Rasanya SBY-Boediono akan Menang

Jumat, 15 Mei 2009 – 15:10 WIB
BAGAIMANA gerangan nasib berbagai reaksi yang menolak ketika Yudhoyono memilih Boediono menjadi cawapres Partai Demokrat? Akan kalahkah duet yang berasal dari Pacitan dan Blitar itu dalam Pilpres 2009? Bagi penentang pasangan itu, mungkin akan berkata, "boleh jadi, begitulah." Tapi apakah berarti salah satu dari dua pasangan pesaingnya, Mega-Prabowo dan JK-Win yang menang? Bertanya-tanya seperti itu, membuat kita jadi bimbang dan ragu.

Salah satu keraguan kita, karena sudah menjadi fakta bahwa para elit politik lah yang paling tahu siapa pemimpin yang terbaik bagi rakyatDengan demikian, demokrasi hanya monopoli kaum elit, dan rakyat, maaf, hanya "pelengkap penyerta" jika bukan "pelengkap penderita"

BACA JUGA: Surat untuk Angelina, Tere, Meutya, Nurul, Vena, Eko, Wanda, Primus Cs

Para elit telah melantik diri menjadi gembala, dan rakyat, jika dimetaforkan, maaf, seolah-olah bagai seekor kambing yang pasrah disembelih di rumah potong.

Berabad-abad silam, Plato pun menolak jika urusan politik dan demokrasi diserahkan kepada rakyat jelata
"Tahu apa rakyat tentang politik?" begitu kira-kira Plato berkata

BACA JUGA: Pesona Uang, Seks & Kekuasaan

Tragisnya, saban zaman selalu melahirkan "Plato baru" yang gemar memonopoli apa yang patut bagi rakyat
Mungkin, itu sebabnya mengapa Boediono "terpilih" menjadi cawapres, dan mengapa duet Mega-Prabowo dan JK-Win yang tampil di pentas Pilpres 2009.

Ironis

BACA JUGA: Pembebasan Golkar dari Candu Berkuasa

Yang memilih dalam pilpres dengan sistem pemilihan langsung adalah rakyatTetapi yang menentukan pasangan capres-cawapres adalah kaum elitRakyat harus tahu diriRakyat memang tidak berhak, karena regulasi mengatur bahwa hanya parpol atau gabungan parpol yang meraih suara 25 persen hasil pemilu legislatif-lah yang berhak mencalonkan capres-cawapresJadi, mau apa lagi?

Jika masih boleh berangan-angan, memang semestinya aspirasi rakyat tentang siapa capres dan cawapres yang pantas, harus ditampung kaum elit dan partai-partai sebagai sarana demokrasiBukan memenggalnya, bagai mutilasi demokrasi.

Menyesal sangatMungkin tidak ada partai yang melakukannyaMisalnya, dengan cara bertanya lebih dulu kepada rakyat yang telah mencontreng para elit politik itu pada Pemilu 2009 laluYang disaksikan rakyat adalah, hanya pengurus DPP parpol, atau sebuah tim kecil, atau jangan-jangan ketua umum atau sesepuh pembina parpol saja, yang berhak memutuskan siapa capres dan cawapres mereka.

Rupanya, rakyat hanya dibutuhkan saat pemilu dan saat pilpresPerkara siapa yang dipilih menjadi capres dan cawapres, sudah di luar hak dan jangkauan rakyat pencontrengTerbukti, putusan-putusan penting itu bisa mengambil tempat di kantor DPP parpol, di rumah kediaman pemimpin, atau bahkan di hotel-hotel mewah, yang jauh dari jangkauan rakyat.

Cara-cara seperti itu mengingatkan kita kepada iklim politik di masa Orde Baru, meski tak sama dan sebangunKala itu, parpol cenderung mengungkapkan berbagai kriteria calon presiden, sehingga hanya cocok untuk sebuah namaTak heran, walaupun pilpres belum diselenggarakan, publik sudah tahu dan yakin bahwa sang bapak-lah yang pantas dan lalu terpilih sebagai presiden.

Banyak yang masih mengingat bahwa pilpres di masa Orde Baru dikiaskan juga sebagai "pesta demokrasi"Namanya pesta, maka ibarat resepsi perhelatan perkawinan, tentu saja siapa mempelai pria dan wanitanya sudah ketahuan.

Maklum, saat itu presiden justru dipilih dengan sistem perwakilan, yakni melalui MPRApalagi sistem perpolitikan pun tidak demokratis, misalnya player sekaligus juga menjadi regulator, walapun hanya berlaku untuk Golkar yang kala itu dikenal dengan jaringan ABG (ABRI, birokrasi dan Golkar)Terang saja di era tiga parpol itu, PDI dan PPP sudah pasti kalah jauh sebelum pertandingan dimulai.

Mobilisasi
Keadaan memang sudah berubah setelah era reformasiBahkan sejak Pilpres 2004 sudah diterapkan sistem pemilihan langsungNamun, itu tadi, rakyat hanya disajikan pilihan-pilihan terbatas yang disediakan oleh parpol, atau tepatnya oleh elit parpolKemungkinan calon independen tertutup oleh regulasi, meskipun anehnya, terbuka dalam pilkada sehingga terasa diskriminatif.

Tidak mencengangkan jika angka golput sedemikian tinggi dan jauh melebihi perolehan suara Partai Demokrat, pemenang Pemilu 2009Fenomena ini membuktikan bahwa banyak rakyat yang tidak berkenan memilih para caleg dalam pemilu lalu, dan tak mustahil gejala yang sama akan terjadi pada Pilpres 2009 mendatang.

Fakta ini menunjukkan bahwa partisipasi, atau tepatnya kesadaran dan gairah rakyat dalam pemilu (dan pilpres) tidak menggembirakanSehingga jika pun masih banyak rakyat yang mau mencontreng, diduga kuat mereka adalah massa yang dimobilisasi, digerakkan dan dikerahkan oleh parpolKualitas antara pencontreng partisipan aktif tentu saja berbeda jauh dengan pencontreng yang dimobilisasi.

Dalam suasana seperti itu, tampaknya kemungkinan SBY-Boediono memenangkan Pilpres 2009 menjadi terbukaDiyakini, sebagai presiden incumbent, jaringan SBY masih jauh lebih kuat dibandingkan dengan jaringan Mega dan JKDengan kata lain, kemampuan SBY-Boediono memobilisasi massa pemilih masih lebih efektifSekali lagi, "memobilisasi" dan bukan menyentuh kesadaran partisipan pencontreng.

Para pencontreng yang dimobilisasi, rasanya tidak akan menyoal apakah Boediono seorang neo-liberalis atau tidakMereka pun tak akan menggugat komposisi capres-cawapres berdasarkan Jawa-Non-Jawa atau nasionalis-religiusIstilah-istilah itu, dan apalagi makna dan terjemahan operasionalnya dalam kehidupan politik, demokrasi dan ekonomi, rasanya jauh dari kesadaran politik para pencontreng yang dimobilisasi.

Isu dan wacana itu hanya hidup di kalangan aktivis NGO, para ekonom anti neo-liberalis, maupun segelintir intelektual dan masyarakat yang memahami demokrasi sebagai keterwakilan berbagai aspirasi publikJumlah kelompok seperti itu sudah pasti pula minoritas, dan suaranya tak menentukan dalam pilpres.

Sebagai ilustrasi saja, isu hutang luar negeri pun yang gemar dilakukan kaum neo-liberalis, ditanggapi dingin oleh mayoritas rakyat karena merasa tak ikut berhutangBahwa dampaknya akan terkena kepada dirinya, adalah pemahaman yang belum mampir dalam nalar rakyat.

Bertolak dari realitas itu, jangan-jangan pilihan kaum elit tentang siapa yang pantas menjadi capres dan cawapres memang cocok dengan kondisi masyarakat IndonesiaYa, hanya minoritas pemimpin partailah yang berhak dan pantas menentukan apa yang terbaik bagi rakyat.

Saya menduga, rakyat pun menyukainya, karena sudah dibangun oleh sistem yang tak memungkinkan mereka menyeleksi calon pemimpinBarangkali, karena sudah terbiasa, lalu masyarakat merasa dan menganggap itulah yang "terbaik" dan yang "demokratis"Bukan yang "demokratis" dan "baik" yang ditradisikan, melainkan sebaliknyaBegitukah? (*)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Berburu Cawapres Sebelum Deadline


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler