jpnn.com, JAKARTA - Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengapresiasi keteguhan sikap Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang tetap melarang mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon legislatif.
Menurut Lucius, PKPU ini sekaligus menjadi koreksi serius atas pembentukan legislasi oleh DPR dan pemerintah yang cenderung permisif pada isu sangat mendasar seperti pemberantasan korupsi.
BACA JUGA: Ini Warning dari Tim Pembela Jokowi soal e-KTP dan Hak Pilih
Lucius menilai pembuatan legislasi terkait isu politik selama ini memang sangat elitis. DPR dan pemerintah rela bekerja ngebut untuk membahas RUU politik.
"Sangat berbeda jika RUU lain yang tak ada kaitan langsung dengan kepentingan politik, DPR dan pemerintah akan cenderung lamban, seperti RUU Antiterorisme," kata Lucius, Selasa (29/5).
BACA JUGA: Presiden Jokowi Bela Hak Eks Koruptor Jadi Caleg
Dia menambahkan proses pembahasan RUU paket politik juga cenderung tidak partisipatif. Sumbangsih saran dan pikiran melalui rapat dengar pendapat umum (RDPU) cenderung hanya formalitas belaka.
Hasilnya paling kentara pada ketentuan mengenai syarat jadi caleg. "UU Pemilu masih nampak permisif terhadap pelaku korupsi yang sudah terbukti bersalah bahkan telah mendapatkan sanksi pidana," ujarnya.
BACA JUGA: DPR Minta KPU Harus Mematuhi Undang-Undang
Sikap politik DPR dan pemerintah dalam RUU Pemilu tersebut bisa dianggap sebagai bentuk pengingkaran kedua lembaga tersebut pada komitmen pemberantasan korupsi.
"Keduanya patut dianggap sebagai penanggung jawab atas sistemiknya korupsi di negara ini," katanya.
Dia heran sikap permisif tersebut dibela DPR, pemerintah, dan Bawaslu yang seolah-olah menampilkan diri sebagai pihak yang taat hukum atau aturan.
Dengan berlindung di balik slogan taat hukum, mereka terus melawan kengototan KPU yang tetap menginginkan adanya peraturan yang tegas untuk melarang napi koruptor dicalonkan menjadi caleg.
Dia menambahkan kengototan KPU nampaknya mewakili kebanyakan publik yang menginginkan adanya sikap tegas dan tanpa basa-basi terhadap napi koruptor.
"Publik yang sudah gerah dengan perilaku elite yang tanpa kenal jera terlibat dalam aksi korup tentu akan menjadi penyokong misi KPU membuat peraturan tersebut," kata Lucius.
Dia menambahkan dukungan terhadap KPU ini sekaligus tamparan bagi DPR, pemerintah dan partai politik yang bukannya jujur dalam menyerap suara publik dalam menyusun aturan.
Mereka malah cenderung memolitisasi aspirasi publik dengan kamuflase aturan menggunakan batasan waktu, bukan substansi persoalan korupsi.
"Dengan demikian KPU justru sekaligus mengoreksi cara DPR dan pemerintah dalam membuat peraturan yang selama ini cenderung elitis," ungkapnya.
Dia menilai cara DPR dan pemerintah hanya membaca kemauan elite yang ingin agar kesempatannya meraih kekuasaan tidak dihalang-halangi sekalipun sebelumnya sudah terbukti melakukan kejahatan luar biasa dalam kasus korupsi.
Logika elitis ini tentu sangat merusak etika berpolitik, apalagi jika itu dilindungi secara sistemik melalui regulasi yang elitis tersebut.
Seolah-olah lamanya hukuman membedakan kejahatan korupsi. Padahal lamanya hukuman sesungguhnya hanya masalah sedikit-banyaknya jumlah kerugian.
Tetap saja antara korupsi dengan jumlah sedikit dan banyak sama-sama didorong oleh niat jahat melakukan penyimpangan keuangan negara.
"Jadi mestinya tak pantas DPR, parpol dan pemerintah membela aturan yang sesungguhnya hanya memberikan jalan bagi semakin masifnya korupsi mencengkeram urat nadi bangsa," tuntasnya. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... KPU Larang Koruptor Jadi Caleg, Ketua MPR: Kok Tega Betul
Redaktur & Reporter : Boy