jpnn.com, JAKARTA - Politikus muda PDI Perjuangan Maruarar Sirait melontarkan pujian kepada Zannuba Ariffah Chafsoh alias Yenny Wahid. Maruarar menyebut direktur The Wahid Institute itu sebagai sosok yang gigih dan konsisten menjaga Pancasila serta Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Ara -panggilan akrab Marurarar- menyampaikan pujiannya untuk Yenny saat sama-sama hadir pada diskusi peluncuran hasil penelitian bertitel Mengikis Politik Kebencian yang diselenggarakan Wahid Foundation di Hotel Sultan, Jakarta, Rabu (8/8). Wahid Foundation sejak 2008 terus melakukan penelitian tentang kemerdekaan beragama dan berkeyakinan.
BACA JUGA: Habibie: Jangan Mengutak-atik Lagi Dasar Negara Indonesia
Menurut Ara, ikhtiar Yenny selama ini menunjukkan kecintaan putri KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu terhadap Indonesia dan Pancasila. "Kita bahkan butuh Yenny Wahid-Yenny Wahid baru,” ujar Ara.
Legislator yang juga ketua umum organisasi kepemudaan Taruna Merah Putih (TMP) itu lantas menceritakan persahabatan ayahnya, Sabam Sirait dengan Gus Dur. Ara menyaksikan sendiri bagaimana ayahnya dan Gus Dur menjalin persahabatan dalam perbedaan.
BACA JUGA: Mahfud MD Ajak Masyarakat Jaga Keberagaman dan Toleransi
“Saya punya kenangan yang sangat dalam dengan bapaknya Mbak Yenny. Bapak kami berdua sangat bersahabat. Bapak kami berdua bersama Ibu Megawati (ketua umum PDIP, red) sering mengobrol membicarakan demokrasi,” kenangnya.
Menurut Ara, upaya Gus Dur bersama Sabam dan Megawati memperjuangkan demokrasi bukanlah hal mudah. Ara menyebut Gus Dur punya daya juang tinggi dan tak mau menyerah.
BACA JUGA: Semua Masalah Selesai Jika Berpegang Pancasila
“Setelah Orde Baru, Gus Dur dipercaya (menjadi Presiden Keempat RI, red) karena punya kemampuan yang mumpuni menjaga demokrasi dan berhasil. Saat itu dibutuhkan figur dan daya juang yang kuat dan menolak kalah dengan tekanan-tekanan yang sedemikian besar,” ucapnya.
Sedangkan Yenny mengatakan, fenomena politisasi agama seperti yang terlihat dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 menunjukkan masalah utamanya bukan karena masyarakat alergi dengan perbedaan keyakinan. Menurutnya, masyarakat Indonesia pada umumnya menyadari perbedaan itu merupakan keniscayaan.
Sebaliknya, yang menjadi masalah dalam politisasi agama adalah penggunaan idiom atau simbol agama secara eksesif dan tidak tepat di ruang-ruang politik. Selain itu, kata Yenny, ada usaha-usaha sebagian kelompok memanfaatkan perasaan tidak suka, rasa terancam dan kebencian terhadap kelompok yang berbeda untuk meraih kepentingan politik.
Yenny menambahkan, persoalan-persoalan itu harus diantisipasi agar tak terulang pada pemilihan presiden (pilpres) dan pemilu legislatif (pileg) tahun depan. “Salah satunya menyiapkan sistem deteksi dini untuk mengantisipasi meningkatnya ujaran kebencian menjelang Pilpres dan Pileg 2019,” cetusnya.(jpg/ara/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... HNW: Sejak Awal Pancasila Menyerap Keberagaman
Redaktur : Tim Redaksi