Publik Tak Percayai MA

Kamis, 16 Oktober 2008 – 20:55 WIB
JAKARTA - Ketidakyakinan publik bahwa Mahkamah Agung (MA) bebas dari intervensi dapat dilihat dari jajak pendapat yang dilakukan oleh  KPP (Koalisi Pemantau Peradilan)Mayoritas responden (65,3 %) menyatakan tidak yakin MA bebas dari intervensi dari luar

BACA JUGA: Tarif Listrik di Batam Dipersoalkan

"Hanya 23 % responden yang berkeyakinan bahwa MA bebas dari intervensi dari luar
Sebanyak 11 ,7 % responden menyatakan tidak tahu," beber Direktur Indonesian Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho.

Selain persoalan independensi, dia menilai, institusi MA juga diragukan bebas dari korupsi, khususnya yang terkait dengan putusan yang dihasilkan baik ditingkat kasasi maupun peninjauan kembali."Selain seringkali kontroversial, isu suap kenyataannya juga muncul dibalik putusan MA

BACA JUGA: 25 Persen Suara, Mengada-ngada

Sejumlah hakim agung pernah disebut-sebut menerima uang suap meskipun akhirnya tidak dapat dibuktikan."

Dia mencontohkan, pada 2003, tiga orang mantan hakim agung yaitu Yahya Harahap, Supraptini Sutarto dan Marnis Kahar, pernah dilaporkankepada Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTK), karena diduga menerima suap dari Endin Wahyudin
Ketiganya diduga menerima uang sebesar Kasus ini sempat diproses oleh TGPTK, namun akhirnya dilepas oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat karena dakwaan tidak diterima.

''Ironisnya, Endin selaku pelapor justru diajukan pencemaran nama baik dan divonis bersalah oleh hakim," cetusnya

BACA JUGA: Penghapusan Hakim Ad Hoc, Babak Awal Tipikor Bubar

Lalu, kata Emerson, pada 2005, dunia peradilan juga dikejutkan dengan langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap skandal suap di lingkungan MAKPK pada akhirnya menangkap Harini Wiyoso (mantan hakim) dan lima pegawai MA.
      
"Uang dugaan suap sebesar Rp 5 miliar diduga akan diberikan kepada Ketua MADugaan suap ini terkait dengan penanganan kasus korupsi dana reboisasi yang melibatkan Probosutedjo, saudara tiri mantan Presiden Soeharto," tukasnya.
      
Terakhir pada tahun 2008,  lanjut Emerson, lima orang hakim agung yaitu Kaimuddin Salle, Rehngena Purba, Paulus Effendie Lotulung, Harifin A Tumpa, dan Abdul Manan juga pernah diberitakan diduga menerima suap senilai Rp 23,45 miliar, ketika menangani kasus sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Maluku UtaraNamun dugaan suap ini dibantah oleh 5 Hakim Agung dan melaporkan balik penyebar isu ini
kepada Polda Metro.
      
"Fenomena masih maraknya praktek dugaan korupsi di lingkungan peradilan kenyataannya juga berimbas pada kepercayaan publik terhadap putusan yang dihasilkan oleh hakim agung di MALebih dari sepertiga responden (77,3%) menyatakan bahwa putusan MA tidak bebas dari suapKeyakinan responden bahwa putusan MA bersih dari suap hanya 16 % dan sebanyak 6,7 % responden menyatakan tidak tahu."

Proses penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Mahkamah Agung (RUU MA) di DPR, kata Emerson, kenyataannya juga telah menjadi sorotan
berbagai kalangan masyarakatSecara subtansi, isu krusial yang muncul dari pembahasan tersebut adalah mayoritas fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyepakati perpanjangan usia pensiun hakim agung menjadi 70 tahunKesepakatan yang dibuat oleh DPR dan Pemerintah lebih didasarkan pada pertimbangan perbandingan usia pensiun hakim agung di beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Inggris.
      
"Koalisi Pemantau Peradilan sendiri menolak usulan perpanjangan ini dengan beberapa alasanPertama, angka harapan hidup dan tingkat kesehatanMenurut data statistik dari BPS (Badan Pusat Statistik) dan dari Departemen Kesehatan tahun 2003, angka harapan hidup orang Indonesia paling rendah se-ASEAN yaitu 65 tahunTahun 2006 angkanya naik menjadi 66,2 tahunArtinya diatas usia 66 tahun, kondisi orang Indonesia menurun karena dipengaruhi banyak hal," tukasnya.(gus/sid/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Rapimnas Golkar, Respon Keinginan Daerah


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler