?

Percaya enggak? Referensi yang saya pakai untuk UU Pilpres itu adalah Pilkada di Sragen dan pemilunya George Bush tahun 2000. Itu kami banyak belajar dari sana. Itu pakai uji statistik. Itu menarik. Saya senang itu enggak banyak berubah mekanismenya hingga pilpres kemarin, meski ada perbaikan-perbaikan di pemilu tahun 2009.

Apa pesan Ibu untuk kaum perempuan Indonesia?

Kaum perempuan Indonesia saat ini sudah sangat maju ya saya rasa. Hanya saja, kita harus tetap berani untuk mengembangkan kemajuan itu. Kita masih kalah soal kemajuan perempuan jika dibanding negara lain. Seperti di Eropa Timur.  Tapi sudah terbukalah peluang untuk perempuan Indonesia saat ini. Terpenting kita berani aktualisasikan diri.***

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... ISIS Tak Pakai Hipnotis, Tapi Pola Cuci Otak


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler