jpnn.com - MOROTAI – Sejumlah peninggalan fisik Perang Dunia II (PD II) masih tampak jelas di Pulau Morotai. Salah satunya Bandar Udara Leo Wattimena, bekas pangkalan militer tentara sekutu. Di balik kemegahan masa lalunya, lima dari tujuh landasan pacu bandara kini dipenuhi rumput liar.
Waktu menunjukkan pukul 09.00 WIT ketika Sahril Samad, Daruba, wartawan Malut Post (Grup JPNN.com) tiba di gerbang Markas Besar Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Udara (AU) di Pangkalan Udara Leo Wattimena, Sabtu (2/1).
BACA JUGA: Pro dan Kontra Warnai Wacana Pemindahan Lapas Kerobokan
Secara administratif, bandar udara yang namanya diambil dari nama salah satu penerbang terbaik Indonesia itu masuk dalam wilayah dua desa, Darame dan Wawama, Kecamatan Morotai Selatan. Setelah melapor di pos penjagaan, Malut Post dipertemukan dengan Komandan Pangkalan Angkatan Udara (Danlanud) Morotai Letkol (PNB) Andy Nur Abadi, di ruang kerjanya.
Sejak 1944, bandara yang juga kerap disebut Bandara Pitu ini menjadi rebutan dua kekuasaan besar, yakni tentara Jepang dan Sekutu. Letak Morotai yang strategis di antara Filipina dan Laut Pasifik menjadikan pulau ini sebagai target pembangunan pangkalan militer negara-negara yang terlibat dalam PD II.
BACA JUGA: Sipir Lapas Kerobokan Dipersenjatai
“Morotai menjadi tempat strategis untuk memantau pergerakan di Asia. Tak heran, Jepang menempatkan hingga 10 ribu tentaranya di Leo Wattimena,” tutur pria kelahiran Makassar itu.
Dibangun Jepang pada 1942, bandara ini awalnya hanya memiliki dua buah landasan pacu. Pembangunan bandara menggunakan tenaga masyarakat Morotai. Setelah Sekutu berhasil merebut Morotai dari tangan Jepang, dibangun pula lima landasan pacu tambahan. Dua berfungsi sebagai runway, tiga lainnya sebagai lahan parkir pesawat-pesawat militer.
BACA JUGA: Kapolda Bali Ternyata Tak Menduga Ada Bentrok Antarormas
“Tiga landasan yang terletak di Gotalamo disebut Pitoe Airfield, sedangkan dua landasan di Wawama disebut Wawama Airfield,” ucap mantan Danyon Taru Baru Magelang itu.
Dengan panjang masing-masing landasan 2.400 meter dan lebar 30 meter, dilengkapi apron sepanjang 285 meter dan lebar 80 meter, bekas markas pimpinan tentara Sekutu Jenderal Douglas MacArthur itu mampu menampung hingga ratusan pesawat militer. Taxy way-nya mencapai 130 meter dengan lebar 25 meter. Untuk wilayah Indonesia Timur, pangkalan udara dengan ukuran sebesar itu hanya Leo Wattimena dan Lanud Manuhua di Biak, Papua.
“Untuk (Bandara) Leo Wattimena masih bisa ditambah panjangnya landasan pacunya. Lahannya masih memungkinkan,” tambah Andy.
Saat ini, Leo Wattimena tak hanya menjadi markas militer TNI AU. Bandar udara ini juga dibuka untuk penerbangan sipil, khususnya pesawat perintis, dengan jadwal terbang tiga kali seminggu.
Pada kesempatan langka, kegiatan militer seperti Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC) meramaikan bandara ini. Begitu pula ketika perhelatan akbar Sail Indonesia Morotai (SIM) 2012 lalu. Meski begitu, kini tak ada lagi pesawat militer yang parkir di Leo Wattimena.
“Pesawat militer diparkir di Makassar. Kalau ada latihan, baru pesawatnya didatangkan ke sini,” kata Andy.
Dia mengakui, penggunaan bandara militer untuk penerbangan sipil dapat menimbulkan masalah. Pasalnya, Leo Wattimena tak memiliki pengelola sipil. Pengelolaan sepenuhnya diserahkan ke tangan Lanud Morotai. Padahal, penerbangan sipil di bandara ini sudah dimulai pasca SIM. Pengelolaan militer untuk penerbangan sipil ini sendiri kerap dipertanyakan oleh petinggi militer pusat.
“Pimpinan sering tanya mengapa militer masih mengelola penerbangan sipil? Kami hanya bisa menjawab bahwa kami cuma membantu karena pengelola sipil belum siap. Sekaligus membantu melayani masyarakat yang butuh akses cepat,” ujarnya.
Karena beroperasi di area militer, penerbangan sipil yang masuk ke Leo Wattimena wajib mengantongi surat izin khusus dari Mabes TNI-AU. Surat izin ini hanya berlaku seminggu dan harus terus diperbarui. Salah satu masalah yang kerap dihadapi pihak pengelola Leo Wattimena adalah penggunaan pilot asing oleh maskapai penerbangan sipil.
“Yang namanya wilayah militer, orang asing tidak memasukinya tanpa passport. Jadi untuk pilot asing mereka, kalau mau ke mana-mana, ke tempat wisata di sini misalnya, dia harus izin ke saya. Kalau nggak ya saya tangkap,” terang Andy seraya tersenyum.
Selain itu, adanya kegiatan militer pada saat-saat tertentu juga dikhawatirkan dapat berdampak pada penerbangan sipil. Terutama dalam hal keselamatan penumpang dan kru. Begitu pula sebaliknya, makin ramainya penerbangan sipil dikhawatirkan akan mengganggu jadwal latihan pihak militer.
Oleh karena itu, Andy berniat menyusun draft perjanjian dengan pihak sipil dan Pemda untuk mengutamakan jadwal agenda militer ketimbang penerbangan sipil. ”Mereka harus menerima konsekuensinya dengan menunda semua penerbangan apabila ada jadwal latihan militer,” kata Andy.
Sayang, lantaran jarang dimanfaatkan, lima dari tujuh landasan pacu tampak sangat tak terurus. Landasan-landasan tersebut dipenuhi rumput liar, sebagiannya lagi tertutup tanah. Pengelolaan yang sepenuhnya diserahkan ke tangan TNI juga memberikan kesan pemerintah setempat lepas tangan dengan kondisi bandara. Untuk mengurus fisik bandara, TNI bekerja sendiri.
“Pengelolaannya juga butuh biaya besar, jadi sebagian besar kondisinya jadi seperti sekarang ini,” tutur Andy.
Padahal, Pemda sendiri memiliki mimpi menjadikan Leo Wattimena sebagai bandara internasional, mengembalikan kejayaannya seperti dulu. Memang, banyak hal yang harus dibenahi, salah satunya adalah pembangunan fasilitas untuk menyuplai bahan bakar pesawat. “Supaya pesawat bisa parkir di sini untuk menambah bahan bakar. Jika tidak, Pemda akan rugi sebab pesawat hanya bisa singgah. Pendapatannya tidak signifikan,” ujar Andy.(cr-07/kai/fri/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Nah Lho.. DPRD Malah Minta Konversi Elpiji Ditunda
Redaktur : Tim Redaksi