Revolusi Oktober Di Kampung Belanda Depok

Minggu, 11 Oktober 2015 – 12:59 WIB
Halaman 2 koran Penjoeloeh, edisi 25 Oktober 1945 memberitakan Peristiwa Gedoran Depok. Semasa itu selain perang fisik, juga terjadi perang propaganda melalui media massa. Dari caranya memberitakan bisa ditebak, koran ini ada di pihak mana. Foto: Dok.Wenri Wanhar/JPNN.com.

jpnn.com - DI tengah setuasi revolusioner paska Proklamasi ditambah pula kecemburan sosial terhadap kaum tuan tanah Belanda Depok yang diistimewakan pada zaman penjajahan, api dendam pun tersulut. Sentimen anti Belanda mencuat. Semua yang berbau Belanda dihancurkan. 

=======
Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network
=======

BACA JUGA: Saya Saksikan Peristiwa Gedoran Depok dari Awal sampai Akhir

Di bawah komando pimpinan laskar rakyat, orang-orang kampung di sekeliling Depok memerangi bekas penguasa wilayah mereka. Gerombolan tersebut datang berbagai penjuru mengepung Depok Lama.

“Tiap penjuru ada pemimpinnya. Umumnya mereka laskar rakyat,” kata Adung Sakam, warga RT 04/01 Kampung Cipayung, Sukmajaya, Depok. Adung tak ingat berapa umurnya. Yang pasti ketika revolusi 45 dia sudah anak muda.

BACA JUGA: Hari Ini, 70 Tahun Lalu, Perkampungan Belanda Depok Diserbu Laskar Rakyat

Seingat dan seperkenalan Adung, dari Utara; dipimpin Pak Lihun, Haji Tinggi, Pak Amin, Bang Amen.

Dari arah Kidul (Selatan); dipimpin Ki Compreng, Sersan Aning dan Tole Iskandar. 

BACA JUGA: SEBETULNYA INI RAHASIA! Sihir Titiek Puspa

Dari arah Wetan (Timur); Cimanggis, Cipayung, Sidamukti, Ciherang, Cileungsi, Cisalak, Sindangkarsa, Bekasi, Klender dipimpin Kong Kisam, Pak Dimin, Pak Rasim, Ki Maih, Pak Amin, Mayor Oking, Haji Dole.

"Haji Darip kalau gak salah juga ikut. Namanya sih disebut-sebut. Emang sohor banget kan dia," ujar Adung. 

Dari arah Kulon (Barat); Kampung Limo, Cinere, Gandul, Pondok Labu, Pancoran Mas, Pengasinan, Mampang, Grogol dipimpin Ki Mulih, Rinta, Ki Nasik, Ki Sinam, Miskam. 

Dari arah Selatan sebetulnya ada juga Margonda, pimpinan Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI) Bogor. Dan dari arah Barat yang tak kalah sohor ada Pak Daeran, dari kalangan jawara yang kemudian hari berjuluk Mat Depok.

Misar Daeran anak Pak Daeran alias Mat Depok masih ingat detik-detik menjelang laskar rakyat menyerbu perkampungan Belanda Depok. Sebab di depan rumahnyalah orang-orang berkumpul sebelum berangkat ke Depok. 

Rumah Pak Daeran di perempatan Tanah Baru, Beji. Saking sohornya, dulu orang menyebut wilayah itu Prapatan Paderan--akronim dialek dari Pak Daeran. Kini, wilayah itu disebut Perempatan Tugu Gong Sibolong. 

Waktu itu Misar Daeran masih remaja tanggung. Meski bapaknya salah seorang pemimpin, Misar hanya ikut-ikutan. Tak tahu banyak. Yang dia tahu, sejak malam orang-orang mulai berdatangan ke perempatan depan rumahnya.

"Setelah ramai paginya langsung ke Depok," kenangnya saat dijumpai di Kober Tanah Baru, tempo hari.  

Belum Merdeka

Cornelis Josef Jonathans. Dia punya postur tinggi semampai. Rambutnya tak sehelaipun berwarna hitam. Memutih dimakan usia. Guratan garis mukanya mengisyaratkan asam garam kehidupan yang telah dilakoni. Laki-laki kelahiran Depok, 14 April 1922 tersebut anak kelima Johanes Matheis Jonathans, Presiden Depok terakhir. 

Opa Yoti--demikian dia disapa--telah berpulang. Sebelum itu saya sempat mendulang cerita dari dirinya. 

“1945 belum merdeka!” tandas Opa Yoti di kediamannya, Jl. Pemuda, Depok. “Peristiwanya dadakan. Tiba-tiba Jepang menyerah setelah Hiroshima dan Nagasaki dibom. Jadi pemerintahan di sini kosong. Saat itu tidak ada hukum.”

Di usia senja Opa Yoti tidak pikun. Dia punya hobi membaca. Sewaktu saya bertandang ke rumahnya, Opa Yoti sedang asyik membaca koran. Untuk aktivitas yang satu ini dia dibantu kacamata. Sejumlah buku bertumpuk di ruang tamunya. 

Alumni Europese Lachre School (sekarang SDN 1 Depok di Jalan Pemuda) membeberkan peristiwa yang terjadi sesaat setelah Proklamasi 17 Agustus 1945 di Depok. Cukup detail.

“Hari itu tanggal 11 Oktober 1945,” Opa memulai cerita. Masih pagi. Sinar mentari belum terik. Tiba-tiba saja terjadi kegaduhan. Sekelompok orang berbaju hitam-hitam memasuki perkampungan Belanda Depok. 

“Pagi itu, sekonyong-konyong ada yang ngegedor,” ungkap Opa Yoti mengenang sedikit banyak pengalaman pahit hidupnya. 

“Orang-orang datang dari mana-mana membawa golok. Mereka masuk ke dalam rumah. Kita kaget dan tidak pernah menyangka. Semua barang-barang dihancurkan, ditebas pakai golok. Kita tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya menyerah karena dikalungin golok di leher. Mundur tak bisa maju tak bisa.”

Garis Depan

Samin Sanan, warga RT 03/05 Kelurahan Tanah Baru, Beji juga belum melupakan peristiwa bersejarah itu. Dia mengaku ada di garis depan saat Peristiwa Gedoran. 

“Sayalah orang yang membongkar gembok gerbang gedong padi (gemeente bestuur--red). Saya tebas gembok besar itu pakai golok. Satu tebasan…saaaap! Putus itu,” kenangnya seraya memperagakan sedikit gerakan silat.

Malam harinya, orang-orang yang melakukan penyerangan berkeliaran di jalan-jalan di sekitar wilayah Depok, terutama di Kerkstraat (sekarang Jl. Pemuda), pusat Kota Depok tempo dulu. 

“Sewaktu-waktu mereka membunyi-bunyikan tiang listrik, pertanda kode sesama mereka. Saya tak tahu apa itu artinya. Itu malam paling gawat,” kata Opa Yoti.

Terkait bunyi-bunyian yang dimaksud Opa Yoti, Budayawan Depok, C. Supandi menjelaskan maknanya. “Kalau bunyi kentongan tiga kali tiga kali itu namanya titir, artinya tanda kalau telah terjadi pembunuhan. Kalau bunyinya saling sahut-sahutan itu pertanda sedang ada yang dikejar atau siap siaga.”

Malam itu, seluruh anggota keluarga Presiden Depok, termasuk Opa Yopi yang kala itu berusia 23 tahun tidak bermalam di rumah. Mereka bersembunyi di sawah dan kebon belakang rumah. Hal serupa juga dilakukan kaum Belanda Depok lainnya.

Benar saja, malam itu beberapa orang yang bermalam di rumah tewas terbunuh. Di antaranya, keluarga De Bruin, peranakan Indo yang rumahnya di depan Bioskop Misbar Depok (sekarang Puri Agung). Lalu Augus Soedira yang tinggal di dekat Lapangan Kamboja.

Esok harinya, 12 Oktober 1945 pagi kaum Belanda Depok diserang lagi oleh laskar rakyat. “Malam itu kita tidak ada yang tidur. Kita ketakutan bukan main. Pagi harinya pulang ke rumah. Pagi itu juga mereka menyerang lagi,” kenang Opa Yoti.

Seluruh kaum Belanda Depok dipaksa keluar rumah dibawah todongan pistol dan golok. “Waktu digiring sebagai tawanan, kami disuruh memegang bendera merah putih dengan pakaian seadanya. Ada yang pakai kolor doang karena tidak sempat pakai baju.”--bersambung (wow/jpnn) 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kisah Bung Karno Diayun Manap Sofiano


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler