jpnn.com, JAKARTA - Ketersediaan bahan baku plastik dan petrokimia lokal belum bisa mengimbangi permintaan plastik domestik.
Padahal, permintaan plastik domestik berhasil tumbuh enam persen hingga Mei 2017 lalu.
BACA JUGA: Soal Dampak Regulasi Gambut, FPESGR Ajukan Audiensi dengan Gubernur Riau
Wakil Ketua Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) Budi Susanto Sadiman memprediksi kebutuhan plastik tahun ini bisa mencapai angka enam juta ton.
’’Tahun lalu, konsumsi plastik bisa tembus 5,6 juta ton. Angka tersebut justru lebih tinggi 100–200 ribu ton dibandingkan prediksi semula,’’ tutur Budi, Rabu (5/7).
BACA JUGA: Konsumen Loyal Beranjak Tua, Industri Jamu Gencar Regenerasi Pasar
Kenaikan itu berimbas terhadap impor produk kimia organik untuk produk petrokimia yang naik sekitar 23,26 persen pada periode Januari–Mei tahun ini (yoy).
Total nilai impor pun mencapai USD 2,56 miliar. Impor produk petrokimia tanah air rata-rata mencapai USD 10 miliar per tahun.
BACA JUGA: Perang Diskon Rusak Industri Kafe Jatim
Sebab, dari kebutuhan industri yang mencapai enam juta ton tahun ini, pasokan polimer (bahan baku petrokimia maupun plastik) baru mencapai angka 3,5 juta ton.
’’Jika dibiarkan terus-menerus, nanti selisih kekurangannya bisa sampai 50 persen,’’ kata Budi.
Saat ini, ada pilihan yang bisa diambil. Yakni, mengembangkan bahan baku indusri petrokimia dari gas maupun batu bara.
’’Sebenarnya sudah ada yang berminat untuk berinvestasi di Bintuni maupun Masela, tetapi baru siap beroperasi pada 2023. Ini terlalu lama. Sebab, kebutuhan kita sudah mendesak,’’ jelasnya.
Apalagi, lanjut Budi, hingga kini belum ada kesepatakan mengenai harga gas di Bintuni maupun Masela.
Di Blok Masela, pemerintah mematok harga gas USD 5,86 per mmbtu.
Angka itu dinilai belum ekonomis bagi industri plastik karena idealnya USD 3 per mmbtu.
’’Ada investor yang mau masuk dengan harga gas USD 3 per mmbtu saja sudah sangat bersyukur. Sebab, prosesnya masih panjang untuk dijadikan bahan baku. Harga bahan baku yang dihasilkan, yakni olefin, harus lebih murah dibandingkan harga polimer, yakni bahan baku plastik yang diolah dari nafta,’’ jelas Budi.
Pilihan pengembangan bahan baku dengan batu bara menjadi opsi yang lebih cepat terealisasi.
Kendala lain yang harus ditempuh industri saat ini untuk pengembangan bahan baku dari batu bara adalah teknologi.
’’Selama ini yang berpengalaman adalah Tiongkok dan kita harus belajar dari sana,’’ ungkapnya.
Sejauh ini, beberapa perusahaan BUMN berniat berinventasi dalam pengembangan bahan baku berbasis batu bara.
Di antaranya, PT Pupuk Kujang di Kalimantan dan PT Pupuk Indonesia Tbk di Bukit Asam. (vir/c15/noe)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Telkom Patok Pendapatan Tumbuh 2 Digit
Redaktur & Reporter : Ragil