Sam Ratulangie yang Jadi Nama Jalan itu…

Senin, 03 Juli 2017 – 04:59 WIB
Potret Sam Ratulangie koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia ini termuat dalam buku Sejarah Berita Proklamasi. Foto: Repro Wenri Wanhar/JPNN

jpnn.com - PESAWAT mendarat di lapangan terbang kecil Sapiria di Bulukumba, lebih kurang 160 km dari Makassar. Temaram. Malam menjelang.

Serombongan pendiri Republik Indonesia tiba dari Jakarta. Termasuk Sam Ratulangie, yang pagi harinya baru dilantik jadi Gubernur Sulawesi.

BACA JUGA: In Memoriam Nien Lesmana

Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network

Hari itu, Minggu, 19 Agustus 1945. Bersama Sam Ratulangie, ada Andi Pangerang Daeng Parani, Andi Sultan Daeng Raja dan Andi Zaenal Abidin.

BACA JUGA: Hanya Tugu Cornelis Chastelein, Tak Nampak Kenduri Depokse Dag

Empat kawanan ini, pagi harinya hadir dalam sidang PPKI di Jakarta. Sidang yang menetapkan wilayah Indonesia dibagi jadi 8 propinsi: Sumatera, Sulawesi, Borneo, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sunda Kecil dan Maluku.

Sekaligus mengangkat para gubernurnya. Sam Ratulangie, diangkat jadi Gubernur Sulawesi.

BACA JUGA: Ketahuilah, Sosok Pelantun Pertama Lagu Selamat Hari Lebaran

Profil keempatnya diulas selayang pandang oleh Anwar Hafid dalam Berita Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di Sulawesi dan Responnya, termuat dalam buku Sejarah Berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, terbitan Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 

Sam Ratulangie dan Andi Pangerang Daeng Parani, tulis Anwar, adalah anggota PPKI mewakili Sulawesi.

PPKI singkatan dari Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Dibentuk 7 Agustus 1945.

Lembaga ini terusan dari Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang dibentuk sejak 1 Maret 1945--bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Hirohito.

PPKI--dalam bahasa Jepang Dokuritsu Junbi Iinkai--diketuai oleh Bung Karno. Tugasnya mempersiapkan kemerdekaan Indonesia.

Jika Sam Ratulangie dan Andi Pangerang Daeng Parani adalah anggota PPKI mewakili Sulawesi, siapa Andi Sultan Daeng Raja dan Andi Zaenal Abidin?

"Andi Sultan Daeng Raja diutus para pemimpin pejuang Sulawesi untuk mengikuti sidang-sidang PPKI di Jakarta," tulis Anwar. "Kapasitasnya sebagai tokoh masyarakat Sulawesi (Selatan) yang sangat berpengaruh."

Dia anggota SUDARA (Sumber Darah Rakyat), sebuah organisasi perjuangan kemerdekaan Indonesia di Makassar yang sebelumnya dikenal dengan nama Ken Koku Doshikai.

Sedangkan Andi Zaenal Abidin, menurut cerita Anwar, bertugas selaku sekretaris dari perutusan Sulawesi di PPKI.

Empat pendiri Republik Indonesia yang baru mendarat di lapangan terbang kecil di Bulukumba ini, hadir di kediaman Laksamana Maeda ketika naskah proklamasi dirumuskan.

Mereka juga berada di Pegangsaan Timur, Jakarta ketika Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945.

Dan, mereka berempat juga hadir dalam sidang (PPKI), 18 Agustus 1945 ketika Pancasila ditetapkan sebagai dasar negara. Dan Soekarno - Hatta sebagai pasangan presiden dan wakil presiden.

Senin, 20 Agustus 1945...

Gubernur Sulawesi Sam Ratulangi dan Andi Zaenal Abidin masuk Makassar. Karena sakit, Sultan Daeng Raja tinggal di Bulukumba. Pangerang Daeng Parani langsung menuju Watampone. Dia putra Raja Bone Andi Mappayukki.

Di Makassar, Ratulangie bersama Andi Zainal Abidin menginap di Hotel Empress. Seminggu lamanya.

Dari hotel inilah "dia mengorganisir strategi perjuangan yang dimulai dengan penyebaran berita proklamasi," tulis Anwar. "Uraian tugas-tugasnya selaku Gubernur Sulawesi telah tertuang dalam amanah sidang PPKI 19 Agustus 1945."

Atas pengangkatannya sebagai Gubernur, Sam Ratulangie mengemban tugas menjalankan roda pemerintahan Republik Indonesia di Sulawesi yang umurnya masih hitungan jari.

Dia menyusun struktur pemerintahan Propinsi Sulawesi sebagai berikut:

Sam Ratulangie (Gubernur), Andi Zaenal Abidin (Sekretaris), F. Tobing (Wakil Sekretaris), Lanto Daeng Pasewang (Biro Umum), Najamuddin Daeng Malewa dan Tajuddin Noor (Biro Ekonomi), Siaranamual dan Maulwi Saelan (Biro Pemuda), Manai Sophian (Biro Penerangan), dan sejumlah pembantu.

Dengan formasi itulah, Sam Ratulangie berjibaku membangkitkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kemerdekaan dan upaya mempertahankannya.

Mereka segera bekerja. Tim pengabar proklamasi dibagi dua. Tim Ratulangie ke Utara, tim Lanto Daeng Pasewang ke Selatan. Bertemu lagi di Kota Sengkang.

Merujuk tulisan Anwar, hal itu dimaksudkan untuk menyusun kekuasaan dan menggalang persatuan dengan makin santernya berita pendaratan tentara Sekutu di Sulawesi Selatan.

Hanya saja, Ratulangie dinilai peragu oleh kelompok pemuda Sulawesi.

"Keragu-raguan dan kehati-hatian sang gubernur," menurut Anwar, "berawal dari keragu-raguannya dalam hal pengambil-alihan pemerintahan di Sulawesi dari tangan penguasa Jepang yang ketika itu sudah berstatus kalah perang dan tidak berdaya."

Pemuda di Sulawesi, sebagaimana dituliskan Maulwi Saelan dalam biografinya, sebenarnya berada dalam kesadaran yang revolusioner ketika kemerdekaan Indonesia baru diproklamasikan. Namun, Ratulangie tak menangkap semangat itu.

Pemuda bergejolak. Tapi, Sam Ratulangie tak mau konyol. Pertimbangannya, para pemuda bukan tentara yang terlatih dan tidak memiliki persenjataan modern.

Pun terjadi silang pendapat, bagaimana pun para pemuda tetap menghormati Sam Ratulangie.

Karena menyadari bahwa sebuah pemerintahan yang baru dibentuk harus dilindungi oleh kekuatan bersenjata, Sam Ratulangie mengutus Saleh Lahade dan Manai Sophiaan menemui Bung Karno. Minta dikirim bantuan pasukan dan senjata.

Namun bantuan tak kunjung tiba hingga tentara Sekutu/NICA datang dan langsung mencaplok wilayah tersebut. Sam Ratulangie terpojok. Dia memilih jalur perundingan.

Berunding dengan "maling" di dalam rumah sendiri berujung penangkapan. Gubernur Sulawesi Sam Ratulangie dibuang ke Serui, 5 April 1946 oleh serdadu KNIL.

Hotel Empress tempat Ratulangie mula menyusun kekuatan republiken jadi sarang NICA. Manai Sophiaan, Biro Penerangan rezim Sam Ratulangie sempat ditangkap dan disekap NICA di hotel itu.

Meski tetap ada perjuangan bawah tanah, secara resmi pemerintahan Republik Indonesia di Sulawesi kandas. Dan baru terbentuk lagi usai penyerahan kedaulatan, 1949.

Satu di antara pejuang bawah tanah itu Salawati Daud. Seorang jurnalis pendiri Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Pada 1949, ia diangkat jadi Walikota Makassar--walikota perempuan pertama dalam sejarah Indonesia. (wow/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Hikayat Ungku Saliah, Si Kakek Berkopiah di Sejumlah Warung Padang


Redaktur & Reporter : Wenri

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler