Ternyata, Walikota Perempuan Pertama di Indonesia Seorang Jurnalis

Rabu, 05 Juli 2017 – 12:19 WIB
Demontrasi menentang penangkapan Gubernur Sulawesi Sam Ratulangie oleh Belanda, 1946. Seorang jurnalis yang terlibat aktif memprotes Belanda pada masa itu bernama Salawati Daud. Foto: Public Domain.

jpnn.com - SALAWATI DAUD tokoh penting di Sulawesi. Bahkan di negeri ini. Ia pucuk pimpinan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) dan walikota perempuan pertama di Indonesia.

Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network

BACA JUGA: Satu Sekuel Peristiwa 3 Juli 1946

Kabar itu sampai ke telinga Salawati Daud.

"Saat disiarkan laporan bahwa para Republiken di Sulawesi Selatan tertawan…Salawati Daud bersama Abdulllah Riu dan A. Baso Rahim menyusun rencana menyerang tangsi polisi," tulis M. Sanusi Dg. Mattata di buku Luwu dalam Revolusi.

BACA JUGA: Sam Ratulangie yang Jadi Nama Jalan itu…

Tujuannya, untuk mengimbangi laporan tersebut. Rencana itu diawali dengan terlebih dahulu merampas senjata polisi-polisi Belanda di Masamba.

29 Oktober 1949. Peristiwa yang dikenal dengan nama Masamba Affaire itu pun terjadi. "Salawati yang memimpin gerakan tersebut," tulis Budi Susanto dkk dalam buku Politik & Postkolonialitas di Indonesia.

BACA JUGA: In Memoriam Nien Lesmana

Namanya jadi buah bibir. Berselang satu purnama kemudian, melalui perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB), Belanda mengakui kedaulatan Indonesia.

Perang usai. Salawati naik jadi Walikota Makassar. Dialah walikota perempuan pertama dalam sejarah Republik Indonesia.

Wartawan

Tidak banyak informasi yang menjelaskan latar belakang Salawati Daud. Yang orang tahu, dia punya nama asli Charlotte Salawati. Dari mana asalnya? Hanya sedikit yang tahu.

Satu di antaranya, Nani Nurani Affandi, penyanyi Istana idola Bung Karno. "Beliau (Salawati Daud--red) asli dari Sangir," kenangnya dalam buku Penyanyi Istana.

Nama Salawati Daud mulai berkibar seiring dengan terbitnya Surat Kabar Wanita (1945-1949) di Makassar.

"Tema-tema yang diangkat dalam surat kabar tersebut, selain mengenai masalah perempuan juga mengangkat tema-tema yang berkaitan dengan politik dan kebudayaan," termuat dalam Republik Indonesia Provinsi Sulawesi, Makassar, terbitan Kementerian Penerangan, 1953.

Sepanjang 1945-1949, dua kali ia menjadi pemimpin redaksi di koran beroplah 1000-an yang terbit dua kali sebulan tersebut.

"Di samping memimpin SK Wanita, Salawati Daud juga menjabat sebagai pemimpin redaksi SK Bersatu pada tahun 1953," tulis Anwar Arifin dalam Pers dan Dinamika Politik di Makassar (1945-1966), disertasi Universitas Hasanuddin, Ujungpandang, 1990.

Surat Kabar Bersatu terbit sepekan sekali. Jumlah oplah yang beredar, menurut Anwar, sekitar 2000-an.

Bukan sembarang wartawan. Pada 1946, Salawati Daud mengirim surat protes kepada Residen Sulawesi Selatan, Kontroler dan Walikota Makassar serta Komandan Terotorial Sulawesi Selatan.

"Ia memprotes pembunuhan sekitar 40 ribu rakyat Sulawesi Selatan," tulis Budi Susanto dkk dalam buku Politik & Postkolonialitas di Indonesia.

Salawati melayangkan surat protes itu bersama tokoh politik perempuan lainnya, yaitu, Ny. Maladjong, Ny. Sikado Daeng Nai dan Ny. Tjongkeng.

Sanusi Dg Mattata di buku Luwu dalam Revolusi menceritakan, Salawati jago pidato. Dan aktif keliling daerah membimbing dan mengajar beberapa remaja perempuan untuk tampil berpidato di depan publik.

Di samping aktivitasnya sebagai wartawan, Salawati aktivis PKR. Dan pada 1948 terpilih sebagai ketua organisasi perempuan PKR.

Nama PKR kesohor di Sulawesi sepanjang revolusi fisik 1945-1949.

Mulanya punya kepanjangan Pusat Keselamatan Rakyat. Didirikan dan dipimpin oleh Sam Ratulangie, beberapa hari setelah menjabat dan menjalankan tugas sebagai Gubernur Sulawesi pertama yang berkedudukan di Makassar, 1945.

10 Oktober 1945, Aruppala mendirikan PKR dengan singkatan Perkumpulan Kedaulatan Rakyat. Hari itu juga, ia memimpin aksi menurunkan bendera Belanda dan menaikkan merah putih pertama kali di Selayar, pulau kecil di Selatan Bulukumba.

Opu Topatampanangi anggota Badan Pertimbangan Revolusi (BPR) juga pernah mengumumkan terbentuknya PKR dengan singkatan Pembela Kedaulatan Rakyat.

Tapi, PKR-nya Salawati Daud, di mana ia menjabat Ketua Bidang Perempuan pada 1948, punya singkatan Partai Kedaulatan Rakyat (PKR).

Entah seperti apa hubungan antara PKR yang satu dengan PKR yang lain di wilayah Sulawesi. Bukan itu yang menjadi pokok ulasan kita kali ini.

Yang perlu dicatat, Salawati dari PKR-lah yang, "memainkan peranan begitu penting dalam upaya mengatur perundingan dengan Kahar pada 1950 dan 1951," tulis Sjarifuddin Usman dalam buku Kahar Muzakkar.

Ya Salawati Daud lah yang mengatur perundingan antara Kahar Muzakkar, pimpinan DI TII dengan pemerintah Republik Indonesia.

Salawati memang punya nama di Sulawesi. Kahar Muzakkar tahu itu.

Jurkam PKI

Menjelang Pemilu 1955, kampanye Partai Komunis Indonesia (PKI) di Sulawesi Selatan semarak. Bintang panggungnya Salawati Daud.

Pada pertengahan Agustus 1955, ia keliling daerah Makale/Rantepao, Kabupaten Tana Toraja.

Dalam pidatonya yang memukau, Salawati meyakinkan masyarakat bahwa ia dan partainya, bersama-sama rakyat akan sama-sama memperjuangkan terciptanya tatanan masyarakat adil dan makmur. Menghapus kemiskinan dan kemelaratan. Menghapus kapitalisme, feodalisme dan imperialisme.

"Perjuangan yang ingin dicapai olehnya dan partainya adalah terbentuknya suatu masyarakat yang sama rata sama rasa," tulis Budi Susanto dkk dalam buku Politik & Postkolonialitas di Indonesia, mencuplik Arsip Pemerintah Provinsi Sulawesi 1950-1960, No. Reg. 235.

Tak sia-sia. PKI memperoleh suara cukup besar di Kabupaten Tana Toraja pada Pemilu 1955. Kemenangan yang mengantarkan Salawati Daud ke Jakarta sebagai anggota legislatif tingkat pusat.

Pada 1960-an, ia kembali terpilih jadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR).

Oiya, di ibukota, ia aktif sebagai Wakil Ketua Pimpinan Pusat Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani).

Karena karakternya yang kuat, "beberapa temannya, baik laki-laki maupun perempuan, kadang segan dan takut berhadapan dan berbicara dengannya. Bahkan dikabarkan pula bahwa lawan-lawan politiknya pun takut bertemu dengannya," dicuplik dari buku Politik & Postkolonialitas di Indonesia.

Pembaca yang baik. Hari-hari tuanya dilewati Salawati Daud dalam penjara Orde Baru.

Nani Nurani Affandi, penyanyi Istana idola Bung Karno kawan satu sel Salawati Daud. Dalam bukunya yang bertajuk Penyanyi Istana, Nani mengenang…

"Oma Salawati Daud…seorang ibu yang sangat sederhana, agamanya sangat kuat, beliau memiliki bintang Mahaputra dari Bung Karno. Baik dalam penjara maupun sebelumnya sangat dihormati baik oleh lawan maupun teman. Beliau juga jujur berkata bahwa beliau seorang PKI tapi G30S beliau tidak tahu sama sekali."

Nani dan Salawati pernah sama-sama jadi tahanan politik paska huru-hara 1965.

"Yang menggelikan beliau dituduh penari telanjang di Lubang Buaya, pelacur, pacar Aidit, padahal orangnya sudah tua…rambutnya penuh uban," kenang Nani.

"Mendengar tuduhan ini saya tertawa. Karena kalau saya dituduh pacaran dengan Aidit masih mending walaupun tidak pernah kenal secara pribadi, paling tidak saya masih muda, penyanyi, penari, dan anak istana," sambungnya.

Dikisahkan bahwa tepat tanggal 1 Oktober 1965, Salawati Daud telah berada di Istana Negara. Pagi-pagi dipanggil Bung Karno.

"Beliau ahli dalam hal pertahanan/keamanan, bahkan menurut beliau waktu Pak Harto mengejar Kahar Muzakar beliau mendampingi Pak Harto. Jadi, beliau baru tahu apa yang terjadi (tentang G30S--red) saat di Istana pagi-pagi."

Entahlah…agaknya ini yang orang bilang, "revolusi memakan anak kandungnya sendiri."

Melalui sejumlah memoar dan hasil penelitian sejarah, Salawati Daud hadir sebagai pemain penting dalam sejarah percaturan politik Indonesia.

Di samping kesohor dengan pamor walikota perempuan pertama dalam sejarah Indonesia, ada juga yang menjulukinya tokoh pembawa pengaruh kiri di Sulawesi Selatan.

Mengenang sang wartawan pejuang, negara menabalkan namanya jadi nama jalan di Masamba, Ibukota Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Jalan Salawati Daud. (wow/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Hanya Tugu Cornelis Chastelein, Tak Nampak Kenduri Depokse Dag


Redaktur & Reporter : Wenri

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler