Perjuangan Johanes B. Ndolu, Penggagas Arisan Kuliah untuk Keluarga Tak Mampu di NTT

Anggota Hanya Bawa Amplop Berisi Rp 25 Ribu

Kamis, 15 Desember 2011 – 11:00 WIB

Arisan yang digagas Johanes BNdolu ini tergolong unik

BACA JUGA: Berhenti Jadi Wakil Bupati Garut, Dicky Chandra Kembali ke Panggung Hiburan

Tuan rumah arisan adalah keluarga yang kesulitan membiayai anaknya meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi
Kini sudah puluhan pemuda yang berhasil dikuliahkan karena kegiatan tersebut

BACA JUGA: Ke Sanggar Setiawan Subekti, Tester Kopi Kelas Dunia dari Banyuwangi

Johanes pun mendapat penghargaan dari pemerintah

 
M

BACA JUGA: Coin A Chance!, Komunitas Pengumpul Uang Recehan untuk Pendidikan Anak-Anak Miskin

Hilmi Setiawan, Jakarta

JOHANES BNdolu tampil percaya diri ketika naik ke pentas untuk menerima penghargaan Anugerah Peduli Pendidikan (APP) Selasa malam lalu (13/12) di JakartaPenampilannya didukung dengan topi khas NTT ti?i langga
 
Tak lama berselang, pria yang menjadi maneleo (kepala suku) Leo Kunak itu menggenggam piagam penghargaan dari Mendikbud Mohammad NuhTepuk tangan riuh ratusan pengunjung pun membahana.
 
Pria yang akrab disapa John itu adalah salah seorang inovator di bidang pendidikan yang malam itu memperoleh Piagam dan Piala APPSelain John, ada Ny Karli dari Surabaya, Jawa Timur; Siti Fauzanah, asal Temanggung, Jawa Tengah; dan Dian Inggrawati, warga Bandung, Jawa Barat.
 
Ditemui setelah menerima penghargaan, John menyatakan kegembiraannyaPria yang tinggal di Mokdale, Kecamatan Lobalain, Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur (NTT), itu mengatakan bahwa pencapaiannya itu adalah buah dari ide yang digagasnya pada 2003"Mudah-mudahan penghargaan ini bisa merangsang lahirnya para inovator yang lain," ucapnya
 
Inovasi yang diciptakan John di kampung halamannya cukup menarikDengan cara sendiri, dia berjuang agar para generasi muda di kampungnya bisa menikmati pendidikan hingga jenjang perguruan tinggiPadahal, pendidikan John hanya sampai SMAInovasi John ialah menggagas arisan kuliah
 
Mudah ditebak, awal-awal menerapakan inovasi tersebut John mendapat respons negatif seperti cibiranMaklum, di lingkungan tempat tinggal John, melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi merupakan sesuatu yang langka"Saya sempat menangis karena dikucilkan saudara sendiri," katanya

Setelah menenggak air mineral yang dia simpan dalam tas jinjing, John menceritakan perjalanannya menciptakan arisan kuliah ituDia menuturkan, di tanah kelahirannya ada budaya leluhur yang disebut Tu'uBudaya itu digelar setiap ada warga setempat yang meninggalTu'u juga dilakukan setiap ada pasangan yang menikah.
 
Tradisi yang turun-temurun itu, menurut John, adalah lingkaran setan yang membelit atau menghambat warga Pulau Rote untuk maju di bidang pendidikanSebab, budaya tersebut dilaksanakan dengan menghambur-hamburkan uangUpacara Tu'u kematian, misalnya, dilakukan dengan menyembelih puluhan sapi

Upacara itu digelar berminggu-mingguOngkos yang dikeluarkan bisa mencapai ratusan juta rupiahBegitu pula halnya dengan upacara Tu'u untuk pernikahanPria kelahiran Rote, 26 Januari 1963, itu menceritakan, banyak warga yang rela menjual tanah dan harta yang lain untuk menggelar pesta mewah

Dia menambahkan, sistem pada upacara itu hampir sama dengan upacara pernikahan di JawaYaitu, setiap orang harus memberikan amplopSebagai gantinya, pihak tuan rumah juga akhirnya berutang kepada si pemberi amplop itu ketika dia menggelar upacara serupa"Di sinilah yang saya sebut Tu'u itu seperti lingkaran setan," ucap pria yang dikukuhkan sebagai kepala suku pada 7 Juli 2003 itu.
 
Selain urusan amplop, dalam tradisi Tu'u pernikahan dikenal istilah maskawinSebelum ijab kabul, mempelai laki-laki wajib menebus mempelai perempuan senilai Rp 25 juta!
 
Untuk membahas soal itu, John berdiskusi dengan tokoh-tokoh asli Pulau Rote yang memiliki nama cemerlang tingkat nasionalDi antaranya, Herman Johannes, mantan rektor UGM; dan E.C.WNelu, mantan bos Bank MandiriJohn memaparkan, inti dari diskusi tadi adalah jika ingin berkembang harus keluar dari Pulau Rote untuk kuliah.
 
Akhirnya, dengan sedikit nekat dan bermodal sebagai kepala suku, John meminta komitmen warga untuk mengubah tradisi Tu'uDia menegaskan, inovasinya hanya mengubah, bukan menghilangkanDia menyadari, menghilangkan budaya lokal justru bukan kebijakan yang arif.
 
Perubahan model Tu'u ala John alah membuang kesan foya-foya tadiSegala pengeluaran selama upacara dia pangkasDi antaranya, hewan sesembelihan yang sebelumnya bisa mencapai puluhan, bahkan lebih dari seratus, kini tinggal satu ekor sajaTetapi, hewan tadi harus sehat dan berukuran jumbo.
 
Inovasi John itu lumayan jugaBiaya pesta yang sebelumnya mencapai ratusan juta rupiah kini ongkos upacara hanya sekitar belasan juta rupiahMasyarakat juga tidak sampai menjual harta benda demi menjaga gengsi menggelar upacara meriahSelain itu, penduduk lain tidak terbebani dengan utang amplopSebab, biaya Tu'u sudah bisa ditangung orang yang menggelar hajatan.
 
Setelah menyederhanakan upacara Tu'u, John lantas membuat upacara Tu'u, tapi khusus untuk membantu masyarakat yang kesulitan membiayai anaknya kuliahUpacara tersebut rata-rata ramai pada Juli atau JuniDalam sebulan, bisa sampai 20 kali upacara Tu'u kuliahMekanismenya, setiap ada keluarga yang benar-benar tidak mampu membiayai kuliah anaknya bisa melapor ke JohnSelanjutnya, dirancang upacara Tu'u khusus untuk kuliah
 
Pelaksanaannya tidak jauh berbeda dengan Tu'u untuk mengenang orang meninggal atau Tu'u pernikahanYaitu, setiap undangan wajib membawa amplop untuk pemilik hajat yang kesusahan membayar uang kuliahBegitu sebaliknya, dia juga wajib mengembalikan amplop jika ada warga lain yang di kemudian hari menggelar upacara serupa.
 
Dalam setiap digelar upacara Tu'u kuliah, John mengatakan bisa terkumpul duit hingga Rp 30 jutaBahkan, pernah tercatat sampai Rp 60 jutaanDuit itu diperkirakan sudah bisa membiayai hingga proses wisudaUntuk menekan pengeluaran saat upacara Tu'u atau arisan kuliah tadi, John memutuskan tidak boleh menyuguhkan hidangan yang berlebihan

"Tidak boleh ada nasi dan ikanCukup kue saja," kata pria yang sudah dua kali menjadi kepala suku dan tidak bisa mencalonkan diri lagi itu.
 
Selama upacara Tu'u kuliah dijalankan, menurut John, sudah ada 50 mahasiswa yang dibantuPara mahasiswa itu kebanyakan kuliah di kampus-kampus ternama di Pulau JawaSelain itu, ada yang kuliah di NTTSebagian di antara mahasiswa itu sudah diwisudaLalu, sebagian lagi masih kuliahDia menjelaskan, rata-rata para sarjana pulang ke kampung halaman
 
Mereka bekerja di instansi pemerintahanBahkan, ada yang menjadi lurahAda juga yang menjadi pendeta atau guruJohn memperkirakan, kelompok tersebut memiliki ikatan batin dengan tetangga yang sudah membantu biaya kuliahSebagian lagi ada yang mengadu nasib sebagai pekerja kantoran hingga di ibu kota DKI Jakarta.
 
John menuturkan, awal-awal menggelar Tu'u kuliah cukup sulitMenurut dia, pernah saudaranya tidak mau makan suguhan kue"Alasannya, dulu dijamu daging kok sekarang kue," tuturnyaTapi, akhirnya warga menyadari akan pentingnya peningkatan pendidikan di Pulau Rote
 
Dengan populasi sekitar 130 ribuan jiwa, warga cukup iuran Rp 25 ribu per keluarga untuk menyumbang pemilik hajatan Tu'u kuliahJohn mengatakan, ikatan kekeluargaan di kampungnya cukup eratSetiap ada kabar penyelenggaraan Tu'u kuliah langsung terdengar hingga di kampung sebelahKemudian, warga lintas kampung itu berduyun-duyun hadir dan memberikan sumbangan Tu'u kuliah sebesar Rp 25 ribu.
 
Dia berharap, inovasinya tersebut bisa langgengMeski sudah turun tahta sebagai kepala suku, John berharap agar pemimpin selanjutnya bisa meneruskan upacara Tu'u kuliahDia yakin, tidak lama lagi akan bermunculan tokoh-tokoh intelektual dari bumi Pulau Rote, pulau yang letaknya di wilayah paling selatan republik ini(c4/kum)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Para Ahli Waris Korban Pembantaian Rawagede setelah Belanda Meminta Maaf dan Berikan Kompensasi


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler