Perjuangan Bidan-Bidan Inspiratif Melawan Kuatnya Tradisi Lokal

Simulasi Bakar Tegaskan Risiko Panggang Api

Rabu, 21 Desember 2011 – 08:38 WIB
Bidan Meiriyastuti menghadapi budaya lokal memandikan bayi di sungai Batanghari. (19/12) Foto : Srikandi Award for Jawa Pos

Tugas para bidan, terutama di daerah pelosok, tidak semudah yang dibayangkanSelain medan yang sulit, hambatan lain adalah kuatnya tradisi lokal yang dipegang warga setempat

BACA JUGA: Rahmad Darmawan setelah Mundur dari Pelatih Timnas

Padahal, tradisi itu bertentangan dengan kaidah kesehatan.

M
HILMI SETIAWAN, Jakarta
   
MEMANGGANG bayi? Membayangkannya saja sudah bikin bergidik

BACA JUGA: Ultah Ke-55 Namarina, Sekolah Balet Tertua di Asia Tenggara

Tetapi, itulah yang dilakukan oleh warga Desa Jenilu, Kecamatan Kakuluk Atapupu, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT)
Bukan hanya bayi yang "dipanggang?, tetapi juga sang ibu

BACA JUGA: Setelah Kasus Istri Perwira Polisi Melapor Diperkosa Dianggap Janggal

Tradisi yang dipegang erat oleh warga setempat itu bernama panggang api.
   
Selama 7 hari berturut-turut setelah melahirkan, sang ibu dan bayinya wajib melakoni tradisi panggang apiMereka tidur di ranjang yang bagian bawahnya dipasangi bara apiPersis dengan proses memanggang daging atau makanan lainHal tersebut dilakukan selama dua sampai tiga jamWarga setempat yakin bahwa tradisi itu bakal membuat si bayi lebih kuatKepulan asap yang ada membuat bayi dan ibu terus hangat.
   
Benarkah? Yang pasti, tradisi panggang api itu membuat ibu dan bayinya "kepanasan"Bukan bikin kuat, si bayi justru tidak bisa beristirahat dengan tenangTak jarang bayi menangis karena kepulan asap yang pekatHal itu juga membuat sang ibu kesulitan menenangkan bayinya.
   
Kuatnya tradisi panggang api itulah yang harus dihadapi bidan Rosalinda Delin ketika kali pertama bertugas di Desa Jenilu pada 1999"Awal saya berdinas, saya tidak mengira bahwa tradisi leluhur itu masih ada," kata Rosa saat mengikuti penjurian Srikandi Award di Jakarta (19/12)Acara tersebut digagas Ikatan Bidan Indonesia (IBI) dan Sari Husada
   
Tidak mudah bagi Rosa menghadapi kenyataan tersebutBahkan, wajar saja bidan kelahiran Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT, 13 April 1972, itu, sampai shock.
   
Rosa berpikir bahwa warga setempat sudah tidak lagi meneruskan tradisi panggang apiTetapi, dugaannya salahPascareferendum yang berujung lepasnya Timor Leste dari Indonesia, banyak warga Timor Leste yang masuk NTTNah, mereka itulah yang meneruskan tradisi tersebut.
   
Rosa bertekad melawan tradisi ituBelum genap sebulan bekerja, dia mengumpulkan kepala desa, camat, kepala suku, hingga sesepuh adat"Dalam pertemuan itu, saya langsung bilang bahwa upacara panggang api harus dihentikan," tegasnyaRespons yang dia dapat positifPara tokoh warga itu siap membantu Rosa untuk menyadarkan masyarakat setempat.
   
Menurut Rosa, upacara panggang api sangat berisiko pada kesehatan ibu dan bayiMereka bisa terserang anemia (kurang darah) dan pneumonia (radang paru-paru)Perjuangan Rosa tidak mudahPendapatnya ditentang pemangku adat setempatDia ditantang untuk membuktikan analisis tersebut.
   
Rosa pun memutar otakDia akhirnya menemukan media sosialisasi yang murah dan mudah didapat: ikan! Rosa membelinya di pasar setempatSetelah ditusuk dengan kayu, ikan itu dipanggang di atas bara api yang terus mengeluarkan kepulan asapSejurus kemudian, ikan tersebut kering, matang, dan siap dimakan.
   
Itu adalah perumpamaan dari tradisi panggang apiDari praktik memanggang ikan tersebut, Rosa mengatakan, jika terus dipanggang di atas bara api, ikan akan kehilangan cairan dan mengering"Begitu pula manusiaBisa kering karena kehilangan cairan jika dipanggang," jelasnyaMendengar paparan Rosa, warga pun manggut-manggut
   
Rosa mengatakan, masih kuatnya tradisi panggang api tak lepas dari tingkat pendidikan warga yang rendahMayoritas adalah tamatan SDSebagian besar ibu hamil malah tidak pernah mengenyam bangku sekolah
   
Rosa mengakui, ada hal positif dari upacara panggang apiYaitu, membuat ibu dan bayi hangatSebagai gantinya, Rosa mengenalkan selimut untuk menghangatkan tubuh ibu dan bayi
   
Perlahan tetapi pasti, kerja keras Rosa membuahkan hasilDalam kurun waktu enam bulan, dia berhasil menyadarkan masyarakat untuk mulai meninggalkan tradisi panggang api

Atas prestasi itu, Rosa dipromosikan menjadi bidan kecamatan pada 2006Empat tahun kemudian, dia menyabet penghargaan bidan teladan tingkat Provinsi NTT.
   
Lain lagi cerita bidan Meiriyastuti yang bertugas di Desa Teriti, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, JambiTidak ada tradisi panggang api di sanaYang ada adalah tradisi nyebur ke ayekYakni, ritual memandikan bayi di Sungai BatanghariTidak tanggung-tanggung, tradisi itu harus dilakukan selama 7 hari sejak si bayi lahir.
   
Meiriyastuti menentang keras ritual tersebutSemua itu bertentangan dengan ilmu yang didapatnya saat mengambil pendidikan D-3 kebidanan"Bayangkan risiko terjangkit kuman-kuman, bakteri, atau virus yang ada di air," ucap bidan kelahiran 29 Mei 1979 itu.
   
Ritual nyebur ke ayek melibatkan peran dukun bayiDialah yang membawa bayi ke sungai dan memandikannyaSelain membawa bunga tujuh rupa, si dukun membaca mantra-mantra tertentu

Warga setempat percaya, setelah dimandikan di sungai selama 30 sampai 45 menit, bayi akan kuatSelain itu, konon bayi yang sudah dimandikan penuh selama 7 hari bakal selamat ketika mengarungi Sungai Batanghari saat dewasa.
   
Selain itu, ibu yang baru melahirkan wajib menjalankan tradisi unikYakni, hanya boleh makan nasi putih dan kecap asinTidak boleh makan sayur, ikan, atau minum susu
   
Menghapus tradisi leluhur tersebut menjadi tugas berat bagi MeiriyastutiDia pun melakukan sosialisasi lewat berbagai forumMisalnya, rapat desa maupun acara pengajian"Risiko yang paling tinggi adalah bayi mengalami hipotermia atau kedinginan," terang dia
   
Di awal perjuangannya, Meiriyastuti mendapat banyak protes dari para dukun bayi setempatBahkan, ada seorang dukun bayi yang secara terang-terangan menghardik Meiriyastuti di tengah forum pengajian

Hal itu tak membuat Meiriyastuti kederSetelah Meiriyastuti berhasil meluluhkan hati masyarakat, dukun yang kuat menggenggam tradisi lokal itu justru lengket ke Meiriyastuti.
   
Perjuangan Meiriyastuti sungguh panjang dan melelahkanDia menghabiskan waktu lebih dari sepuluh tahun untuk membuat warga benar-benar sadar akan bahaya tradisi nyebur ke ayekSejak bertugas di Desa Teriti pada 2000, kerja keras Meiriyastuti baru terasa tahun ini"Sekarang masih ada satu?dua orang yang tetap menjalankan tradisi itu," ucapnya.
   
Dia tidak bisa menghilangkan 100 persen upacara nyebur ke ayekYang dia lakukan adalah memodifikasiSaat ini warga sudah tidak lagi memandikan bayi mereka di sungaiSebagai gantinya, mereka memandikan bayi di dalam ember plastik di halaman rumahAir yang digunakan juga tidak sedingin air sungai
   
Solusi itu juga diterima kalangan dukun bayiToh, mereka tidak perlu berjalan ratusan meter untuk memandikan bayi di Sungai Batanghari

Namun itu saja tidak cukupMeiriyastuti terus mempererat hubungan dengan para dukun bayiTujuannya, para dukun tersebut bisa sadar dan dengan sukarela melepaskan tugas sebagai pembantu utama dalam proses persalinan"Jika ditangani dukun, bayi rentan terkena tetanus," katanya.
   
Meiriyastuti memperkenalkan pola kemitraan bidan-dukun dengan sharing penghasilanDia mengatakan, tarif persalinan yang ditentukannya Rp 300 ribuNah, dari nominal tersebut, dukun bayi memperoleh Rp 30 ribu sampai Rp 50 ribu

Siapa sangka, hal itu sudah membuat para dukun bayi bungahSekarang, setiap dimintai tolong untuk persalinan, dukun bayi justru membawa perempuan yang hendak melahirkan atau melapor ke MeiriyastutiPara dukun sekarang hanya bertugas mencuci pakaian atau memijat kaki ibu saat melahirkan(*/c11/ca)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Mencari Rumah Sewa Nunun Nurbaeti di Bangkok


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler