Saya Saksikan Peristiwa Gedoran Depok dari Awal sampai Akhir

Minggu, 11 Oktober 2015 – 10:56 WIB
Jannete Tholense. Foto: Wenri Wanhar/JPNN.com.

jpnn.com - BELUM genap dua bulan umur proklamasi, persisnya 11 Oktober 1945, meletus Peristiwa Gedoran Depok. 

Apa yang sebetulnya terjadi saat Peristiwa Gedoran Depok dari kacamata orang Depok, Wenri Wanhar mewawancarai Jannete Tholense, seorang Oma berparas bule. Tholense ialah salah satu marga orang Depok. Berikut cuplikan wawancaranya:

BACA JUGA: Hari Ini, 70 Tahun Lalu, Perkampungan Belanda Depok Diserbu Laskar Rakyat

Tante apa kabar?

Baik.

BACA JUGA: SEBETULNYA INI RAHASIA! Sihir Titiek Puspa

Boleh tahu berapa usia tante?

Saya lahir di Depok, bulan Agustus 1936. 

BACA JUGA: Kisah Bung Karno Diayun Manap Sofiano

Apa yang terjadi di Depok saat Revolusi 1945?

Saya waktu itu berumur 9 tahun. Saya alami semua. Dari awal gedoran sampai akhir. Ceritanya seram sekali.

Bagaimana ceritanya?

Sebelum menceritakan tentang peristiwa gedoran, saya ingin sedikit menceritakan kisah sewaktu Jepang masuk. Jadi, sebenarnya kami sekeluarga tinggal di Bandung, sebab papa saya bekerja di Bandung sebagai Polisi Perairan dan Lalu Lintas. 

Kami tinggal tak begitu jauh dari Jalan Asia Afrika Bandung sekarang ini.  Tahun 1942, Jepang masuk menyerbu Bandung. Saat itu saya sekolah taman kanak-kanak. Sewaktu Jepang menyerang saya di dalam kelas. Semua kabur, lari kemana saja mencari selamat. Saya tidak lari, tetap di kelas sambil mengintip keadaan di luar.

Perang benar-benar perang. Kapal-kapal Jepang terbang memborbardir seluruh Kota Bandung. Mereka menembak membabi buta. Saya menangis. 

Lalu serangan Jepang tiba-tiba berhenti. Saya dijemput oleh kepala sekolah dari dalam kelas lalu dibawa sembunyi ke dalam lobang. Ternyata saat itu hanya saya pelajar yang masih tertinggal. Semua sudah pulang.

Lalu saya diantar guru pulang ke rumah naik sepeda. Saya diboncengin. Tiba-tiba kapal terbang Jepang menembak lagi. Kami sembunyi di bawah pohon tanjung besar. Begitu ada kesempatan guru kembali mengayuh sepeda. 

Eh, tiba-tiba ada tembakan lagi. Kami sembunyi lagi.  Saya masih ingat, kami sembunyi sebanyak tiga kali selama perjalanan dari sekolah ke rumah.

Sesampai di rumah cuma ada ibu. Semua hari itu bingung. Bandung sudah dikepung. Saya lihat semua tentara ditangkap dimasukkan truk. Di depan rumah kami ada pemotongan kayu, balok-balok dan  papan. Tempat itu diambil alih oleh Jepang. 

Di sana saya melihat orang tangannya diikat ke belakang dan dicambuk. Entah siapa orang-orang itu. Mereka teriak-teriak. Saya sampai menangis melihatnya. 

Di depan rumah ada pohon mahoni. Saya melihat orang disiksa Jepang itu dari bawah pohon mahoni. Mereka dijemur tengah hari bolong. Begitu jam 12 siang mereka dipaksa melihat ke arah matahari.

Tahun 1944, karena situasi kacau, papa mengajak kami pulang ke Depok. Bapak punya teman seorang dokter. Dokter itu mengatakan kepada Jepang kalau papa saya kena penyakit TBC. Nah, Jepang takut sama penyakit, jadi papa dipulangkan ke Depok, kampung halaman kami.

Situasi di Depok saat itu seperti apa?

Di Depok hidup kami mewah sekali. Namanya juga kampung halaman. Sawah dan kebun luas. Dulu itu, sekali panen hasilnya bisa untuk dinikmati selama dua tahun, bisa Anda bayangkan betapa mewahnya. 

Hasil panen itu biasanya dibagi-bagi kepada saudara-saudara dan karyawan di Lio (pabrik genteng dan batu bata milik orang-orang Depok—sekarang lokasinya jadi Setu Rawa Basar di Kampung Lio, dekat Stasiun Depok Baru--red).

Nyaman sekali ya, apakah di Depok tidak ada Jepang?

Jepang ada di Depok, tapi situasinya tidak seperti di Bandung. Di sini lebih enak dan lebih mewah. Situasi di Depok menjadi kacau pada bulan Oktober 1945. Itulah gedoran!

Bagaimana kekacauannya?   

Di bulan Oktober tahun 45 itu dua kakak saya yang bekerja di Jakarta tiba-tiba pulang cepat. Mereka naik kereta. 

Sesampai di rumah mereka buru-buru temui mama dan berkata, “Ma, itu pasukan ekstrimis sudah sampai Lenteng Agung,” kata Frank Tholense, kakak saya yang kini tinggal di Belanda. Frank ini istrinya orang Belanda.

Ya, itu Oktober. Saya masih ingat betul karena tanggal 10 Oktober mama saya ulang tahun. Tanggal 9 kita ambil minyak di kebun kelapa untuk siap-siap rayakan ulang tahun mama. 

Kakak saya ambil minyak dan saya petik kembang matahari. Ayam sudah dikurung untuk dipotong. Saat itu sedang musim tanam padi.

Tanggal 9 Oktober itu semua keperluan untuk merayakan ulang tahun mama dipersiapkan. Biasanya kami makan-makan pukul 12 malam. 

Sore itu, begitu mama pulang dari sawah dan mau duduk makan. Mama kalau ke sawah selalu pakai kerudung biar tidak panas. Kakak saya juga baru pulang dari mengambil minyak. 

Seketika itu ada yang datang dan menghardik. “Ini rumah siapa?”

“Ini rumah saya,” jawab kakak yang baru sampai di pekarangan.

Orang itu mengambil minyak yang dibawa kakak saya dan botol-botol minyak itu dipecahkan. Lalu mereka itu masuk, kami sekeluarga lari semua. Pagar rumah kami tingginya dua meter. Semua bisa lompat menyelamatkan diri, sedangkan saya tertinggal sendirian. Melihat saya tertinggal, ayah lompat pagar lagi, mengambil dan melemparkan saya ke balik pagar. 

Lalu kami kabur ke Jalan Bungur. Hari itu semua barang-barang di rumah dirampok habis. Beras segudang habis diambil. Sampai dandang perabotan semua diambil. Yang tidak bisa dibawa, mereka bakar. Beling pecahan kaca ditabur di sepanjang jalanan.

Kita sembunyi sampai sore. Menjelang maghrib ada polisi datang naik sepeda motor sambil teriak-teriak, “Situasi sudah aman. Ayo…pulang ke rumah masing-masing!”

Tante bersama keluarga pulang ke rumah atau tetap bersembunyi?

Kami pulang ke rumah. Rumah tua kami dulu itu di pinggir Jalan Margonda sekarang ini. Kini rumah itu jadi kantor BRI. Di rumah itu yang tinggal Oma dan Opa. Kalau papa dan mama saya rumahnya di sampingnya. 

Sesampai di rumah semua habis. Baju hanya yang menempel di badan. Oma kasih kain buat mama saya yang besok berulang tahun. Beras yang tercecer kami pungut dan terkumpul dua liter. Malam itu mama memasak. Kita rayakan ulang tahunnya.

Tanggal 10 Oktober di hari ulang tahunnya mama tidak terjadi apa-apa. Karena hari itu kita pikir sudah aman, maka kasur dijahit lagi dan dipakaikan alas lagi.

Eh, besoknya, tanggal 11 Oktober 1945 seluruh Depok dihancurkan. Kita mengungsi di rumah ipar saya di Jalan Bungur. 

Sebelum pergi kabur mengungsi itu kebetulan saya yang keluar rumah belakangan. Waktu itu saya lihat opa disambit dengan batu besar. Tapi opa tidak kabur. Opa hanya menghindar. Batunya masih saya simpan dan dijadikan pondasi waktu bangun rumah pertama sesudah situasi benar-benar aman.

Di Jalan Bungur, kita kumpul di belakang rumah. Lalu datang pasukan. Semua disuruh buka baju. Yang laki-laki tinggal pakai celana kolor dan yang perempuan tinggal pakaian dalaman. Kami semua digiring ke stasiun (sekarang stasiun Depok Lama--red).

Bagaimana rombongan itu memperlakukan orang-orang Depok?

Hari itu, sore sekitar jam tiga. Di stasiun saya lihat ada yang rambutnya ditarik, matanya dicolok dan dilempar ke dalam sumur. 

Saat itu juga ketika tahanan dipisahkan antara laki-laki dan perempuan, Opa Muk mengamuk. Opa Muk ini orangnya besar. Badannya gemuk. Dia tidak mau ikut sama rombongan laki-laki yang dipisah dan dibawa ke Paledang, Bogor.

Akibatnya kepala Opa Muk dipukul pakai linggis. Opa Muk jatuh dan berusaha mengambil linggis itu. Namun Opa Muk malah kena hantam lagi di bagian lehernya, sehingga jatuh tak sadarkan diri.

Setelah rombongan laki-laki diberangkatkan ke Paledang naik kereta, kami yang rombongan anak-anak dan perempuan dikumpulkan di sekolah teknologi di belakang Gereja Pasundan, dekat stasiun (kini sekolah itu menjadi SD).

Esok harinya kami dibawa ke Gementee Bestuur atau gedung perkumpulan atau gedung padi. Di sana sudah kotor sekali. Semua sudah berantakan. 

Mama saya ambil karung di gudang garam. Gudang garam ini sebutan untuk tangsi atau penjara yang lokasinya persis di belakang gedung perkumpulan. Di sana ada emperan, saya tidur di sana, kakak perempuan saya sakit muntah terus. Kayaknya dia kena sakit paru-paru.

Berapa lama dan apa saja yang terjadi selama di sana?

Di sana sekitar tiga atau empat hari, saya tidak ingat pastinya. Yang jelas kurang lebih satu minggulah. Tawanan ada yang di gedong kumpulan ada yang di gudang garam. Kalau keluarga saya di gudang garam.  Dua lokasi itu bersebelahan.

Sewaktu di gudang garam, apa saja yang terjadi?

Rutinitas selama di sana, pagi pukul enam bel berbunyi, teng...teng..teng! Setelah itu kami bisa keluar menyiapkan makanan sendiri. Ada yang menumbuk beras dan ada yang langsung memasak.

Masaknya pakai kayu kering dan ranting. Sebagai anak kecil saya kebagian mencari ranting dan daun kering.  Memasaknya di bawah pohon pisang. Waktu itu masakan belum matang, bel sudah berbunyi lagi...teng...teng...teng. Semua terpaksa masuk lagi deh.  

Jadi itu masakan dibungkus dalam keadaan belum matang dan dibawa ke dalam. Lalu di dalam dimasak lagi. Matengnya bisa-bisa saat hari sudah sore. Dan kalau sudah matang, makanan dibagi rata sedikit-sedikit.

Setiap hari seperti itu?

Tidak juga. Suatu hari ada orang Jerman, namanya Nyonya Hipermolen, dia potong babi untuk dibagikan kepada kami semua. Nyonya itu juga membagi kami satu kaleng susu.

Nyonya Hipermolen ini siapa?

Orang yang tinggal di Depok juga.

Selama di sana apakah ada penyiksaan?

Karena banyak yang menangis, ada penjaga yang teriak, “Diam! Atau mau dibakar hidup-hidup!?” Saya tidak tahu apakah itu hanya gertakan atau benar-benar akan dilakukan. Tapi, suatu malam saya pernah menemukan drum minyak tanah di sudut belakang gudang garam. Saya takut itu minyak untuk membakar kami.  

Lalu saya ceritakan kepada mama. Dan mama menceritakan lagi kepada yang lainnya. Kami semua berdoa terus agar tidak terjadi hal-hal yang menakutkan. 

Saat itu mama berpesan kepada saya, ”Kalau ada apa-apa, lari terus ke arah Timur sampai ketemu Sungai Ciliwung.”

Apakah ancaman dibakar hidup-hidup itu terjadi?

Tidak. Suatu hari sekitar jam tiga sore, sehabis memasak datang pasukan NICA. Kami diselamatkan NICA. Mereka itu dari berbagai negara. Ada yang Inggris ada juga yang India. Kalau pasukan yang dari India ciri-cirinya kelihatan dari tampang dan pakaiannya. Mereka memakai ikat kepala ubel-ubel. 

Oleh pasukan itu kami dimasukkan ke dalam truk. Ada dua truk yang menjemput kami. Truk melaju dan berhenti mampir di daerah Simpangan Depok. Di sana ada kebun jeruk, kami dikasih buah jeruk dari kebun. Makan jeruk itu rasanya enaaaaak sekali. Sebab sudah beberapa hari makannya tidak jelas.

Berapa lama di Simpangan Depok?

Tidak lama. Hari itu juga, menjelang malam datang lagi dua truk. Yang sakit dibawa ke Jakarta, termasuk mama saya. Kakak saya yang perempuan juga dibawa ke Jakarta karena sakit. Mama sebenarnya tidak sakit, tapi karena dia pakai kerudung dikira orang sakit. Saya ikut ke Bogor, sama-sama kakak. Kalau papa sudah duluan ke Peladang dibawa kereta api. 

Dari Simpangan Depok malam itu kami dibawa ke Kota Paris, Bogor. Di dalam perjalanan rombongan kami diserang di beberapa titik. Terjadi tembak menembak, dua orang dari kami mati tertembak. Ada juga anak-anak yang kena tembak tapi tidak tewas.

Siapa yang menyerang?

Saya tidak tahu pasti. Kata orang-orang mereka yang menyerang itu dari Barisan Pelopor. Ada juga yang bilang BKR.

Hari-hari itu sungguh menegangkan. Sekitar sebulan kami mengungsi di Kota Paris, dibawah lindungan pasukan NICA. Di Bulan November kami dibawa pindah ke Kedung Halang. Di Kedung Halang situasi jauh lebih enak dibanding Kota Paris. Kita dapat makan tiga kali sehari. Dapat uang jajan. 

Selain bisa makan enak dan tidur nyenyak, kita juga dikasih pakaian. Padahal sebelumnya, sewaktu di Kota Paris, baju hanya satu yang menempel di badan. Kalau mau nyuci, bajunya ganti-gantian sama teman.

Pokoknya di Kedung Halang sudah mendingan. Makan tiga kali sehari. Pagi bubur dan roti. Siang makan nasi. Malam makan lagi. Bahkan di sana kami yang anak-anak mulai sekolah lagi. Kami dikasih sepatu buatan Amerika dan Inggris, yang kalau dipakai puluhan tahun tidak rusak.

Oiya, bagaimana dengan nasib tawanan laki-laki yang dibawa lebih dahulu ke Paledang? Apakah Tante tahu?

Waktu kami dibawa ke Kota Paris, yang di Paledang juga dikumpulin di sana. Jadi kami orang Depok kembali berkumpul di Kota Paris. Dan selanjutnya berkumpul lagi di Kedung Halang.

Sampai tahun berapa di Kedung Halang?

Saat Natal tahun 1946, kalau saya tidak salah ingat, papa pindah ke Jakarta karena dapat kerjaan di Jakarta. Kami sekeluarga ikut ke Jakarta. Di Jakarta kami tinggal di camp ADEK, lokasinya itu di ujung pertemuan Jalan Tambak dan Pegangsaan. Di sana dapat makan enak. Toiletnya juga bersih.

Tahun 1948, lagi-lagi kalau saya tidak salah ingat, papa pensiun dan mengajak kami sekeluarga pulang ke Depok. 

Sebelum pindah ke Depok, papa terlebih dahulu sudah melihat situasi di sana. Sesampai di Depok kami gotong royong merapikan rumah yang sudah babak belur. Atapnya dibenerin lagi, jendala dibenerin lagi.

Saat keluarga Tante berangkat ke Jakarta dari Kedung Halang, apakah hal yang sama juga dilakukan orang Depok lainnya?  

Tidak. Hanya beberapa keluarga saja yang ke Jakarta. Banyak yang masih menetap di Kedung Halang.

Apakah keluarga Tante yang pertama pulang ke Depok di tahun 1948 itu?

Saya kurang ingat pasti tahunnya apakah 1948 atau 1949. Tapi, bukan keluarga kami yang pertama pulang ke Depok. Sudah ada beberapa keluarga, meski belum banyak.  

Bagaimana keadaan Depok saat itu?

Ya...orang-orang mulai membangun lagi. Mulai menanam padi lagi. Dulu daerah sini masih sawah semua. Dari sini bisa melihat orang yang berjalan kaki di tempat yang sekarang jadi Jalan Arif Rahman Hakim.

Saat itulah keluarga kami membangun rumah di sini. Di tempat ini. Inilah rumah pertama yang dibangun paska hura-hara gedoran (di Jalan Raya Margonda, samping Balaikota Depok--red). 

Setelah rumah ini jadi, orang-orang mulai berani membangun rumah lagi. Dan batu besar yang pernah dilemparkan orang kepada opa saya dijadikan pondasi. (wow/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... King...I am Liem Swie King (3/habis)


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler