jpnn.com - BANYAK yang bilang, asal-usul nama Depok merujuk dari singkatan De Eerste Protestantse Organisatie van Kristenen, terjemahan dari Jemaat Kristen yang pertama. Alibinya, di Depok terdapat perkampungan kristen yang dibangun Cornelis Chastelein, mantan pejabat tinggi VOC. Versi ini tidak benar!
=======
Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network
=======
BACA JUGA: Tole Iskandar dan Kaum Belanda Depok
Cornelis Chastelein mundur dari VOC karena tak cocok dengan Gubernur Jenderal van Outhoorn. Tak lama kemudian dia membeli tanah Depok.
"Sapotong tanah ketjil di saberang timoer soengai besar dari nageri Depok jang koe soedah dapat beli dari orang tjina Tio Tiong Ko menoeroet soerat pembelian tanggal 5 December 1712 dengan harga lima poeloeh ringgit," tulis Cornelis Chastelein dalam testament (surat wasiat)-nya, 13-14 Maret 1714.
BACA JUGA: Revolusi Oktober Di Kampung Belanda Depok
"Djoega sapotong tanah ketjil disabelahnja tanah jang bahroe terseboet, lebarnja dan pandjangnja seperti di njatakan didalam kaart-nja landmeter Cornelis van Heusden tanggal 12 October 1713 dan jang akoe soedah dapat beli, menoeroet soerat pembelian di bawa tangan (onderhands) tanggal 5 Aug. 1713, dari kaptein Bali Oessien dengan harga lima poeloeh ringgit," sambung Chastelein.
Artinya, merujuk catatan tersebut, jauh hari sebelum dibeli Cornelis Chastelein, wilayah itu sudah bernama Depok.
BACA JUGA: Saya Saksikan Peristiwa Gedoran Depok dari Awal sampai Akhir
Menurut Yano Jonathans, penulis buku Depok Tempo Doeloe, Depok berasal dari kata padepokan.
Dia menjelaskan, dahulu kala hutan Depok, Situ Pancoran Mas dan tepian sungai Ciliwung merupakan tempat bersemedi.
"Mereka membuat dangau atau padepokan sederhana untuk bersemedi...saya saat masih kanak-kanak masih sempat menemukan padepokan di tepi Ciliwung," paparnya.
Sedangkan Depok yang akronim singkatan De Eerste Protestantse Organisatie van Kristenen, sebagaimana dijelaskan Yano, muncul sekitar 1950-an di kalangan masyarakat Depok yang memilih pindah dan tinggal di Belanda paska perang kemerdekaan Indonesia (1945-1949).
Budak Merdeka
Untuk menggarap tanah di Depok, Cornelis Chastelein membeli 150 orang budak yang berasal dari pulau Sulawesi, Kalimantan, Bali dan Timor.
Setiap malam hari, para budak diberi pelajaran etika agama Kristen Protestan. Chastelein menjanjikan tanah kepada seluruh pekerjanya dan membebaskan dari perbudakan, apabila bersedia memeluk agama yang dianutnya. Hasilnya, sekitar 120 orang budaknya bersedia menganut agama Kristen.
Setelah memeluk Nasrani, para budak ini dibagi menjadi 12 marga, yakni Jonathans, Laurens, Bacas, Loen, Soedira, Isakh, Samuel, Leander, Joseph, Tholense, Jacob dan Zadokh.
Tentang janji memerdekakan budaknya ini, termaktub dalam testament Cornelis Chastelein yang dibuat di hadapan notaris Nick van Haeften di Batavia 13 Maret 1714.
Di usia ke 57, tepatnya 28 Juni 1714 Chastelein wafat. Surat wasiat berlaku sejak tanggal meninggalnya Cornelis, yakni 28 Juni 1714. Maka oleh orang Depok setiap tanggal 28 Juni diperingati sebagai Depokse Dag atau Hari Depok.
Pribumi Istimewa
Para budak yang sudah merdeka kemudian beranak pinak, berkembang dan membentuk tatanan pemerintahan sendiri; Gemeente Bestuur Depok.
Gemeente Bestuur Depok mulai disusun oleh seorang advocaat dari Batavia, Mr.M.H. Klein pada 1871.
Kemudian, pada 28 Januari 1886 disusunlah Reglement van het Land Depok--semacam undang-undang.
Reglement van het Land Depok mengalami beberapa kali revisi. Pertama tahun 1891, kemudian 14 Januari 1913. Reglement tersebut ditandatangani oleh G. Jonathans sebagai Presiden dan M.F Jonathans sebagai Sekretaris.
Adapun jabatan yang diatur dalam reglement, seorang presiden, seorang sekretaris, seorang bendahara dan dua orang gecomitteerden.
Presiden dipilih berdasarkan pemungutan suara terbanyak setiap 3 tahun sekali. Jadi, jauh sebelum Indonesia menggelar pemilu pertama 1955, orang Depok sudah pemilu untuk memilih presidennya.
Belanda Depok
Pemukiman orang Depok umumnya terbuat dari batu dan beratapkan genteng. Jalan dan sistem saluran air diatur dengan baik, menyerupai kota kecil di Eropa abad pertengahan.
Berbeda dengan wilayah perkampungan di sekitarnya yang berumah panggung dengan tiang bambu betung beratapkan daun kirai.
Cara berpakaian orang Depok sama dengan orang Eropa. Mereka sudah mengenakan sepatu, memakai celana pendek, celana panjang, rok, jas dan lain sebagainya yang bahan kainnya berkelas.
Berbeda dengan orang kampung sekitar yang masih berkaki ayam alias nyeker. Kalaupun pakai alas kaki itupun sandal yang tak semewah sepatu, semisal bakiak yang terbuat dari kayu atau bekas karet ban.
Gaya hidup orang Depok juga serupa dengan orang Eropa. Dalam hal makan, misalnya. Orang Depok makan di meja makan, menggunakan piring dan sendok.
Sedang orang kampung makan bersila di tikar atau di mana saja menggunakan tangan tanpa sendok. Ada yang sudah menggunakan piring, tapi kebanyakan masih beralaskan daun pisang.
Dalam hal pendidikan, orang Depok bersekolah ala Eropa dengan pengantar bahasa Belanda. Sedangkan orang kampung bisa dihitung jumlahnya yang bisa baca tulis.
Pendek cerita, bila dibandingkan dengan orang Depok, struktur kelas orang kampung kalah segala-galanya.
Tak ayal jika orang kampung banyak yang bekerja menjadi jongos di rumah orang Depok.
Dan dalam kehidupan sehari-hari ketimpangan kelas itu nyata adanya. Misal, bila berpapasan dengan orang Depok, orang kampung akan membungkuk sembari mengucapkan tabek tuan, tabek nyonya, tabek nona, atau tabek sinyo.
Bila memakai topi, maka orang kampung akan melepas topinya dan meletakkan di depan dada seraya membungkuk dan berucap; tabek.
Karena gaya hidup tak ubah Belanda itulah orang kampung menyebut mereka Belanda Depok.
Kendati berjuluk Belanda Depok, mereka keturunan suku-suku dari wilayah Sulawesi, Kalimantan, Bali, Maluku dan lainnya.
Hanya saja, orang Depok punya gaya hidup dan berbahasa Belanda, bahkan memiliki pemerintahan sipil sendiri bercorak “republik”.
Pada zaman kolonial Belanda mereka orang-orang pribumi istimewa.
“Makanya, orang-orang menjuluki mereka Belanda Depok. Julukan Belanda Depok itu awalnya ejekan. Mereka marah disebut Belanda Depok,” tutur C Supandi.
Tapi, dalam perkembangannya, orang Depok tak mempermasalahkan julukan tersebut. "Keren kan Belanda Depok. Gara-gara julukan itu kami jadi terkenal," kata Opa Yoti, anak Presiden Depok terakhir.
Ketimpangan sosial inilah, ditambah dengan sentimen anti Belanda yang mencuat menyusul proklamasi 17 Agustus 1945, semua yang berbau Belanda dihancurkan. Termasuk perkampungan Belanda Depok dalam Peristiwa Gedoran Depok, 11 Oktober 1945. (wow/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Hari Ini, 70 Tahun Lalu, Perkampungan Belanda Depok Diserbu Laskar Rakyat
Redaktur : Tim Redaksi