Pipanisasi Migas Sarat Mark Up

Kamis, 28 Agustus 2008 – 20:37 WIB

JAKARTA - Pengamat keuangan dan perbankan Deni Daruri mengungkapkan adanya praktik korupsi pada biaya eksploitasi migasMenurutnya, korupsi itu dilakukan melalui mark up biaya pada proses produksi yang mencapai sebesar 59 persen.

jpnn.com - "Dari jumlah itu, 45 persen untuk direct production cost, yakni pengadaan pipa jenis OCTG

BACA JUGA: Agung : BK Periksa Anggota DPR Bermasalah

Dalam pengadaan pipa ini terjadi mark up biaya mencapai 24 persen dan merugikan negara hingga 50 persen," ungkap Deni dalam diskusi bertajuk "Audit BPK dan Kinerja Panitia Angket" di Jakarta, Kamis (28/8),

Dia menyebutkan, kebanyakan tender pipa tersebut dikuasi oleh 2 perusahaan besar, yang salah satunya milik pengusaha berada di pemerintahan

"Kedua perusahaan itu pemegang KSO (Kerjasama Operasi) selama puluhan tahun pengiriman pipa dan selau mengalahkan 12 perusahaan lain," ujar Deni.

Yang lebih aneh, kedua perusahaan itu meski punya pabrik pipa namun sengaja memberikan kontraktor asing ikut pengadaan pipa melalui impor

BACA JUGA: 2009, Mitan Turun 49 Persen

"Harga impor pipa inilah yang di mark up," paparnya.

Deni menambahkan, bagi kontraktor asing berapapun pipa yang dibeli tidak akan menjadi masalah karena uang yang dikeluarkan akan diganti oleh pemerintah

"Untuk beli pipa itu ditanggung perusahaan dulu, lalu diganti pemerintah oleh cost recoveri tadi," katanya.

Karananya Deni mempertanyakan keberanian BPK mengaudit dua perusahan tersebut

BACA JUGA: Pertamina dan ESDM Perlu Digeledah

"Karena pemiliknya sekarang menjadi pejabat negaraYang lebih mengherankan kenapa Pertamina mendiamkan saja peristiwa itu selama puluhan tahun," tegasnya tanpa menyebut orangnya.

Sementara staf ahli BPK bidang migas Aep Saefudin justru meragukan data yang digunakan DeniApe mengatakan, penggunaan pipa jenis OCTG tidak hanya di sumur-sumur migas yang telah berproduksi saja, tetapi juga di sumur-sumur yang masih di alam terhadap pencarian"Kalau masih dalam pencarian, biaya belum menjadi tanggu ngan negara, tepi masih menjadi tanggungjawab kontraktor," ucapnya.

Aep menambahkan, saat ini terdapat 114 kontrak pertambanganHanya saja hanya sekitar 50 perusahaan saja yang benar-benar aktif beroperasiDari jumlah itu, kata Aep, karena keterbatasan BPK hanya mampu enam kontrak pertambangan saja.

"Dari enam kontrak karya yang audi dan diselesaikan BPK, banyak ditemukan kejanggalanEnam kontrak karya itu ditangani perusahaan-perusahaan besar,' beber Aep.(ara)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Harga Gas Epiji Naik, DPR Naik Pitam


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler