Pimpinan Ponpes yang Cabuli Puluhan Santri Harus Dapat Hukuman Terberat

Kamis, 25 Mei 2023 – 00:32 WIB
Deputi Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA Nahar. ANTARA/ HO-Kemen PPPA

jpnn.com, JAKARTA - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) meminta LMI (43) dan HSN (50), pimpinan pondok pesantren di Kecamatan Sikur, Lombok Timur yang menjadi tersangka kekerasan seksual untuk diberi hukuman terberat.

"Berpedoman pada UU Nomor 17 Tahun 2016 dan UU Nomor 12 Tahun 2012, KemenPPPA mendorong aparat penegak hukum agar memproses kasus ini sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan hak-hak korban dapat dipenuhi," ujar Deputi Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA Nahar dikutip dari Antara, Rabu (24/5).

BACA JUGA: Santriwati Korban Pencabulan Oknum Pimpinan Ponpes di NTB Bakal Dilindungi LPSK

LMI dan HSN diduga telah melakukan pencabulan terhadap 41 santri. Tiga korban di antaranya telah membuat laporan polisi.

Saat ini, kedua pimpinan ponpes itu telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh Polres Lombok Timur.

BACA JUGA: Diduga Cabuli Santri, Dua Pimpinan Ponpes di Lombok Diciduk Polisi

Nahar menegaskan kasus dengan modus di antaranya 'janji masuk surga' melalui 'pengajian seks' ini merupakan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, yang tidak dapat ditoleransi dan patut dihukum berat.

Bahkan, pelaku dengan keji melakukan kekerasan seksual persetubuhan dengan korban yang berusia 16 hingga 17 tahun.

BACA JUGA: Tersangka Pencabulan Santriwati, Pimpinan Ponpes di Lombok Timur Mengaku Difitnah

"Pelaku adalah pendidik di bidang keagamaan yang seharusnya melindungi anak dan menuntun anak pada perbuatan yang baik dan benar. Dalam kasus ini, pelaku justru melanggarnya dengan melakukan kekerasan seksual kepada anak didiknya," kata Nahar.

Nahar mengemukakan bila perbuatan tersangka memenuhi unsur Pasal 76D UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pelaku benar sebagai pengasuh atau pendidik anak, dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan, korbannya lebih dari satu orang, dan perbuatannya dilakukan berulang.

"Maka pelaku terancam sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 81 Ayat (1), (2), (3), (5), (6), dan (7) UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang," beber dia.

Hukuman maksimal yang menanti tersangka dapat berupa pidana mati, seumur hidup, dan atau dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku, serta diberikan tindakan kebiri, dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.

KemenPPPA juga berharap penegakan hukum kasus ini juga menggunakan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, yang mana hak-hak korban atas penanganan, pelindungan, dan pemulihan juga dapat diberikan, termasuk hak untuk mendapatkan restitusi sebagai korban kekerasan seksual. (antara/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Sepakat dengan Kapolri, Sahroni: Santri Harus Terdepan Menangkis Hoaks di Tahun Politik


Redaktur & Reporter : Elfany Kurniawan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler