jpnn.com - MEMPERINGATI Kartini saat ini, tidak bisa lepas dari Menteri Luar Negeri Retno Lestari Priansari Marsudi. Dia adalah Menlu perempuan pertama dalam sejarah Indonesia. Retno bersedia meluangkan waktu untuk berbincang dengan wartawan Jawa Pos (Induk JPNN) Mochamad Salsabyl tentang pengalamannya di dunia diplomasi.
---
BACA JUGA: Ditenggelamkan Lebih Bagus
Bagaimana kesan menjadi Menlu perempuan pertama?
Saya juga bingung jawabnya. We were trained at the same school. Jadi, ilmu yang kita pelajari adalah ilmu yang sama. Dengan ilmu itu, kita berkembang more or less ke arah yang sama. Jadi, saya tidak melihat ada perbedaan signifikan saat saya atau pendahulu menjadi menteri luar negeri.
BACA JUGA: Dari Ketakutan Menjadi Sebuah Semangat
Apakah profesi diplomat lebih terbuka daripada yang lain atau justru sarat diskriminasi?
Tidak ada hambatan. Saya beruntung hidup di lingkungan pekerjaan yang orang-orangnya open-minded. Mungkin karena kita terekspos dengan berbagai macam orang dan latar belakang. Dengan kondisi ini, saya kadang-kadang tidak sadar soal isu gender. Sebab, tidak ada dalam benak kami isu diskrimnasi sepanjang perjalanan saya jadi diplomat.
BACA JUGA: ISIS Tak Pakai Hipnotis, Tapi Pola Cuci Otak
Menjadi ujung tombak pelindung tenaga kerja perempuan, bagaimana menyikapinya?
Lepas dari apakah itu perempuan atau tidak, saya memang punya passion besar terkait dengan masalah buruh migran. Sebab, saya pikir to serve the country itu artinya serve the people. Kebutuhan konstituen kami kan WNI (warga negara Indonesia) di luar negeri. Itu bisa datang dari berbagai latar belakang. Apalagi, ada prioritas politik luar negeri kedua Indonesia, yakni melindungi WNI dan BHI (badan hukum Indonesia) di luar negeri.
Bagaimana menyikapi masalah terkait buruh migran?
Kadang-kadang kita sering menyimplifikasi sesuatu: Kalau masalah muncul, diplomasi kita salah. Seharusnya dirunut dari hulu ke hilir. Di mana letak salahnya dan apa sebabnya. Kalau hulu diperbaiki, insya Allah hilir bakal ikut. Karena itu, kami secara tegas melarang penyaluran TKI ke negara yang belum punya regulasi soal profesi yang berkaitan atau perjanjian bilateral yang melindungi buruh migran.
Apa hal yang paling membanggakan selama bekerja di Kemenlu?
Hmmmm.... Pertanyaannya gampang, tapi susah jawabnya. Yang jelas, saya bangga dengan sistem Kemenlu saat ini. Saya sudah diberi kepercayaan sebagai Menlu yang saya rasa cukup sulit. Pada usia 38 tahun sudah menjadi direktur, itu terobosan dari Pak Hasan Wirajuda. Itu adalah terobosan saat pejabat dinilai dari prestasi dan tidak ada istilah urut kacang. Usia 42 tahun saya sudah jadi duta besar dan 51 tahun ini saya jadi Menlu.
Di sisi lain, apa hal yang paling membuat hati miris?
Ada dua peristiwa yang membuat saya menangis dan hampir menangis. Pertama, saat peristiwa MH17. Ada 12 WNI di pesawat tersebut dan beberapa dwiwarga negara. Berat rasanya sewaktu menyampaikan informasi jenazah kepada keluarga. Tapi, yang buat saya menangis adalah sewaktu saya diminta berpidato di pemakaman sebagai perwakilan Indonesia.
Kedua, saya hampir menangis saat berkunjung ke sekolah anak buruh migran Indonesia di 1,5 jam dari Kota Kinabalu, Malaysia. Kami berkunjung karena anak-anak tidak bisa bersekolah lantaran tidak ada izin dari pemerintah. Anak-anak SD meminta tolong ke saya untuk bisa bersekolah lagi. Nggak usah jauh-jauh mikir gelar master atau doktor, mereka bersekolah SD saja nggak bisa.
Bagaimana melihat sosok Kartini sebagai inspirasi?
Saya melihat Kartini itu sebagai inspirasi. Pada tahun itu, ada seorang perempuan berpikiran maju masalah women empowerment mengenai perlunya menjadi pintar. Itu terungkap dari surat dia ke temannya di Belanda. Kartini menjadi contoh perempuan untuk memberikan kontribusi sosial. (*/nda)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tahu Persis Aliran Dana Teroris
Redaktur : Tim Redaksi