Hikayat Achmad Sjaichu (1)

Rapat Rahasia di Markas PBNU Menghasilkan...

Jumat, 07 Juli 2017 – 22:56 WIB
Potret Achmad Sjaichu dan Bung Karno dalam buku Kembali ke Pesantren. Foto: Repro Wenri Wanhar/JPNN.com.

jpnn.com - GAGASAN menyelenggarakan Konferensi Islam Asia Afrika (KIAA) didukung penuh Presiden Soekarno. Ketua Panitianya Achmad Sjaichu, tokoh Nahdlatul Ulama (NU), pendiri Pondok Pesantren Al-Hamidiyah, Depok, Jawa Barat.

Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network

BACA JUGA: Ternyata, Walikota Perempuan Pertama di Indonesia Seorang Jurnalis

Achmad Sjaichu masih jadi anak muda ketika menghadiri rapat rahasia di kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Jl. Kramat Raya 164, Jakarta Pusat, pada suatu malam.

Ia satu di antara pimpinan pusat PBNU hasil Muktamar 23 di Medan, Sumatera Utara.

BACA JUGA: Satu Sekuel Peristiwa 3 Juli 1946

Dipimpin KH. Mohammad Dahlan, rapat rahasia merumuskan garis NU dalam pentas politik internasional.

Malam itulah, "untuk pertamakalinya Sjaichu menyampaikan gagasannya mengenai tata dunia baru yang diidamkan oleh berbagai bangsa," tulis Gus Dur dan kawan-kawan dalam buku Kembali ke Pesantren--Kenangan 70 tahun K.H. Achmad Sjaichu.

BACA JUGA: Sam Ratulangie yang Jadi Nama Jalan itu…

"Gagasan mengenai perlunya tata dunia baru yang bebas dari kolonialisme dan imperialisme," sambungnya.

Dikisahkan, dalam rapat rahasia itu, Sjaichu yang kerap dijuluki pemuda progresif, "berbicara dengan bebas. Terkadang cukup berbahaya, bila sampai bocor keluar."

Saking rahasianya, sebelum rapat itu malam dimulai, Sekjen PBNU H. Aminuddin Aziz meminta siapa saja kecuali pengurus tak diperkenankan berada di ruangan.

Dalam kata pengantar buku tersebut, Gus Dur menulis Ahmad Sjaichu adalah otodidak yang melalui jenjang organisasi politik mampu meraih kedudukan pemerintahan yang cukup tinggi.

"Yaitu menjadi Ketua DPR," tulis Abdurrahman Wahid--kemudian hari jadi Presiden Indonesia--dalam naskah bertanggal 8 Juni 1991.

Apa yang disepakati rapat itu? Kita bongkar sedikit rahasia nih ya...

Kontribusi NU dalam kegiatan Konperensi Islam Asia Afrika (KIAA), dimulai dari sini.

***

Penghujung Sidang Umum MPRS 1963 di Bandung, sejumlah pimpinan menandatangi pernyataan bersama; mendukung gagasan menyelenggarakan Konferensi Islam Asia Afrika.

Karena belum ada kantor, Sjaichu memanfaatkan ruangan Fraksi NU di gedung DPRGR, Jl. Lapangan Banteng, Jakarta.

"Di ruangan itulah, segala persiapan teknis dan nonteknis konperensi dirancang," sebagaimana dicuplik dari buku tersebut.

Sejak April 1964 Sjaichu memimpin delegasi persahabatan ke beberapa negara di Asia Afrika. Bersama Sjaichu ikut juga antara lain Harsono Tjokroaminoto dan Sofyan Abbas.

"Dengan membawa semangat Dasa Sila Bandung, delegasi melakukan lobying kepada setiap pemimpin negara yang disinggahi."

Hasilnya, tanggal 6 hingga 14 Juni 1964, dilangsungkan pertemuan yang dihadiri utusan Saudi Arabia, Irak, Republik Emirat Arab, Pakistan, Philipina Thailand dan Indonesia di Jakarta.

Perundingan menyepakati Indonesia sebagai tuan rumah dan juga membentuk semacam kepanitiaan bersama. Achmad Sjaichu ditunjuk sebagai Sekretaris Jenderal, Sekjen.

Peranan Sekjen sangat menentukan jadi atau tidaknya rencana itu.

Pilihan Bung Karno

Semula, Konferensi Islam Asia Afrika dilangsungkan 17 Desember 1964.

"Pada bulan Desember," kata Presiden Soekarno, "kita biasanya amat sibuk. MPRS melakukan sidang dan Gedung MPRS terpakai."

Menurut Bung Karno, Gedung MPRS di Bandung merupakan satu-satunya tempat yang tepat untuk menyelenggarakan konperensi. Yakni gedung tempat berlangsungnya Konferensi Asia Afrika 1955.

Maka, jadwal dirobah ke tanggal 20 Februari 1965. Ini pun urung. Sebab, di sejumlah wilayah Indonesia, termasuk Bandung, hujan lebat terus menerus sejak akhir tahun.

Atas petunjuk Presiden Soekarno, akhirnya KIAA terselenggara pada 6 hingga 19 Maret 1965.

KIAA diikuti 107 orang mewakili 33 negara. Dan 8 orang peserta lagi sebagai peninjau. Yakni Afghanistan, Australia, Jerman Barat dan Malaysia.

Yang dihasilkan KIAA antara lain deklarasi perdamaian dunia, dan resolusi anti imperialisme. Termasuk resolusi khusus mengenai bangsa Palestina dan hak-haknya untuk menentukan nasib mereka sendiri.

"KIAA yang diakui menjadi bagian dari episode sejarah perjalanan Islam di Tanah Air, merupakan kontribusi dan prakarsa Nadlatul Ulama dengan Sjaichu sebagai ariteknya."

Melalui KIAA lahirlah Organisasi Islam Asia Afrika (OIAA). Acmad Sjaichu diangkat menjadi Presiden Dewan Pusat OIAA yang dikukuhkan oleh Presiden Soekarno.

Achmad Sjaichu adalah anak Ampel, Surabaya yang mendirikan Pondok Pesantren Al-Hamidiyah, Depok, Jawa Barat. Dialah yang menjabat Ketua DPR ketika Bung Karno dilengserkan. --bersambung (wow/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... In Memoriam Nien Lesmana


Redaktur & Reporter : Wenri

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler