Puluhan RS Terancam tak Layani Pasien BPJS Kesehatan

Minggu, 06 Januari 2019 – 08:19 WIB
Pasien pengguna BPJS Kesehatan sedang menjalani perawatan di Kelas III di salah satu Rumah Sakit Pemerintah di Kab Takalar beberapa waktu lalu. Foto: TAWAKKAL/FAJAR/JPNN.com

jpnn.com, BALIKPAPAN - Sejumlah rumah sakit di Kalimantan Timur terancam tak bisa melayani pasien peserta BPJS Kesehatan lantaran belum akreditasi. Pasalnya, mulai Januari ini pusat layanan kesehatan yang akan bergabung sebagai mitra asuransi kesehatan itu harus terakreditasi.

Ketentuan tersebut merupakan pelaksanaan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 99 Tahun 2015 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

BACA JUGA: 12 RS Belum Kerja Sama dengan BPJS Kesehatan

Deputi Direksi Wilayah BPJS Kesehatan Kaltim, Kalsel, Kalteng, dan Kaltara Benjamin Saut PS mengatakan, hingga Desember 2018, ada 44 rumah sakit di Kaltim yang saat ini bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Di mana ada 16 rumah sakit yang belum memiliki akreditasi.

Namun, kata dia, pihaknya enggan mengeluarkan data rumah sakit mana saja yang belum memenuhi syarat. Yang bisa disampaikannya, 16 rumah sakit tersebut sudah menandatangani kesepakatan untuk segera melakukan akreditasi yang dilakukan Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS).

BACA JUGA: Pemkab Tanggung Iuran BPJS Kesehatan Seluruh Penduduk

“Jadi, dari Dinas Kesehatan Kaltim memberikan rekomendasi. Sesuai surat edaran menteri kesehatan diberikan tempo paling lambat enam bulan dari sekarang untuk mengurus akreditasi,” kata Benjamin.

Dia menyebut, tak menutup kemungkinan ada rumah sakit yang tak memperoleh rekomendasi. Ini lantaran dari hasil monitoring dinas dan Kementerian Kesehatan menunjukkan rumah sakit tersebut tak layak diberikan rekomendasi.

BACA JUGA: Ini Indikasi Buruknya Program JKN Pemerintahan Jokowi?

Juga pada kredensialing dan rekredensialing dari BPJS Kesehatan, menunjukkan kualitas standar pelayanan yang buruk. “Ketika satu rumah sakit tidak mendapatkan rekomendasi, kami pun tidak akan memperpanjang kontrak kerja sama setahun sekali,” jelas Benjamin.

Tenggat yang diberikan yakni hingga akhir Juni 2019. Jika pada 1 Juli mendatang rumah sakit tetap tak terakreditasi, ancaman BPJS Kesehatan adalah memutus atau tidak memperpanjang kerja sama dengan rumah sakit tersebut.

Untuk Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) seperti puskesmas, klinik pratama, praktik mandiri dokter dan dokter gigi, pihaknya memberikan waktu hingga 2020 untuk penerapan aturan akreditasi tersebut.

“Jadi rumah sakit ini yang diutamakan. Untuk FKTP wajib juga, dan kami sudah berkoordinasi dan saat ini mereka sedang mengurus akreditasi,” ungkapnya.

Benjamin menjelaskan, akreditasi ini sudah diterapkan sejak aturan dikeluarkan. Regulasi ini hanya menyinggung sudah atau belumnya rumah sakit terakreditasi. Tidak mempersoalkan tingkat akreditasinya.

Sebab, standar tersebut sudah dimonitor Kementerian Kesehatan. Akreditasi juga tidak melekat pada dokter di rumah sakit tersebut. Kecuali yang membuka praktik FKTP sendiri di luar RS. “Karena pasti RS yang sudah berakreditasi pasti sudah sesuai standar pelayanan yang ditetapkan,” sebutnya.

Aturan akreditasi ini bagi BPJS Kesehatan disebut akan meningkatkan kepercayaan terhadap rumah sakit. Mampu memastikan pemberian pelayanan kesehatan yang terbaik. Meminimalisasi miskomunikasi yang terjadi antara pihak BPJS Kesehatan dengan rumah sakit.

Kepada rumah sakit tentunya harus memenuhi regulasi. Memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan berkesinambungan. Sementara untuk peserta, bisa mendapatkan policy insurance, mendapat penegakkan diagnosa dan terapi yang sesuai standar yang ditetapkan Kemenkes.

“Menghindari adanya mis-diagnosa. Ketidaklengkapan sarana-prasarana. Medis dan paramedis yang tidak qualified. Seminimalisasi mungkin hal yang negatif,” ucapnya.

Dengan akreditasi pula, peserta bisa mengetahui informasi mengenai kondisi rumah sakit. Berikut jumlah kamar, jumlah dan jadwal dokter umum maupun spesialis, perawat, penyakit apa yang bisa ditangani, ada alur standar operasional pelayanan setiap penyakit dan sebagainya. Proteksi terhadap peserta juga lebih meningkat.

“Sehingga tak akan ada lagi istilah pasien JKN-KIS (Kartu Indonesia Sehat) dibedakan dengan pasien umum. Sementara kalau pasien berobat di rumah sakit yang belum akreditasi akan ada risiko pelayanan tak optimal,” jelasnya.

Untuk informasi kepada peserta, akan dipasang informasi mengenai rumah sakit mana yang sudah terakreditasi dan belum. Spanduk akan dipasang di tempat-tempat strategis di rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.

“Seperti di frontliner, UGD, dan lokasi yang bisa diketahui peserta. Jadi jika ada rujukan perawatan dari FKTP ke rumah sakit sekitar, peserta bisa memilih ke mana dirinya akan dirawat. Tentu akan memilih yang berakreditasi,” sebutnya.

Penelusuran Kaltim Post (Jawa Pos Group) terhadap daftar rumah sakit yang sudah dan belum terakreditasi di Kaltim diperoleh di laman KARS. Total ada 36 rumah sakit yang sudah terakreditasi dan 22 belum. Sementara ada tiga rumah sakit yang masa berlaku akreditasinya habis.

Terkait hal itu, Dinas Kesehatan (Diskes) Kaltim belum bisa memberikan komentar. Kepala Diskes Kaltim Rini Retno Sukesi yang dihubungi media ini menyebut belum bersedia diwawancarai. “Senin (7/1) saja ya. Saya masih di luar kota,” sebut Rini.

Kepala Humas BPJS Kesehatan M Iqbal Anas Ma’ruf mengatakan, ketentuan akreditasi sesuai regulasi adalah syarat wajib. “Diharapkan, rumah sakit dapat memenuhi syarat tersebut,” tuturnya.

Kriteria teknis yang menjadi pertimbangan BPJS Kesehatan untuk menyeleksi fasilitas kesehatan yang ingin bergabung, antara lain, sumber daya manusia (tenaga medis yang kompeten), kelengkapan sarana dan prasarana, lingkup pelayanan, serta komitmen pelayanan.

Menurut dia, akreditasi salah satu cerminan kriteria tersebut. Dalam melakukan seleksi, BPJS Kesehatan bakal melibatkan Dinas Kesehatan kabupaten/kota setempat dan asosiasi fasilitas kesehatan.

’’Dengan demikian, rumah sakit yang dikontrak BPJS Kesehatan harus sudah terakreditasi untuk menjamin pelayanan kesehatan yang bermutu untuk masyarakat, kecuali ada ketentuan lain,’’ jelas Iqbal.

Dia juga mengimbau agar fasilitas kesehatan swasta yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan memperbarui kontraknya setiap tahun. “Namun, pada dasarnya, kontrak sifatnya sukarela. Hakikat kontrak adalah semangat mutual benefit,” kata Iqbal.

Dalam proses memperbarui kontrak kerja sama, lanjut dia, dilakukan rekredensialing atau peninjauan dan penyimpanan data-data fasilitas pelayanan kesehatan berkaitan pelayanan profesinya. Tujuannya, memastikan benefit yang diterima peserta berjalan dengan baik sesuai kontrak selama ini.

Proses itu juga mempertimbangkan pendapat Dinas Kesehatan setempat. BPJS Kesehatan maupun Dinas Kesehatan memastikan bahwa pemutusan kontrak tidak mengganggu pelayanan kepada masyarakat. “Kami lakukan pemetaan analisis kebutuhan faskes di suatu daerah,” jelasnya.

Iqbal menambahkan, anggapan bahwa penghentian kontrak kerja sama dikaitkan kondisi defisit BPJS Kesehatan adalah informasi yang tidak benar. “Sampai saat ini, pembayaran oleh BPJS Kesehatan tetap berjalan sesuai ketentuan,” tegasnya. (*/rdh/rom/k16)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ketua DPR: Jangan Sampai Merugikan Pasien


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler