Putusan MK Soal Jabatan Wapres Jangan Kacaukan Konstitusi

Senin, 30 Juli 2018 – 00:26 WIB
Gedung Mahkamah Konstitusi. Foto dok JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) dipercayakan memutuskan uji materi Undang-undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Khususnya pasal yang mengatur pembatasan masa jabatan presiden dan wakil pres iden, sesuai UUD 1945.

BACA JUGA: Perindo Tak Berhak Menggugat Pasal Masa Jabatan Wapres

Oleh karenanya putusan MK diharapkan tidak menimbulkan kegamangan konstitusi atau bahkan kekacauan konstitusi.

“Kalau putusan MK salah terkait pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden, apalagi salah penafsiran, maka akan menimbulkan masalah seperti kegamangan kostitusi atau kekacauan konstitusi. Apalagi sebenarnya semua sudah jelas dan clear,” kata Ketua Fraksi PG MPR RI, Rambe Kamarul Zaman, Minggu (29/7).

BACA JUGA: Uji Materi Masa Jabatan Wapres, Bikin Pilpres jadi Rumit

Rambe menuturkan, soal pembatasan masa jabatan yang diatur dari awal, presiden dan wakil presiden pada pasal 7 itu sebelum perubahan UU presiden dan wakil presiden memiliki masa jabatan selama 5 tahun dan sesudahnya bisa di pilih kembali.

“Nah ini lah yang menjadi soal, karena tafsirnya itu sesudahnya bisa dipilih kembali, jadi tafsirnya di situ beberapa kali bisa dipilih bisa, padahal kan tidak demikian,” ujarnya.

BACA JUGA: Uji Materi Jabatan Wapres di MK Dianggap Langkah Mundur

Rambe menceritakan pada sidang istimewa MPR 10 sampai 13 november 1998, membahas rantap MPR, khususnya pembatasan masa jabatan presiden dan wakil.

Hal itu, kata Rambe dipersiapkan oleh badan pekerja dalam rapat paripurna ke empat.

“Kontennya itu 13 November dikeluarkan tap MPR no 13 tahun 1998. bunyinya itu memutuskan, menetapkan ketetapan MPR RI tentang pembatasan masa jabatan presiden dan Wakil Presiden RI. Jadi tahun 1998 itu ada sidang istimewa, sudah dikeluarkam tap MPR tentang pembatasan masa jabatan presiden, bunyinya presiden dan wakil presiden RI memegang jabatan selama masa 5 tahun dan sesudahnya bisa dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan, itukan hanya untuk satu kali,” tegas anggota Komisi II DPR RI ini.

 Jadi, lanjut Rambe, setelah menjabat 5 tahun, bisa dipilih kembali dengan jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.

“Jadi ya dibatasi satu periode lagi dan disebutkan dengan jabatan yang sama. Perubahan pertama tentang dasar itu kan tahun 1999 dan ditetapkanlah ini 19 0ktober 1999, isi pasal satu tap MPR nomer 13 tahun 1998 tersebut yang diacukan didalam pasal 7, tentang pembatasan masa jabatan presiden dan wakil. jadi dia disatukan presiden dan wakil presiden. Selain itu ada bahasa, menjelaskan baik berturut-turut maupun tidak berturut,” tegasnya.

Penjelasan semua itu, kata Rambe ada di undang-undang.  “Jadi pokoknya pembatasan masa jabatan itu 10 tahun mau berturut-turut atau tidak berturut-turut,” katanya.

Rambe juga menyebutkan setelah undang-undang selesai, pertama, kedua, ketiga dan kempat tahun 2002 dibentuklah UU dalam pelaksanaan pasal UU itu.

“Contohnya pasal 6 ayat 2 syarat-syarat untuk menjadi presiden dan wakil presiden diatur lebih lanjut dengan UU, pasal 5 ayat 5 tertera disitu, pasangan presiden dan wakil presiden. Maka nggak bisa dipisahkan presdien dan wakil presiden, karena tatacara pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden lebih lanjut diatur dalam UU sebagai satu kesatuan atau paket,” bebernya.

Sementara sebelumnya mantan anggota PAH III dan PAH I BP MPR RI tahun 1999-2002, Agun Gunandjar Sudarsa mengingatkan MK dalam menjalankan kewenangannya juga diwajibkan untuk tunduk, patuh dan mengikatkan diri kepada supremasi hukum (konstitusi). 

“Lembaga MK dan para Hakim sepatutnya tetap berpegang pada pasal pasal dalam UUD 1945, dalam pengujian kali ini berdasar kepada pasal 7 UUD 1945, yang sebelum perubahan rumusannya : presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali. Lalu diubah menjadi : presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya bisa dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan,” harap Anggota Komisi XI DPR RI ini.

Untuk mendalami aturan pasal 7 yang sudah berubah tersebut, Agun menyarankan semua pihak untuk mengulangi kembali dan membaca buku Risalah Perubahan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tahun sidang 1999 yang diterbitkan sektetariat jenderal MPR RI Tahun 2008,

"Di mana saya sebagai salah seorang anggota tim penyusunnya," tegasnya.

 Di sana, kata Agun didapatkan kejelasan bahwa yang dimaksud oleh rumusan pasal 7 tersebut , harus dimaknai baik berturut turut maupun tidak , baik presiden maupun wakil presiden, bisa dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk sekali masa jabatan.

Artinya hanya dua kali, berturut-turut atapun tidak berturut-turut. Agun mengisahkan, dalam risalah rapat tim perumus PAH III BP MPR 9 Oktober, 10 oktober 1999, jelas sekali dan terang benderang pemaknaan yang dimaksud pasal 7 tersebut.

Dalam risalah tersebut tergambarkan pikiran argumentatif tentang berturut-turut, cukup sepuluh tahun, sampai ada pemikiran ke arah setelah dua masa jabatan untuk diperkenankan kembali dengan alasan tertentu.

"Namun pada akhirnya pikiran tersebut ditarik dan bisa menerimakan usulan alternatif pertama yang rumusannya berasal dari Tap MPR No XIII tahun 1998. Yakni presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya bisa dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan," imbuhnya.

Pembahasan selanjutnya berlanjut di Pleno Pah III, Pleno Badan Pekerja, hingga pelaksaaan Sidang Umum MPR tahun 1999 yg berlangsung dari 14-21 Oktober 1999.

Materi perubahan UUD 1945 dibahas di Komisi C MPR dan semua rancangan perubahan pertama UUD 1945, termasuk perubahan pasal 7 bisa disetujui untuk disahkan tanpa melalui pemungutan suara. (flo/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... MK Jangan Melanggar Konstitusi Terkait Jabatan Wapres JK


Redaktur & Reporter : Natalia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler