jpnn.com - DEWAN Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) akan menggelar sidang pembacaan putusan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilihan presiden 2014, di Gedung Kementerian Agama, Jalan MH Thamrin, Jakarta, Kamis (21/8).
Sidang digelar setelah sebelumnya DKPP secara marathon menggelar lima persidangan sejak Jumat (8/8) hingga Jumat (15/8) atas 14 pengaduan, dengan 35 teradu. Pengaduan datang dari tim advokasi pasangan calon presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan tim independen. Dengan teradu masing-masing Ketua KPU dan anggota KPU Pusat, sejumlah jajaran KPU Daerah, Ketua dan anggota Bawaslu RI beserta sejumlah jajaran di bawahnya.
BACA JUGA: Demo Tak Pengaruhi Hakim MK
Meski waktu dimulainya sidang perdana hingga pembacaan putusan praktis hanya berlangsung 14 hari, namun kata Juru Bicara DKPP, Nur Hidayat Sardini, DKPP tidak mengalami kesulitan yang berarti. Baik dalam menilai semua dalil pemohon, jawaban teradu, keterangan saksi dan saksi ahli, bukti-bukti yang dihadirkan, maupun fakta-fakta yang terungkap.
BACA JUGA: Setengah Resmi Dukung Prabowo-Hatta
Walau begitu, ia mengakui perdebatan dalam rapat pleno tertutup lima anggota DKPP guna membahas putusan, tidak kalah seru dibanding perdebatan dalam persidangan. Karena sebagaimana mekanisme yang berlaku, masing-masing majelis mengajukan argumentasi dan menguji argumentasi tersebut. Namun dilandasi niat meningkatkan proses kerja, DKPP meyakini putusan yang akan diambil benar-benar profesional.
Seperti apa mekanisme proses rapat pleno DKPP dalam merumuskan putusan, mengapa pembacaan putusan lebih cepat dari pembacaan putusan sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) pemilihan presiden, berikut wawancara wartawan JPNN, Ken Girsang dengan anggota Majelis Sidang DKPP Nur Hidayat Sardini, di Jakarta, Selasa (19/8) malam. Berikut petikan wawancaranya:
BACA JUGA: Jika ke MK, 99 Persen Ditolak
Kapan DKPP akan menggelar sidang putusan?
Pembacaan putusan akan digelar pada Kamis (21/8/2014) Jam 11.00 WIB di Gedung Kementerian Agama. Persiapan sudah kami lakukan, surat panggilan pada pengadu, teradu, pihak terkait, saksi ahli dan seterusnya, telah kami layangkan. Karena itu mudah-mudahan bisa dipenuhi.
Kami berharap pihak-pihak yang diundang dapat menghadiri pembacaan putusan, karena mendengarkan secara langsung materi putusan yang akan menjawab semua yang diungkap, diperiksa dan disidangkan dalam persidangan yang sudah dilaksanakan selama lima kali. Tapi memang sidang pembacaan putusan tidak harus dihadiri pihak-pihak terkait. Hanya saja kami nilai lebih baik hadir.
Keamanan juga sudah kita persiapkan, kami juga kini sedang membahas (rapat pleno) terhadap semua yang dimunculkan diputusan. Dua tiga hari ini staf yang terkait langsung membantu kami, juga telah kami ungsikan di tempat yang tidak bisa kami sebut untuk sterilasasi terhadap kemungkinan apapun. Terhadap bocornya secuil pun hasil rapat pleno kami akan tegas melarang. Kami juga sudah mengangkat sumpah para staf agar tidak bocor keluar.
Anggota DKPP seluruhnya ada 7 orang, apakah yang berasal dari unsur KPU dan Bawaslu dilibatkan pada rapat pleno pengambilan keputusan?
Untuk anggota DKPP yang berasal dari unsur penyelenggara pemilu, ibu Ida Budhiati, di-off-kan terkait perkara itu. Demikian juga di Peraturan DKPP Nomor 1 Tahun 2013, disebut tidak hanya pengadu, teradu juga kami off-kan. Yaitu pak Nelson Simanjuntak (anggota Bawaslu merangkap anggota DKPP). Sama sekali tidak kita mintai pendapat dan pandangan-pandangan pada kasus terkait.
Pengadunya dalam kasus ini kan tim advokasi pasangan calon presiden nomor urut 1 (Prabowo-Hatta), juga beberapa individu yang berafisilasi dengan paslon nomor urut 1. Pengadu juga ada dari kelompok masyarakat. Juga dari Bawaslu Papua dan Panwaslu Kota Surabaya. Jumlah keseluruhan ada 14 pengaduan. Sementara teradunya Ketua dan anggota KPU Pusat, Ketua dan anggota Bawaslu Pusat, Komisioner KPU DKI Jakarta dan lima Ketua KPU Kota Adminstratif di Jakarta.
Kemudian teradu lainnya ketua dan anggota KPU Jawa Timur, Ketua KPU Halmahera Timur, Ketua dan anggota KPU Dogiyai Papua. Ketua dan anggota KPU Kota Surabaya, Ketua dan anggota Panwaslu Banyuwangi dan Ketua Panwaslu Sukoharjo. Totalnya ada 35 teradu.
Bagaimana formulasi putusannnya, apakah akan dipisah?
Kami satukan jadi satu dokumen putusan. Prinsip kami kalau pengadu dan teradunya sama, kami integrasikan. Ini maksudnya agar urusan pilpres dapat cepat selesai. Biar nanti ada kesempatan memerbaiki keadaan yang sudah ada. Selain itu kita lakukan demikian karena saat ini kita juga ditunggu 84 pengaduan sisa pemilihan legislatif kemarin. Lalu ada 40 pangaduan terbaru yang belum kami verifikasi. Jadi kalau lebih cepat selesai kan lebih baik. Tapi dengan catatan tentunya tanpa mengurangi kualitas.
Apakah waktu yang disediakan untuk mengambil keputusan cukup?
Sidang dengan skala besar seperti ini kita sudah punya pengalaman. Dua kali pengaduan yang diajukan partai politik dulu pada masa verifikasi parpol peserta pemilu 2014. Lalu juga pengaduan yang diajukan Bawaslu beberapa waktu lalu, itu memberi pelajaran banyak sekali bagi kami. Jadi waktunya sangat cukup. Ini kita gelar lima kali sidang, sementara rata-rata terkait perkara pada umumnya, itu kami hanya menggelar sidang 2-3 kali di tingkat provinsi.
Ada tekanan pada DKPP dalam mengambil keputusan?
Pada saya secara pribadi tidak ada. Tapi kalau ke anggota DKPP lain saya tidak tahu. Kalau ada SMS dan segala macam, itu kan biasa. Sikap kami cueki saja. Kami anggap sekadar masukan. Kami prinsipnya hanya loyal pada fakta yang terungkap pada sidang dan mereferensi pada berkas yang diajukan. Kami mengcross silang terhadap masukan. Selama sidang kan kita juga mengundang secara langsung pihak-pihak terkait baik pasangan calon nomor 1 maupun nomor 2. Itu semanga kami saling mengcross check langsung di tempat yang sama dan forum yang sama.
Mengapa sidang putusan dilakukan 21 Agustus, apakah terkait dengan MK yang menggelar sidang putusan PHPU Pilpres?
DKPP ini tugas pokok dan fungsinya memeriksa dan memutuskan perkara dugaan pelanggaran kode etik. Ingin saya tegaskan, kami tidak punya pretensi karena memang garis UU Nomor 15 tahun 2011, bahwa putusan DKPP tidak terkait hasil. Tapi kami menyangkut kode etik. Karena itulah kami harus berperan. Akan halnya memengaruhi hasil, itu kan di MK. Nah kita lihat saja nanti putusannya. Kami hanya ingin tegaskan, bahwa DKPP sudah memberi kesempatan sangat luas pada pihak-pihak terkait. Selain itu juga sangat terbuka dalam menyelesaikan masalah. Apalagi pemilu kan terkait publik, karena itu masyarakat berhak menyaksikannya. Jadi tidak ada yang kami tutupi.
Sebelum putusan apakah DKPP berkoordinasi dengan MK?
Nggak, kami memercayai lembaga puplik seperti MK. Sama seperti kami juga dihargai semua pihak. Kan semua punya garis sendiri-sendiri. Dalam jadwal sidang memang kami selalu koordinasi. Jadi cuma teknis saja, namun secara substantif nggak. Toh tugas pokok dan fungsinya berbeda. Mudah-mudahan putusan DKPP bisa diterima semua pihak dan segera lah kita sudahi semua proses pilpres.
Bagaimana sekiranya hasil putusan MK dan DKPP berbeda?
Setelah putusan dibacakan kami tidak akan mengomentari lebih jauh. Kami serahkan pada publik untuk menilainya. Prosedur kan sudah terbuka, semua orang menyaksikan. Jadi apapun putusan nantinya, itulah yang terbaik yang diputuskan oleh kelima anggota DKPP. Dan saya kira bebas orang menilainya. Masyarakat bebas menerjemahkan dan memberi penilaian terhadap apapun yang kita lakukan.
Secara pribadi saya berterima kasih kalau mengkriitik DKPP, kami anggap vitamin untuk meningkatkan kinerja kami. Misalkan putusan berbeda, kami serahkan pada penilaian masyarakat. Tapi satu hal yang dipahami, tugas dan kewenangan kami beda dengan MK. Kami pada kode etik, sementara MK itu pada hasil. UUD1945 kan menegaskan begitu. Demikian juga dengan Peraturan MK dan DKPP.
Ada desakan DKPP menggelar sidang putusan lebih cepat dari MK. Apakah putusan DKPP memengaruhi putusan MK?
Hasil putusan DKPP tidak terkait sama sekali dengan hasil pilpres. Tapi meski begitu kami tetap mendengar masukan agar pembacaan putusan DKPP dilakukan sebelum dibacakannya putusan MK. Saya kira itu sudah kami penuhi. Bahwa selisihnya hanya beberapa jam, itu perkara lain. Putusan kita kan jam 11.00 WIB. Sementara di MK kalau tidak salah itu Pukul 14.00 WIB. Artinya kan jelas, kami mendahului putusan MK. Berarti permintaan pengadu sudah kami penuhi. Lebih dari itu terserah publik menilai konsekuensi dari putusan DKPP. Perspektif yang dibangun kan beda. Bagi kami yang penting bagaimana putusan ini terbaik bagi semua pihak.
Poin apa yang menjadi catatan penting bagi DKPP dalam menilai sebuah kasus?
Yang pertama pokok pengaduan. Istilahnya konstruksi perbuatan. Inilah yang akan dijadikan landasan utama untuk membahasnya. Berikutnya apakah materi pengaduan disertai alat bukti. Nah kalau sebuah perkara sampai dimajukan dalam persidangan, pasti sudah ada 2 alat bukti. Kemudian apakah dalil yang diajukan terdukung, revelan dengan bukti yang dihadirkan. Alat bukti itu bisa petunjuk, keterangan para pihak, saksi dan saksi ahli. Itu yang kami periksa dalam sidang. Nah itu kita dalami lagi dalam lingkungan DKPP.
Setiap anggota DKPP saja, itu punya pendapat dan itu harus tertulis. Misalnya kalau 14 pengadu, berarti pokok pengaduannya lebih dari itu. Karena satu pengadu bisa ajukan banyak dalil. Itu kita periksa satu persatu. Kita konfrontir dengan bukti, saksi, ahli dan pendapat terkait. Dari situ akan didapat duduk perkara sebenarnya. Duduk perkara nantinya akan dikembalikan lagi ke pokok pengaduan, apakah terbukti atau sebaliknya.
Jadi kami membuat list sebanyak pokok pengaduan, lalu bukti-buktinya apa. Akhirnya disilang sehingga seperti puzzle. Lalu kita konstruksi. Kalau sudah tahu duduk perkara, apakah terbukti atau tidak. Kemudian disimpulkan, seperti apa tingkat kesalahannya. Jadi perdebatan dalam pleno kami nggak kalah seru dibanding persidangan. Karena masing-masing mengajukan argumentasi dan kami mengadu argumentasi masing-masing tersebut. Tapi karena dengan niat meningkatkan proses kerja, kami yakin putusan akan profesional. Saya kira proses ini menjadi garis kami, 500 perkara yang sudah kami putus, menggunakan pola itu.
Pada sidang ke berapa biasanya majelis mulai memeroleh gambaran?
Pada sidang pertama saya kira belum. Karena itu validasi terhadap semua perkara. Pada sidang kedua dengan agenda mendengar pihak pengadu, lalu dikonfrontir dengan teradu. Itu juga masih samar. Nanti pada proses pembuktian, kira-kira pada sidang ketiga dan keempat dan puncak sidang kelima, itu sudah kelihatan. Masing-masing anggota mungkin saja sudah punya gambaran. Gambaran ini dicek kembali. Di sinilah kemudian kita tulis dalam pendapat anggota. Tertulis poin-poinnya. Di situ diadu sama selain.
Contohnya seperti apa?
Misalnya membahas pembukaan kotak suara, itu kita pasti berdebat. Kita masing-masing akan melihat ketentuan hukumnya, lalu kita lihat apakah pengadu didukung bukti. Kemudian memeriksa pendapat teradu dan pihak terkait dan apakah didukung ahli yang dihadirkan.
Selain itu jangan lupa, anggota DKPP itu selama persidangan juga bawa berkas. Tapi dalam forum (sidang) kita belum punya pendapat lembaga, baru pendapat masing-masing. Itu dibawa dalam rapat pleno. Makanya saya bilang rapat pleno itu perdebatannya tidak kalah serunya seperti dalam persidangan.
Hanya saja kita yang ada di DKPP itu kan masing-masing profesional. Ada yang pernah menjabat ketua Bawaslu, anggota KPU, ketua MK dan sudah pernah mengalami bagaimana berpemilih di lapangan. Inilah saya melihat keharuannya, meski punya pendapat masing-masing. Ketika didebatkan dan ditemukan kesamaan, itu kemudian menjadi kesepakatan lembaga. Dan kita menerimanya.
Bagaimana dengan dissenting opinion?
Itu juga memungkinkan. Kalau ada pandangan yang tidak bisa disatukan dan masih bersikukuh karena sangat rasional, maka dimungkinkan dissenting opinon. Nanti itu juga dibacakan. Tapi apakah dalam sidang dugaan kode etik penyelenggara pilpres ini ada dissenting opinion (perbedaan pendapat dalam amar putusan), saya belum boleh memberitahu. Kita tunggu saja pada sidang pembacaan putusan nanti.
Kalau dissenting opinion, kami beri kesempatan anggota membacakannya. Jadi terbuka dan tidak ada yang ditutup-tutupi. Tapi pendapat mayoritas itu yang digunakan sebagai sikap putusan. (gir/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Antara Quick Count dan Konflik Kepentingan
Redaktur : Tim Redaksi