Saat masih menjabat sebagai perdana menteri Australia di tahun 2014, Tony Abbott pernah sesumbar akan melakukan konfrontasi pada Presiden Rusia Vladimir Putin terkait masalah penembakan pesawat Malaysia MH17 di atas wilayah Ukraina.
Tony Abbott menggunakan istilah khas Australia "shirt front" yang biasa dipakai dalam pertandingan olahraga Footy.
BACA JUGA: Perang di Ukraina Memecah Belah Keluarga Rusia, Bertengkar Setiap Hari, Saling Blokir di Medsos
"Shirt front" adalah tindakan pemain melabrak bagian dada dari pemain lawan dengan tujuan menjatuhkannya saat terjadi perebutan bola.
Namun Julie Bishop yang saat itu menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Australia yang justru mengalami situasi saling konfrontir dengan Presiden Putin.
BACA JUGA: Putin Serbu Ukraina, Warga Rusia Dihukum Hidup Tanpa McDonalds dan Coca Cola
Mantan politisi asal Australia Barat ini masih ingat bagaimana dia "dicemooh" oleh Presiden Putin saat keduanya berhadap-hadapan dalam suatu forum internasional pada Oktober 2014.
"Setelah saya menyampaikan keberatan Australia terkait dengan penembakan pesawat MH17 kepada Presiden Putin, dia menatapku dan bilang, 'oh ini ya yang kamu maksud dengan shirt front','" ujar Julie kepada ABC.
BACA JUGA: Rusia Langgar Kesepakatan Gencatan Senjata, Dua Juta Orang Telah Meninggalkan Ukraina
"Rasanya agak mengancam," katanya.
Menurut Julie, dia berhadap-hadapan dengan Presiden Putin sekitar 10 menit di sela-sela pertemuan Asia-Eropa di Kota Milan, ketika pengawal sang presiden tidak berada di dekatnya.
"Di tahun 2014 terjadi perang di Ukraina timur dan Presiden Putin dan pejabat Rusia bersikukuh bahwa separatis Ukraina itu independen tanpa campur tangan dari Rusia," tutur Julie yang kini menjabat sebagai Chancellor Universitas ANU Canberra.
"Tentu saja kami sama-sama paham hal itu tidak benar, Rusia terus membantah adanya tanggung jawab mereka dalam menyelidiki penyebab jatuhnya pesawat MH17," jelasnya.
"Kami bicara soal Ukraina. Kami juga bicara soal penembakan MH17 dan kerusakan yang ditimbulkan oleh sikap mengacau dari Rusia," tambahnya.
"Saya ingatkan dia bahwa Rusia itu anggota tetap Dewan Keamanan PBB dan memiliki tanggung jawab khusus untuk menegakkan perdamaian dan keamanan internasional," kata Julie Bishop.
Dia menggambarkan Putin sebagai sosok dengan tekad yang kuat, tegas dan fokus, dan menegaskan kembali bahwa dia itu agen KGB yang terlatih.
"Orangnya sangat tegas, sangat tenang," kata Julie tentang Presiden Putin.
"Dia menatap saya. Matanya tak lepas dari wajah saya. Dia bahkan tak berkedip. Tidak sekali pun. Tapi dia menyampaikan ungkapan tidak setuju atas poin yang saya sampaikan dengan tenang, sopan, dan penuh hormat," tuturnya. Tidak akan mundur
Menurut mantan Menteri Luar Negeri Australia ini, Presiden Putin tidak akan mundur dari invasinya ke Ukraina dan dia tidak melihat akhir yang jelas dari perang kecuali jika Ukraina setuju untuk tidak bergabung ke NATO.
"Dia [Putin] melihat Ukraina sebagai negara penyangga, harus tunduk pada kepentingan keamanan Rusia," katanya.
"Saya kira di situlah satu-satunya peluang yang bisa dimainkan Ukraina untuk menghentikan pertempuran. Yakni bila mereka berjanji untuk tidak pernah bergabung dengan NATO," jelas Julie.
"Memang mereka seharusnya tidak melakukan hal itu. Tapi mungkin itu cara untuk mengakhiri pertempuran ini," tambahnya.
"Ini tragedi bagi rakyat Ukraina, terutama mereka yang terjebak dalam pertempuran. Ini juga penghinaan mutlak terhadap kemanusiaan dan melanggar standar perilaku dalam tatanan internasional," paparnya.
Menurut Julie Bishop, sanksi dari berbagai negara tidak mungkin mengubah perilaku Rusia dalam jangka pendek.
"Tiongkok menjadi mitra dagang dua arah terbesar Rusia. Tiongkok masih menjadi penyelamat. Jika Tiongkok memberi sanksi pada minyak dan gas Rusia, saya kira hal ini akan berakhir," katanya.
"Putin itu seorang pengambil risiko. Dia tipe penjudi, tidak diragukan lagi. Invasi ke Ukraina ini adalah risiko yang diperhitungkan," katanya. Peran Australia dalam konflik Ukraina dan Rusia
Julie Bishop mengatakan Pemerintah Australia perlu mendukung negara-negara tetangga Ukraina yang menerima pengungsi seperti Polandia.
Negara seperti itu, katanya, perlu beri bantuan karena tujuan utamanya adalah menstabilkan Ukraina sehingga mereka dapat kembali ke rumah mereka.
"Jika pengungsi dapat ditampung di negara-negara di Eropa, maka ada peluang bagi mereka untuk pulang segera setelah situasinya stabil, daripada mendatangkan mereka jauh-jauh ke Australia," katanya.
Namun Julie Bishop menambahkan jika konflik berlanjut lebih lama, Australia harus memainkan perannya dalam menerima para pengungsi Ukraina.
Diproduksi oleh Farid Ibrahim dari artikel ABC News
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kehidupan Kematian COVID-19