Quick Count Boleh Diumumkan pada Hari Pemilu

MK: Pembatasan Bertentangan dengan Semangat Reformasi

Selasa, 31 Maret 2009 – 07:43 WIB
JAKARTA- Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan quick count atau hitung cepat hasil pemilu bisa dilakukan dan diumumkan pada hari yang sama dengan hari pemungutan suaraMK berpendapat, hitung cepat tidak mengganggu hak konstitusional siapa pun

BACA JUGA: Pencontrengan di Dua Kabupaten NTT Mundur

Dengan alasan itu, MK mengabulkan sebagian gugatan batasan pasal quick count dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 10 Tahun 2008.
 
Permohonan uji materi diajukan Direktur Lingkaran Survei Indonesia Denny Januar Ali dan Direktur Lembaga Survei Nasional Umar S
Bakry dari Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (AROPI)

BACA JUGA: Presiden Tetapkan 9 April Libur Nasional

Dalam permohonan tersebut, pemohon meminta mahkamah membatalkan pasal 245 ayat 2, ayat 3, dan ayat 5, pasal 282, dan pasal 307 UU pemilu karena menganggap bertentangan dengan UUD 1945
Pasal-pasal tersebut mengatur, pengumuman hasil jajak pendapat tidak boleh dilakukan pada masa tenang pemilu serta pengumuman hasil penghitungan cepat hanya boleh dilakukan pada hari berikutnya setelah pemungutan suara.
 
Ketua MK Mahfud M.D

BACA JUGA: 1 April, DPT Hasil Koreksi Dipajang di Kantor Kelurahan

dalam konklusinya menyatakan, pasal 245 ayat 2 dan 3, pasal 282, dan pasal 307 bertentangan dengan UUD 1945Namun, MK tidak mengabulkan gugatan pasal 245 ayat 5 karena tidak memiliki relevansi dengan pasal 245 ayat 2 dan 3"Menyatakan mengabulkan gugatan pemohon untuk sebagian," ujar Mahfud dalam pembacaan putusan di ruang sidang pleno MK, Jakarta, Senin (30/3). 
 
Menurut MK, keempat pasal tersebut inkonstitusionalIndikasinya, pasal tersebut tidak sesuai dengan semangat reformasiHakim konstitusi Maruarar Siahaan menganalogikan itu dengan semangat kebebasan pers pasca-1998
"Pengekangan terhadap kebebasan berekspresi, lebih-lebih terhadap kegiatan yang berbasis metodologis ilmiah, tidak sejalan dengan UUD 1945," kata Maruarar.
 
MK juga menilai, para pembuat Undang Undang Pemilu telah berpikir agak mundur dengan penetapan empat pasal tersebutAlasannya, hasil survei maupun quick count adalah hasil metodologis ilmiah, sepanjang itu tidak bertendensi merugikan kandidat lain.
 
Selain itu, menyangkut hasil quick count yang dirilis lembaga survei, sejak awal sudah diketahui oleh publik bahwa hasil survei bukanlah hasil yang resmiPublik selama ini selalu sadar dan tahu bahwa hasil resmi nanti pasti akan dikeluarkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga yang diakui UUD 1945"Tidak ada data akurat yang menyatakan bahwa lembaga survei itu meresahkan masyarakat, kalaupun ada, masih bisa dihitung dengan jari," tambah Maruarar
 
Selain itu, ketentuan penghitungan cepat yang baru bisa dipublikasikan sehari setelah pemilu dinilai tidak sesuai dengan hakikat penghitungan cepatHasil penghitungan cepat juga dipandang tidak akan memengaruhi pilihan pemilih karena pemilu sudah berlangsungDalam putusannya, MK juga memerintahkan pemuatan putusan itu dalam lembaran negara dengan sebagaimana mestinya.
 
Putusan yang mengabulkan sebagian uji materi tentang larangan pengumuman hasil survei di masa tenang dan hasil penghitungan cepat pada hari pemilu itu tidak diputuskan secara bulat oleh hakim konstitusi."Tiga di antara sembilan hakim konstitusi menyatakan berbeda pendapat (dissenting opinion)Mereka adalah Achmad Sodiki, MAkil Mochtar, dan MArsyad Sanusi
 
Pada pendapatnya, Sodiki dan Akil menyatakan tidak mustahil bahwa sebagian survei dibiayai partai-partai yang dananya besar, baik menjelang pemilu maupun masa tenang." Data quick count tersebut sedikit banyak mampu mengubah opini publik.
 
Selain itu, pembatasan lembaga survei pada masa tenang adalah demi menghormati publikLayaknya pembersihan atribut partai pada hari tenang, lembaga survei juga harus menghomati hak dan kebebasan orang lain"Pembatasan itu masih bersifat adil dan tidak diskriminatif," kata Arsyad.
 
Akil menilai, hasil quick count yang diumumkan pada hari pemungutan suara juga berpotensi mengusik kerawanan sosial tatkala yang diumumkan ternyata berbeda dengan hasil resmi perolehan suara kontestan pemiluTerlebih tatkala selisih suara yang diperoleh kontestan-kontestan sangat tipis, yaitu lebih kecil atau sama dengan margin of error dari penyelenggara-penyelenggara survei, jajak pendapat, atau quick count.
 
Dalam kasus-kasus seperti itu, potensi konflik dan terganggunya ketertiban masyarakat menjadi sangat besar"Lagi-lagi, negara dihadapkan bagaimana memberikan jaminan ketenteraman dan ketertiban dalam tata hubungan kemasyarakatan," kata AkilKetertiban dan ketenteraman masyarakat bukanlah milik orang per orang atau golongan tertentu, tetapi dambaan dan milik seluruh masyarakat yang beradab.
 
Mantan Ketua Pansus RUU Pemilu Legislatif Ferry Mursyidan Baldan menyatakan menghormati putusan MKTapi, dia tidak bisa menutupi ekspresi kekecewaannya"Mudah-mudahan, putusan MK itu tidak memperparah kondisi menjelang hari pemungutan suara," ujarnya.
 
Menurut dia, pengaturan itu sebenarnya sekadar mendorong proses cooling down di masa tenang pascamusim kampanye pemilu agar terbangun suasana yang lebih kondusif"UU hanya mengatur waktu untuk mem-publish, bukan kegiatan surveinya yang dilarang," ujarnya.
 
Begitu juga, imbuh Ferry, dengan kegiatan quick count"Bukan kegiatan quick count yang dilarang, tapi ada pengaturan kapan bisa memublikasikannya, yaitu tidak pada hari yang sama," jelas legislator dari Partai Golkar itu.
 
Ferry berharap media massa dapat memilah publikasi hasil survei di masa tenang agar tidak terjebak pada hasil survei yang cenderung berpihak kepada peserta pemilu tertentu"Teman-teman media harus lebih berhati-hati," sarannya
 
Pemohon uji materi, Ketua AROPI Denny J.A., melihat putusan MK itu sebagai kemenangan akademik"Mulai hari ini lembaga survei dan TV boleh membuat quick count pada hari pemiluLembaga survei boleh mengumumkan hasil surveinya pada hari tenang, dan tidak ada sanksi pidana untuk itu," ujar Denny setelah sidang putusan.
 
Kendati demikian, jika ada lembaga survei yang melakukan kebohongan publik, masih bisa dipidana dengan KUHPKarena itulah, menurut Denny, tidak perlu aturan lain yang mengaturnya(bay/pri/kim)

BACA ARTIKEL LAINNYA... KPU Gelar Indomorvosa


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler