Menurut para peneliti di Jepang, simpanse di alam liar dinilai sangat peduli terhadap bayi mereka yang mengalami "disabilitas parah". Mereka mengatakan, perilaku itu bisa menjelaskan perkembangan perilaku sosial manusia.
Dalam sebuah makalah yang diterbitkan dalam jurnal ‘Primates’, para peneliti mengatakan, sang Bayi yang "menunjukkan gejala serupa Down Syndrome" mampu bertahan selama hampir dua tahun.
BACA JUGA: Pangeran Charles dan Putri Camilla Disambut Ratusan Warga Sydney
Disabilitas termasuk kerusakan pada tulang belakang simpanse betina, jari keenam di tangan kirinya dan ketidakmampuan untuk duduk sendiri atau berpegang pada ibunya.
Professor Michio Nakamura dari Universitas Kyoto mengatakan, bayi simpanse itu juga menunjukkan ekspresi wajah yang konsisten dengan masalah kesehatan mental.
BACA JUGA: Australia Selatan Memiliki Angka Pengangguran Tertinggi
Foto dari tahun 2011 ini menunjukkan bayi simpanse dengan disabilitas dirawat oleh kakak perempuannya. (Foto: Kyoto University/Michio Nakamura)
Para peneliti mengatakan, sementara disabilitas bawaan terjadi di banyak spesies primata, belum ada laporan yang meneliti bagaimana seorang ibu simpanse berupaya mengatasi bayi disabilitas di alam liar.
BACA JUGA: Melihat Program Multikultur di Kalangan Siswa SMA Australia
Sang ibu tak mengizinkan non-kerabat untuk mengurus si bayi, meski menerima bantuan seperti ini untuk anak yang lain, dan dibantu pula oleh keturunannya yang betina.
Perawatan yang diberikan oleh seorang individu selain ibu kandung biologis dikenal sebagai ‘allomothering’, dan relatif jarang ditemukan di antara para simpanse.
"Perawatan dari sang Ibu untuk disabilitas yang dialami bayi dan tindakan ‘allomothering’ yang diberikan saudara perempuannya mungkin telah membantunya bertahan hidup selama 23 bulan di alam liar," tulis para peneliti.
"Sang ibu menggendong bayi dan membawanya saat pindah karena ia suka mengurusnya sendiri. Ketika menyusui, sang ibu mengangkat bayi ke putingnya untuk disusui,” terang Profesor Michio.
Bayi tak terlihat sejak Des 2012
Anggota lain dari kelompok simpanse tak menunjukkan bentuk kebencian atau ketakutan apapun terhadap sang bayi.
Profesor Michio menyebut bahwa penelitian ini bisa membantu menjelaskan bagaimana manusia berevolusi menjadi makhluk sosial.
"Salah satu ciri manusia sosial adalah bahwa manusia mau merawat penyandang disabilitas dan mereka yang dalam posisi rentan," katanya.
Ia menerangkan, "Menarik untuk mengamati simpanse yang merawat bayi dengan disabilitas dalam hal mencari tahu kapan sosialitas tersebut terjadi, karena mereka adalah spesies modern yang paling dekat dengan manusia."
Para peneliti dari Universitas Kyoto telah mempelajari sekelompok simpanse di Tanzania sejak 1965, sebagai bagian dari Proyek Penelitian Simpanse Gunung Mahale, dan kawanan dalam penelitian ini digambarkan sebagai "juga terbiasa" dengan keberadaan manusia.
Profesor Michio mengatakan, bayi simpanse belum diamati sejak Desember 2012 dan kemungkinan sudah mati.
Ia menyebut hal ini bisa saja terjadi karena kekurangan gizi, karena ia tak terlihat makan makanan padat, atau karena kehamilan sang saudara perempuan, yang membuatnya sulit untuk terus merawat si bayi.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Harun Causevic Hanya Dapat Peringatan Karena Kasus Kepemilikan Senjata