JAKARTA - Sikap publik yang menerima politik uang mengejutkan berbagai pihakMisalnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai, hasil survei oleh Universitas Paramadina dan Pride Indonesia itu tidak serta-merta disimpulkan bahwa publik memang merestui adanya money politics
BACA JUGA: Rumah Aspirasi Masuk Laci
Situasi sosial dan kualitas politik, terutama dalam pilkada, justru dianggap memicu politik uang itu."Realitas sekarang, masih banyak masyarakat yang miskin
BACA JUGA: PAN Setuju Dinaikkan, PPP-PKB Minta Dipertahankan
Apa masyarakat yang disalahkan?" kata Febri Diansyah, peneliti ICW, di gedung DPR, Jakarta, kemarin (11/8)BACA JUGA: Besok, MK Putuskan Enam Sengketa Pemilukada
Namun, sumber masalah sebenarnya terletak pada proses seleksi dan rekrutmen parpolParpol dan pasangan calon memiliki motif untuk bisa memenangi sebuah pertarungan pilkadaPolitik uang menjadi jalan paling praktis.Bak gayung bersambut, masyarakat yang rata-rata berada di kalangan menengah ke bawah menjadi korban politik uang itu"Tidak bisa (politik uang) ditimpakan kepada masyarakat," tegasnya.
Sebagai lembaga, sudah saatnya parpol memiliki program jangka panjangPerekrutan kader, dalam posisi apa pun, seharusnya juga diimbangi dengan pendidikan politik kepada masyarakatPenyelenggara pemilu juga dituntut bisa menjadi juri yang adil dalam gelaran pemilu"Keseriusan partai, KPU, maupun pengawas pemilu hampir tidak terlihat," ungkapnya.
Anggota Komisi II DPR Arif Wibowo mengakui bahwa praktik politik uang merupakan bentuk kegagalan partaiItu sudah menjadi catatan yang terus dievaluasiMunculnya politik uang disebabkan adanya kecenderungan pragmatisme dari internal partai"Yang memulai memang elite (politik) sendiri," katanya di tempat terpisah.
Jika dikatakan hal tersebut terjadi karena gagalnya kaderisasi dan pendidikan politik, Arif menyatakan faktor itu telah terbantahkanKenyataannya, jika melihat parpol, publik saat ini selalu beranggapan apatisSistem demokrasi yang coba ditawarkan partai pun menjadi tidak berguna"Itu berulang terus-menerusSecara otomatis, ya sudah, yang konkret saja," tegasnya mengilustrasikanMeski begitu, dia sependapat bahwa publik tidak boleh disalahkan atas situasi tersebut.
Lantas, solusi apa yang ditawarkan? Arif menyatakan, cita-cita untuk membuat pemilu yang murah harus segera diwujudkanPraktik politik uang, yang bermuara pada korupsi, muncul karena biaya pemilu yang tinggiKarena itu, konsep penggabungan pemilu harus segera diwujudkan"Pemilu nanti hanya terjadi dua kali, pemilu nasional dan pilkada serentak," saran dia.
Semua dana pilkada tersebut, kata dia, harus ditanggung sepenuhnya oleh APBNUsul itu memang baru sebatas wacanaNamun, ide tersebut merupakan salah satu terobosan pemilu dengan biaya murah"Regulasi harus diperbaikiSebab, itu akan mengulangi pemilu berbiaya tinggi," ujarnya.
Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum juga mengakui bahwa banyak hal yang perlu diperbaiki dalam pelaksanaan pilkadaMasih terbuka lebarnya peluang politik uang dalam pesta demokrasi di daerah tidak bisa terus dibiarkan"Politik uang tidak hanya destruktif, tapi juga melukai semangat demokrasi," ungkapnya.
Untuk menggeser politik uang tersebut, Anas mengajak seluruh pihak menganut pragmatisme positif dalam berpolitikPragmatisme positif itu memastikan agenda, ide, gagasan, serta program aksi agar dapat terlaksana demi kesejahteraan rakyatBukan demi kepentingan pribadi sebagaimana pragmatisme negatif"Semua elite politik harus berkomitmen dulu memerangi politik uang, kemudian ditelurkan dalam bentuk kebijakan dan lainnya," tegasnya(bay/c5/dyn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... MK Tolak Sengketa Pilkada Bengkulu
Redaktur : Tim Redaksi