Praktisi Hukum Minta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Diperkuat

Rabu, 25 Januari 2023 – 06:44 WIB
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Tuntutan 12 tahun terhadap Bharada E atau Richard Eliezer, terdakwa sekaligus Justice Collaborator (JC) dalam kasus pembunuhan Brigadir J, membuat sebagian kalangan kecewa.

Praktisi Hukum Hendra Setiawan Boen turut mengungkapkan kekecewaannya.

BACA JUGA: Bharada E Dituntut 12 Tahun Penjara, LPSK Menyarankan Jaksa Melakukan Ini

Menurut dia, tidak adil bagi Bharada E yang telah membuka secara terang benderang peristiwa itu justru dituntut lebih tinggi dari pelaku utama, yaitu terdakwa Putri Candrawati yang hanya 8 tahun.

“Terus terang saya kasihan dengan Bharada E yang seperti dikerjai berulang kali. Pertama, dijadikan kambing hitam oleh atasannya, Sambo dan Putri. Sekarang dia kena prank agar bisa membuka kasus seterang-terangnya dengan imbalan dapat meneruskan karier di kepolisian," ujar Hendra dalam siaran pers, Rabu (25/1).

BACA JUGA: KPK Hentikan Kasus Amplop Ferdy Sambo kepada LPSK, Ada Apa?

"Setelah Bharada E menjalankan kewajiban sebagai JC, malah oleh kejaksaan dianggap bukan penguak fakta. Penguak fakta versi JPU ialah keluarga almarhum Yoshua."

Hendra mempertanyakan logika JPU karena tidak ada satu pun keluarga Yoshua ada di tempat pada saat penembakan berlangsung.

BACA JUGA: LPSK Berharap Jaksa Meringankan Tuntutan Bharada E yang Berstatus JC

Menurut dia, dari fakta persidangan terlihat ialah Bharada E yang membuka urutan kejadian, termasuk dugaan Sambo ialah penembak kedua, di mana tembakan kedua ini yang menghilangkan nyawa Yoshua.

Hendra menerangkan sesuai penjelasan Pasal 10A UU 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban bahwa saksi pelaku yang menjadi JC berhak mendapatkan keringanan pidana.

“Jadi, di sini terlihat jelas kekurangan dari sistem perlindungan saksi dan korban dalam hukum acara pidana Indonesia yang perlu dibenahi."

"Adalah tidak adil bagi orang yang berjasa menjadi JC tapi tidak mendapatkan haknya karena dua lembaga negara yang menangani penetapan menjadi JC masih berpendapat berbeda tentang kelayakan yang bersangkutan menjadi JC,” terang Hendra.

Dia khawatir nantinya tidak ada lagi yang mau menjadi JC, karena tidak berfaedah dan memberikan keuntungan kepada tersangka/terdakwa.

Oleh karena itu, Hendra mengusulkan pentingnya memperkuat LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban).

LPSK bisa menjadi satu-satunya lembaga negara yang berwenang menentukan apakah seseorang layak menjadi JC atau tidak.

"Keabsahan seseorang menjadi JC dituangkan dalam sebuah perjanjian dan ditandatangani oleh LPSK dan penyidik maupun kejaksaan. Perjanjian tersebut kemudian tinggal diratifikasi atau disahkan oleh majelis hakim," ujar Hendra.

Dia melanjutkan ini mengadopsi sistem plea bargain di Amerika.

Plea bargain tersebut dapat diberlakukan juga kepada pelaku yang mengakui kesalahan sehingga dapat mengurangi beban pengadilan mengadili perkara-perkara yang peristiwanya terang dan diakui pelaku.

"Sekaligus melengkapi sistem restorative justice dalam sistem pemidanaan Indonesia,” tutup Hendra. (rdo/jpnn)

Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?

BACA ARTIKEL LAINNYA... Istri dan Anak PNS Bapenda Semarang yang Tewas Dibunuh Dilindungi LPSK


Redaktur & Reporter : M. Rasyid Ridha

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler