Perkiraan jumlah populasi global di tahun 2050 terus menjadi pertanyaan, menyusul hasil penelitian baru yang menyebut bahwa tantangan untuk memproduksi pangan yang cukup, menjadi lebih serius, dibanding apa yang selama ini dibayangkan.
Sebuah tim penelitian internasional meyakini bahwa populasi dunia bisa meningkat sebanyak 3 milyar jiwa pada akhir abad ini, jumlah yang lebih besar dibanding perkiraan para ahli.
BACA JUGA: Profesor Barry Spurr Gugat Situs yang Publikasikan Email Rasial Miliknya
Selama 20 tahun, konsensus ilmiah global memperkirakan bahwa populasi dunia akan mencapai 9 milyar jiwa pada 2050.
BACA JUGA: Jahe Kurang Populer di Kalangan Generasi Muda Australia
Asumsi ini diadopsi oleh PBB dan telah digunakan oleh sejumlah organisasi seperti Panel Antar-Pemerintah dalam Perubahan Iklim.
Profesor Adrian Raftery dari Universitas Washington memimpin tim penelitian internasional, yang menemukan kesimpulan berbeda.
BACA JUGA: Australia Ikuti Jejak AS Ubah Prosedur Manajemen Ebola bagi Petugas Kesehatan
“Hasil penelitian kami menyebut, populasi akan terus tumbuh sepanjang abad, dan mencapai antara 9,5 hingga 12 milyar jiwa pada akhir abad ini,” jelasnya.
Profesor Adrian mengungkapkan, populasi yang terus meningkat akan menimbulkan sejumlah konsekuensi negatif.
“Ini bisa memperparah beragam tantangan yang mungkin meningkat kapan saja. Tantangan lingkungan seperti polusi dan perubahan iklim, tantangan kesehatan seperti penyakit menular, juga tantangan sosial seperti kemiskinan,” tuturnya.
Dan jika prediksinya benar, lantas bagaimana dunia akan mampu menyediakan pangan bagi 12 milyar jiwa?.
Profesor Shashi Sharma dari Universitas Murdoch adalah pakar ketahanan pangan. Ia mengatakan, memberi makan pada belasan milyar jiwa akan sangat sulit.
“Saat ini kita punya 7 milyar dan kita hanya mampu menyediakan pangan bagi 5 milyar di antaranya. Dua milyar orang menderita kelaparan atau malnutrisi,” kemukanya.
Ia mengutarakan, populasi global telah berlipat ganda sejak era 1950an, namun kemajuan teknologi telah meningkatkan produksi pangans secara dramatis hingga bisa mengimbangi populasi.
Namun ia menyebut, kemajuan lain dalam produksi pangan juga harus mempertimbangkan dampak jangka panjang yang bisa muncul.
“Kita tak boleh lupa akan bagaimana kita meningkatkan produksi pangan selama abad ke-20, ini berdampak besar pada lingkungan. Jadi jika kita kini memproduksi pangan 4 milyar lebih banyak dalam ratusan tahun ke depan, atau kurang dari seratus tahun, kita butuh pertanian yang ramah lingkungan, jadi itu harus disiapkan dengan baik,” jelasnya.
Ia memberi contoh India sebagai negara yang meningkatkan produksi pangan melalui irigasi dan penggunaan pupuk, herbisida, dan pestisida.
“Tapi pada saat yang bersamaan, jika anda punya seratus tahun, perspektif atau mungkin 200 tahun, perspektif, maka banyak dari mereka mulai menunjukkan beberapa dampak yang degradatif, yang menunjukkan beberapa fakta tak kondusif bagi produksi tanaman,” ujarnya.
Sang Profesor juga mengatakan, para perancang kebijakan harus melindungi lingkungan dari kemajuan pertanian yang memiliki potensi merusak.
“Jika kita tak melakukan itu, apa yang akan terjadi adalah kita bisa memproduksi pangan bagi generasi kita, tapi pada saat bersamaan, hal itu akan merugikan generaso berikutnya. Itu tak bisa diterima, jadi kita harus mencari cara lain dan hal pertama dan yang terpenting adalah pertanian ramah lingkungan,” tegasnya.
Dan jika populasi global menyentuh angka 12 milyar jiwa, kita harus bisa lebih efisien dalam soal pangan, tambah sang Profesor.
“Ada beberapa laporan yang menyebut bahwa sepertiga pangan yang kita produksi itu hilang atau terbuang percuma. Jadi apakah kita memproduksi makanan untuk tempat pembuangan sampah, atau kita benar-benar memproduksi pangan yang kita butuhkan untuk memberi makan populasi?,” tanyanya.
Ia menyambung, “Jadi saya pikir ada banyak hal lain yang bisa dipikirkan ketimbang hanya memproduksi lebih banyak makanan.”
Ia mengatakan, kita juga perlu memperluas apa yang kita tanam dan menyesuaikan tanaman dengan kondisi lingkungan yang unik.
“Apakah ada sumber karbohidrat lain, apakah ada sumber protein lain? Kita harus memikirkan itu juga dalam rencana kita, dan tak seharusnya terpisah dari rencana untuk meningkatkan produksi gandum, atau meningkatkan hasil panen jagung,” utaranya.
“Jadi saya berbicara tentang pendekatan yang jauh lebih luas soal produksi pangan, untuk populasi yang berjumlah lebih dari 7 milyar,” lanjutnya.
Pemikiran lain yang timbul dari jumlah populasi global yang besar adalah kemungkinan adanya peluang bagi para petani Australia untuk memasarkan hasil produksi mereka.
Sementara Menteri Pertanian Barnaby Joyce, baru-baru ini, mengatakan bahwa Australia harus melupakan ide untuk menjadi mangkuk makanan bagi Asia, Profesor Shashi justru menuturkan masih ada potensi bagi para petani Australia untuk meningkatkan ekspor mereka.
“Saya ingin bilang, para petani Australia adalah salah satu yang terenergik dan paling berbakat, petani pekerja keras di dunia, jadi saya percaya ini adalah kesempatan yang bagus bagi para produsen, petani Australia dan Australia sebagai sebuah negara,” jelasnya.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Crowdfunding, Alternatif Pendanaan Proyek Infrastruktur di Pedalaman Australia