jpnn.com, JAKARTA - Mantan anggota Komisi II DPR Khatibul Umam Wiranu juga membantah dirinya menerima USD 400 ribu uang korupsi e-KTP.
Umam menyatakan, justru dirinya adalah salah satu anggota Komisi II yang menolak besaran anggaran e-KTP yang mencapai Rp 5,9 triliun.
BACA JUGA: Disebut Terima Rp 20 M, Marzuki Alie Merasa Terhina
“Saya setuju dengan pentingnya Single Identity Number (NIK tunggal), namun saya tidak mau menandatangani persetujuan Komisi II,” kata Khatibul.
Menurut Khatibul, dirinya pada tahun 2012 dipindah dari Komisi II ke Komisi III.
BACA JUGA: Ical Ingatkan Kader Golkar Tak Langsung Dorong Munaslub
Lalu, pada akhir tahun 2013 kembali di Komisi II sebagai Wakil Ketua. Saat kembali, proyek e-KTP sudah selesai.
“Saya sungguh kaget dengan munculnya nama saya dalam dakwaan kasus e-KTP. Marwah martabat saya, keluarga, teman dirusak. Jahat banget yang membuat skenario dan cerita dana 400 ribu dollar itu,” kata politikus Partai Demokrat itu.
BACA JUGA: KPK Buktikan Mobil Jafar Hafsah Berasal dari Duit E-KTP
Menurut Khatibul, dirinya sedang mencari tahu siapa yang mencatut namanya untuk disangkut pautkan dengan suap e-KTP.
Dia meyakini ada pihak tertentu yang menggunakan namanya untuk kepentingannya.
“Saya sudah jelaskan kepada penyidik kenapa menolak tanda tangan, sebab ada yang janggal pada harga-harga di beberapa titik,” kata Khafidul.
Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto telah memberikan bantahan tidak menerima sejumlah uang dalam pengadaan e-KTP.
Namun, tak seperti Marzuki Alie yang lapor ke Bareskrim, Novanto belum mengambil keputusan apakah akan mengajukan gugatan balik melalui kepolisian.
“Ya, saya serahkan semua ke proses hukum. Kita lihat saja nanti,” kata Novanto di kantor DPP Partai Golkar.
Novanto menyatakan, dirinya ingin mengikuti proses persidangan e-KTP.
Jika pada saatnya nanti, pengadilan ingin meminta keterangan dirinya, Novanto mengaku siap untuk menjelaskan. “Pada saatnya nanti, apabila diminta saya siap hadir,” ujarnya.
Serangan balik elit parpol itu membuat para saksi mega korupsi e-KTP mencari perlindungan.
Para saksi yang bekerja di salah satu perusahaan penyedia barang/jasa (rekanan) e-KTP, misalnya.
Mereka khawatir bila kesaksian yang akan diungkapkan dalam persidangan berdampak pada karir pekerjaan dan keselamatan pribadi serta keluarga.
”Takut kalau dimutasi atau dipecat,” kata Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Lili Pintauli Siregar kepada Jawa Pos, kemarin.
Sebagai catatan, di surat dakwaan korupsi e-KTP juga menyeret sejumlah korporasi. Uang haram miliaran rupiah disebut-sebut mengalir ke perusahaan-perusahaan rekanan itu.
Lili mengatakan, pada 2013 lalu pihaknya juga mendampingi seorang pimpinan perusahaan rekanan e-KTP yang berniat mengungkap korupsi berjamaah dalam proyek pengadaan tahun anggaran (TA) 2011-2013 tersebut.
Pihaknya pun memberikan perlindungan kepada pihak perusahaan meski tidak secara resmi. ”Dulu perusahaan itu sangat tahu persis (korupsi e-KTP),” jelasnya.
LPSK mengimbau para saksi e-KTP segera mengajukan permohonan perlindungan.
Sebab, langkah itu penting untuk melindungi hak saksi dari serangan para aktor politik atau pihak-pihak lain yang merasa dirugikan dengan pengusutan kasus dengan kerugian keuangan negara Rp 2,3 triliun itu.
”Saksi tidak bisa digugat secara pidana atau pun perdata,” terangnya.
Terkait serangan elit partai politik (parpol) yang melaporkan kesaksian e-KTP, Lili berharap penegak hukum jeli. Laporan itu mesti melihat ketentuan dan hak para saksi saat memberikan keterangan suatu kasus.
”Tidak serta merta langsung ditindaklanjuti,” ungkapnya.
Lili pun berharap para saksi tetap konsisten memberikan keterangan pada sidang lanjutan e-KTP pada Kamis (16/3). (tyo/idr/bay)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Fahri Hamzah Dapat Info dari BPK soal e-KTP, Ternyata..
Redaktur & Reporter : Soetomo